Pada suatu hari, seseorang yang cerdas, ahli pengetahuan, datang ke sebuah desa. Sebagai praktik atas ilmu yang didapatkannya selama ini, Si Cerdas ingin membandingkan pandangan yang berseberangan yang mungkin ada dalam desa itu. Maka, Si Cerdas mendatangi sebuah warung dan bertanya tentang siapakah yang paling jujur dan siapa pula yang paling gemar berbohong di desa itu. Orang-orang di warung itu sepakat bahwa orang yang bernama Kazzab adalah pembohong terbesar; sementara itu Rastgu adalah yang paling jujur. Si Cerdas mendatangi kedua orang tersebut bergantian, mengajukan pertanyaan sama kepada keduanya, “jalan manakah yang terbaik menuju ke desa tetangga?”
Rastgu yang jujur berkata, “Jalan gunung.”
Kazzab Si Pembohong juga berkata, “Jalan gunung.”
Tentu saja jawaban itu membingungkan Si Cerdas tersebut. Seharusnya, ada perbedaan besar dari orang jujur dan pembohong. Maka, untuk memilih saran yang lebih tepat, Si Cerdas bertanya kepada oranng lain, penduduk desa biasa.
Ada yang mengatakan, “Lewat sungai;” yang lain mengusulkan, “Lewat padang saja”. Ada juga yang sama seperti Ratsgu dan Kazzab, mengatakan, “Jalan gunung.”
Akhirnya Si Cerdas memutuskan untuk mengambil jalan gunung. Sepanjang perjalanannya, ia tak habis pikir dengan Ratsgu dan Kazzab. Mana yang benar dan mana yang salah kalau mereka mengucapkan kata yang sama?
Ketika Si Cerdas tiba di desa berikutnya, ia meceritakan kisahnya di sebuah rumah penginapan. Di Akhir kisah Si Cerdas berkata, “Saya jelas telah membuat logika yang keliru dengan bertanya kepada orang-orang yang tidak tepat tentang Ratsgu Si Jujur dan Kazzab Si Pembohong. Nyatanya saya telah sampai di sini tanpa kesulitan apa pun, melalui jalan yang disarankan mereka, jalan gunung.”
Orang Bijak yang kebetulan berada di penginapan tersebut berkata, “Harus diakui bahwa para ahli logika seperti Anda cenderung tak terbuka matanya. Mereka suka meminta orang lain membantunya yang menyebabkan kekeliruan pikir. Tetapi masalah yang menimpa Anda justru sebaliknya. Kenyataannya, sungai sebenarnya merupakan jalan termudah. Untuk alasan ini Si Pembohong menunjukkan jalan gunung.”
“Artinya Ratsgu si Jujur berbohong kepada saya?” sergah Si Cerdas tidak percaya.
“Tidak. Malah sebaliknya. Si Jujur itu tidak hanya jujur; ia juga mengetahui bahwa Anda punya keledai dan keledai itu memudahkan perjalanan Anda jika melalui jalan gunung. Si Pembohong kebetulan tidak mengetahui bahwa Anda tak punya perahu. Seandainya ia tahu hal itu, pasti diusulkannya jalan sungai kepada Anda.”
Hikmah di Balik Kisah Jalan Gunung
Salah satu hal yang paling mendasar dari manusia adalah kebenciannya terhadap orang lain. Kebencian ini, meski tidak diakui, akan menyebabkan sikap iri, dendam, tidak mau mengalah, dan rela menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan. Dalam kisah di atas, Si Cerdas yang mengaku menggunakan logika, sebenarnya membentuk asumsi-asumsi dari “kebencian” tersebut. Dengan “kebencian” ini, ia mengira bahwa orang jujur dan orang yang gemar berbohong akan dengan mudah dilihat dari kata-kata mereka tentang kebenaran. Artinya, bagi Si Cerdas, kebenaran hanya masalah benar dan salah semata. Jika perkataan Si Jujur adalah kejujuran, artinya Si Jujur benar dan sebaliknya. Padahal, dalam hidup, keadaan bisa jauh lebih kompleks seperti yang ditunjukkan Ratsgu.
Ratsgu yang jujur sempat dianggap salah oleh Si Cerdas hanya karena ia memberikan informasi alternatif yang berbeda dengan informasi umum, bahwa ternyata perjalanan melalui jalan sungailah yang tercepat. Padahal, Ratsgu justru mempertimbangkan keadaan Si Cerdas yang menggunakan keledai sebagai kendaraan. Justru jika Si Cerdas memilih jalan sungai, jalan yang konvensional, ia akan kesulitan karena harus mengurus keledainya. Bukan tidak mungkin malah jalan yang dianggap cepat itu akan melambatkan Si Cerdas karena faktor keledai, kendaraan sekaligus bawaannya. Maka, jalan gunung adalah alternatif tertepat. Meski mungkin tidak akan membawa Si Cerdas lebih cepat daripada jalan sungai, jalan inilah yang bisa dilalui Si Cerdas dengan keledainya.
Jika kita mengamati lebih detail, di sini terjadi permainan metafora. Si Cerdas yang selalu mengandalkan asumsi-asumsi adalah kita, umat beragama yang mengaku telah menggunakan akal. Kita sendiri sebenarnya membawa keledai (lambang kebodohan dan kebebalan) tanpa kita sadari, yaitu keakuan dan kebencian terhadap orang lain tadi. Para nabi adalah Ratsgu si jujur. Mungkin ada alternatif lain menuju Akhirat daripada menjelaskan konsep pahala dan dosa (bandingkan dengan cerita sebelumnya). Tapi, konsep pahala dan dosa inilah yang dianggap memadai agar kita, yang tidak sadar membawa keakuan dan kebencian, selamat dalam perjalanan. Adalah sebuah risiko besar dengan menerangkan “kenyataan sebenarnya” bagi manusia biasa” karena bisa jadi kita nekat melalui jalan sungai yang cepat, dan tidak peduli apakah kita tenggelam bersama keledai atau tidak.
ConversionConversion EmoticonEmoticon