Kisah Hikmah Pencerah Hati: Binatang Buas Yang Menghancurkan Desa

Kisah Hikmah Pencerah Hati: Binatang Buas Yang Menghancurkan Desa

 Suatu kali seekor binatang buas ditangkap oleh penduduk desa. Mereka mengikat binatang tersebut ke sebuah pohon. Setelah menimbang bahwa binatang ini sudah menciptakan penderitaan yang begitu banyak kepada penduduk, memakan ternak mereka, maka pemimpin desa memutuskan untuk menghanyutkannya ke laut sore hari nanti setelah penduduk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari.Di tengah penyesalan binatang buas karena penangkapannya, muncullah seekor kambing yang tidak begitu cerdas. Kambing tersebut menghampiri sang binatang buas yang berakal cerdik sambil bertanya mengapa binatang itu diikat sehebat itu.
“Ah, sebenarnya, penduduk desa mengikatku begini karena aku tidak mau menerima uang mereka,” jawab sang binatang.

Kambing tercengang. Baginya, masalah uang adalah masalah yang rumit. Ia bertanya, “Mengapa mereka ingin memberikan uang kepadamu? Lalu, mengapa pula engkau tidak menerimanya?”
Binatang buas yang cerdik itu segera menyadari kelemahan mendasar kambing. Ia kemudian bersilat lidah, “mereka berbuat begini karena aku begitu dekat dengan Allah. Mereka ingin menyuapku dengan uang. Mereka adalah manusia tak bertuhan.”

Si kambing mulai membujuk agar ia diberi kesempatan untuk menggantikan tempat binatang buas. Dalam bayangan si kambing, ia akan menolong makhluk yang percaya kepada Allah. Kambing itu menasihati agar sang binatang buas lari menjauh dari penduduk desa. Binatang buas itu berterima kasih dan berkata bahwa pahala kambing tersebut sangat besar karena membantu hamba Allah yang kesusahan. Maka, mereka berganti tempat.

Tak lama kemudian, selesai bekerja, warga desa datang ke tempat binatang buas tadi ditawan. Melihat yang ada di sana adalah kambing, mereka tidak ambil pusing. Mereka menutup kepala kambing dengan karung, mengikatnya, dan menghanyutkannya ke laut.
Keesokan harinya para penduduk desa dikejutkan dengan kemunculan binatang buas ke arah desa mereka bersama sekawanan domba yang terlihat begitu baik.

Sang binatang buas, berkedok menjadi makhluk yang mencintai Allah berkata, “Di laut sana, ruh-ruh akan membalas siapa saja yang terjun ke dalamnya dan tenggelam dalam sikap demikian”.
Dalam sekejap warga desa mematuhi perintah binatang buas tadi. Mereka berduyun-duyun pergi ke pantai dan terjun ke laut. Mudahlah bagi binatang buas tersebut mengambil alih desa yang ditinggalkan penduduknya.

Hikmah di Balik Kisah Binatang Buas, Kambing, dan Warga Desa
Binatang buas di atas sebenarnya merupakan lambang nafsu manusia yang letaknya ada di alam bawah sadar. Sebelumnya, nafsu ini sudah diikat oleh warga desa, representasi ruh manusia. Dalam agama, pengekangan nafsu diri ini dilakukan melalui ibadah yang sifatnya serba membatasi. Misalnya, semua agama di dunia pasti memiliki ritual puasa, yang tujuannya (1) menjauhkan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri pada tataran luar, dan (2) mengendalikan amarah atau emosi jiwa yang tidak stabil pada tataran dalam yang ternyata berkaitan dengan makanan atau minuman apa saja yang masuk ke dalam tubuh. Ada pula salat, yang mengerem orang untuk bekerja sepanjang hari atau malah bermalas-malasan setiap hari.


Pengereman nafsu, pengikatannya seperti mengikat binatang buas, akan sia-sia ketika jiwa kita yang polos, yang digambarkan oleh kambing, justru membebaskan nafsu ini karena “muslihat-muslihat yang terlihat baik”. Kita bisa menganggap bahwa nafsu diri ini sama dengan setan yang tugasnya menghasut manusia. Nafsu bisa memanipulasi dengan pandangan “tidak apa-apa jika berdosa sedikit-sedikit” atau “setiap orang toh boleh salah” atau “dosa ini bisa ditebus dengan pahala yang lebih banyak”.

Sekali saja jiwa termanipulasi nafsu, hasilnya seperti kambing yang dijerat manusia dan dibuang ke laut. Jiwa tersebutlah yang akan menggantikan posisi nafsu yang mestinya dilenyapkan. Ketika jiwa lenyap, tidak ada lagi penjaga diri kita menghadapi nafsu. Bahkan, nafsu yang manipulatif ini menggandakan dirinya lebih besar seperti binatang buas yang berkawan dengan domba-domba. Ketika nafsu membesar (dan pada dasarnya sekali diberi kesempatan untuk bebas maka nafsu akan memenangkan pertarungan dengan pengendalian diri), maka bisa dipastikan nasib kita sama seperti warga desa yang masuk ke laut dengan wajah gembira karena binatang buas mengarahkan mereka. Artinya, nafsu telah mengendalikan kita; bukan sebaliknya.

Dalam kisah-kisah lain yang tertebar di dunia (tidak mesti kisah Islami) kisah binatang buas, kambing, dan warga desa ini memiliki variasi yang bermacam-macam dengan pola yang sama. Misalnya, ada naga (nafsu) yang berasal dari bawah tanah atau dari danau yang gelap (ketidaksadaran) kemudian menculik perawan (jiwa yang suci) sehingga perawan tersebut tertawan. Hidup-mati sang perawan bergantung pada tokoh utama cerita, yang biasanya ditampilkan sebagai ksatria super, diri kita sendiri.

Foto: Isna Riadna
Previous
Next Post »