Dalam kisah inspiratif para sufi kali ini kita akan membahas tokoh Jalaluddin dari Rum (ar-Rumi) yang dikenal dunia dengan karya-karyanya seperti, Masnawi (terdiri dari enam jilid), Fihi ma Fihi, hingga Diwan-i-Syams-i-Tabriz.
Dalam karya tersebut, terutama Masnawi, Jalaluddin ar-Rumi sering mengekspresikan kecintaan kepada Allah melalui bahasa-bahasa metafora yang memudahkan siapa pun untuk memahami hikmah kebijaksanaan Ilahi. Tidak salah kalau kemudian Masnawi dianggap sebagai Alquran orang Persia, yang akan membuat pemahaman orang yang beriman lebih benderang dan membuat pemahaman orang yang sibuk membenci orang lain, tidak beriman, semakin gelap dan melihat Masnawi sebagai sebuah kesalahan .
Salah satu kisah dalam Masnawi yang berkaitan dengan keimanan adalah kisah “Juru Tulis Nabi” (kisah ke-13 dalam Masnawi I). Dikisahkan, Nabi memiliki juru tulis untuk menuliskan setiap kalimat yang tercurah dari bibir Nabi. Awalnya semua berjalan seperti biasa, sang juru tulis hanya menuliskan kalimat Nabi tanpa pretensi apa pun. Lambat laun, sang juru tulis menjadi sombong. Ia berkhayal bahwa semua tulisannya berasal dari hikmah kebijaksanaan yang berasal dari kecerdasannya sendiri, bukan dari Nabi.
Sang juru tulis menganggap dirinya penting; ia menganggap dirinyalah yang mendapatkan wahyu Ilahi. Hatinya mengeras melawan Nabi. Ia menjadi murtad seperti Harut dan Marut, dua malaikat yang diturunkan Allah ke bumi karena keinginan mereka sendiri dan gagal dalam misinya .
Juru tulis Nabi menyangka bahwa kebodohannya adalah kebenaran, bahkan meski “kebenaran” tersebut penuh tanda tanya. Orang semisal juru tulis ini dapat digambarkan sebagai orang tuli yang pergi untuk menyatakan turut berduka cita atas tetangga yang sakit. Kisah orang tuli ini dikisahkan langsung oleh Nabi Muhammad saw. sebagai berikut.
Ada seorang tuli yang menyadari bahwa tetangganya sakit. Dalam hatinya berkecamuk pertanyaan demi pertanyaan, “Kalau kudatangi pemuda malang ini, aku takkan dapat mendengar apa yang dikatakannya. Bila aku tidak pergi, ia akan menganggapku kejam. Artinya, aku akan menjadi tetangga yang jahat, padahal Nabi berkata bahwa tetangga harus saling menyayangi.”. Sambil terus berpikir, orang tuli ini memantapkan diri. Ia mulai merancang kalimat percakapan standard yang mungkin diucapkan orang sakit kepada penjenguknya. Artinya, sang tuli, demi menutupi ketuliannya, akan berusaha menebak apa yang dikatakan Si Sakit.
Sesuai standard, Si Tuli akan memulai pertanyaan, ‘Bagaimana perasaanmu, sobatku yang malang?’ Biasanya orang sakit akan menutupi rasa sakitnya demi menenangkan penjenguk sehingga ia akan menjawab ‘Aku baik-baik saja' atau kata-kata semacam itu. Lalu, Si Tuli akan menjawab seperti biasa pula, 'Alhamdulillah. Engkau harus minum apa?' Si Sakit akan menjawab obat-obat yang memang harus diminummnya. Orang tuli tidak merasa bermasalah jika tidak tahu obat semacam itu (karena ia tidak mendengar). Ia cukup berkata, 'Bagus sekali! Dokter siapa yang merawatmu?' Nanti Si Sakit akan menjelaskan ia sudah berobat ke dokter ini di alamat ini. Sebagai penutup kunjungan, sekaligus pemberi semangat, Si Tuli akan berkata, 'Bagus. Kau beruntung berada di tangan yang sangat handal.” Percakapan “palsu” ini dihafalkan oleh Si Tuli saat berkunjung ke rumah tetangganya yang sakit itu.
Maka, dimulailah percakapan sebenarnya. Si Tuli bertanya, “Bagaimana kabarmu?”
Sang sakit, berbeda dari kebiasaan, dan karena sakitnya parah berkata, “Sekarat.”
Si Tuli, yang hanya bisa menghafal percakapan rekaannya menjawab, “Alhamdulillah. Kau harus minum apa?”
Si Sakit karena jengkel, sekaligus putus asa dengan penyakitnya, menjawab, “Racun.”
Si Tuli berkata, “Bagus sekali! Dokter manakah yang merawatmu?”
Si Sakit yang benar-benar marah dengan ketidaksopanan Si Tuli, menjawab, “Malaikat Maut,” dengan wajah pucat.
“Bagus. Kau beruntung berada di tangan yang handal,” ujar Si Tuli. Kemudian, ia pulang ke rumah dengan perasaan gembira karena mengira benar. Padahal, senyatanya, ia sudah melukai hati Si Sakit yang membutuhkan harapan.
Dalam kehidupan sehari-hari, tingkah laku Si Tuli ini banyak terjadi hanya karena kita melulu mengandalkan “logika”, yang artinya sebenarnya hanyalah kebiasaan umum. Padahal, untuk mengenal Allah, yang dibutuhkan adalah intuisi (orang yang cuma mengenal logika akan berkata Allah tidak ada hanya karena Allah tidak terlihat; yang terlihat adalah perbuatan-perbuatan-Nya). Kadang, kita juga merasa bahwa segala kenikmatan yang kita dapatkan (sepeti dalam kisah juru tulis) adalah hasil usaha kita. Padahal, kita hanya “diminta menulis”, tidak lebih dan tidak kurang. Ketika Yang Menyuruh Menulis berhenti menyuruh, barulah kita sadar bahwa kita sudah kehilangan Petunjuk dan ternyata kita tidak bisa apa-apa.
Foto: Isna Riadna
ConversionConversion EmoticonEmoticon