Kisah Pencerah Hati: Tata Krama Berburu Ala Rubah dan Singa


Kisah Pencerah Hati: Tata Krama Berburu Ala Rubah dan Singa

Seekor Singa mengajak Serigala dan Rubah untuk berburu. Mereka berhasil menangkap sapi liar, kambing, dan kelinci. Sang Singa memerintahkan Serigala untuk membagi mangsa. Serigala mengusulkan, “Singa, karena kau yang lebih besar, maka akan kuberikan sapi yang gemuk kepadamu. Lalu, karena ukuran tubuhku lebih besar daripada kelinci, aku mendapatkan kambing. Terakhir, Rubah yang paling kecil layak mendapatkan kelinci yang ukurannya sesuai kemampuan Rubah mengunyah.”

“Apa katamu? Aku tidak terima!” Sang singa marah kepada serigala karena sang serigala menggunakan kata “aku” dan “kau”. Padahal, semua binatang adalah hak milik singa sebagai raja hutan. Maka, sang singa membunuh serigala dengan satu serangan. Sang singa beralih pada rubah. Sama seperti serigala, rubah diperintahkan untuk membagi hasil buruan.

Rubah yang sadar akan nasib serigala, menjawab bahwa semua binatang buruan menjadi jatah sang singa. “Silakan ambil semua binatang itu, Singa. Aku tidak berhak apa-apa karena kaulah sang raja hutan.”
Singa senang melihat pengorbanan diri Rubah; memberikan segala hal untuk penguasa. Singa berkata, “engkau bukan lagi seekor rubah. Engkau adalah diriku.”

Hikmah Kisah Tata Krama Berburu

Dalam kisah di atas, yang bisa diambil hikmahnya adalah kepasrahan diri Rubah. Ia memilih untuk tidak memakan apa pun hasil buruannya karena memahami bahwa Singa adalah Raja Hutan. Jika Singa berkata apa pun, Rubah harus siap melaksanakannya meskipun tindakan tersebut akan mencelakakan nyawa Rubah. Dalam hal ini, Singa adalah Allah; yang memerintahkan sesuatu yang kadang tidak menyenangkan bagi kita (melawan nafsu duniawi) padahal tujuan-Nya adalah menyelamatkan kita.

Menurut Jalaluddin Ar-Rumi, hingga seseorang mampu menghancurkan dirinya sendiri, barulah ia layak disebut sebagai sahabat sejati Allah. Kita bisa memperhatikan syahadat pertama, “la-ila ha ila-Llah”, Tiada Tuhan selain Allah yang artinya, tiada Aku lain selain Aku Sejati (Allah). Jadi, bagaimana mungkin kita bisa mempraktikkan syahadat tersebut senyatanya dalam kehidupan sehari-hari jika kita masih berkata (tentang dunia) “ini milikku, ini milikku” bukannya berpasrah “ini milik Allah. Benda ini hanya dititipkan kepadaku sebagaimana mestinya. Jika benda ini hilang, apa boleh buat. Aku akan menerimanya.”
Terkait dengan hal ini, Jalaluddin Ar-Rumi mengisahkan, ada seorang lelaki yang mengunjungi rumah sahabatnya. Di depan pintu rumah sang sahabat, ia mengetuk. Sahabatnya yang ada di dalam berkata, “siapakah yang ada di depan sana?”

Lelaki tersebut menjawab, “ini aku. Bolehkah aku masuk?”

Mendengar jawaban tersebut, sang sahabat tidak suka. Ia berkata, “tidak. Kau tidak boleh masuk. Yang boleh datang ke tempat ini adalah orang yang telah matang sedangkan kau masih mentah. Kamu masih berada dalam tahap munafik. Sampai keakuanmu lenyap, kau harus dibakar oleh api. Datanglah setahun lagi!”

Mendengar jawaban sang sahabat, meski hatinya hancur, lelaki tersebut tidak bisa berbuat banyak. Dipatuhinya perintah sang sahabat. Dalam setahun, ia sibuk memikirkan penjelasan sang sahabat dan berusaha mewujudkan keinginan sang sahabat. Ia ditempa dengan banyak cobaan, menjalani hari-hari dengan penuh air mata, dan kehilangan banyak teman yang menganggapnya gila. Genap setahun, sang lelaki tersebut sudah sebatang kara dan tidak punya tempat perlindungan lain lagi. Datanglah ia ke rumah sang sahabat. Seperti tahun lalu, ia mengetuk pintu sang sahabat. Tubuhnya gemetar dan bibirnya kacau; memikirkan jawaban apa yang akan dikatakannya kepada sang sahabat. Ia tidak ingin ada kata-kata ceroboh lagi yang keluar dari mulutnya.

Seperti tahun lalu pula sang sahabat bertanya, “siapakah itu?”
Sang lelaki menjawab, “inilah kau, sahabat.”

Sahabat lelaki tersebut berkata, “masuklah. Sekarang kau menyadari bahwa tidak ada ruang untuk dua aku dalam sebuah rumah. Hanya ada satu aku.”

Keadaan kita sebenarnya sama dengan sang lelaki. Kita tidak diperkenankan langsung bertemu dengan Allah sebelum Hari Pengadilan. Kita mesti menjalani hidup di dunia dengan penuh derita dan penuh pengharapan agar Sang Sahabat (Allah) mau menerima kita. Pemusnahan keakuan adalah kata kunci utama untuk mencapai Allah. Selama kita beribadah untuk mendapatkan surga, maka keakuan kita masihlah tinggi dan kita sepenuhnya belum layak menjadi hamba Allah. Untuk masalah ini, seorang sufi, Fudayl Ibn ‘Iyad berkata, “Pada Hari Kiamat kelak, Allah Swt. menitahkan, ‘Wahai keturunan Adam! Sesungguhnhya zuhudmu akan keduniaan adalah demi pencarian akan kebahagiaan bagi dirimu sendiri. Keterputusanmu dari interaksi dunia demi meraih-Ku adalah pencarian akan kehormatan dirimu sendiri. Tapi, apakah kau musuhi musuh demi Aku atau kau kasihi seseorang karena Aku?” Jangan-jangan semua usaha kita selama ini hanyalah karena mencintai diri sendiri, bukan karena Cinta Allah.
Previous
Next Post »