Dalam kisah inspiratif para sufi kali ini kita akan membahas tokoh Husain bin Mansur atau lebih dikenal dengan nama Al-Hallaj adalah sosok kontroversial. Banyak yang menyatakan bahwa ucapannya, “Ana Al-Haqq” (Akulah Tuhan) sangat keblinger dan ucapan itulah yang menyebabkan Al-Hallaj dihukum gantung dengan keji. Al-Hallaj dikenal sebagai penganut panteisme (paham yang percaya bahwa makhluk dan Tuhan adalah satu kesatuan) atau dalam kosakata Islam dianggap sebagai wahdatul wujud; yang oleh beberapa kalangan fanatik sempit artinya Tuhan adalah ciptaan dan ciptaan adalah Tuhan. Padahal, dalam semua buku yang ditulisnya, Al-Hallaj tidak pernah menuliskan kata “wahdatul wujud”.
Tuduhan kesesatan Al-Hallaj ditambah lagi dengan ucapannya tentang haji, “siapa saja yang hadir bersama Tuhan di rumahnya sendiri sebenarnya berada dalam posisi yang seolah-olah hadir bersama Tuhan di Mekkah”. Ucapan ini, bagi orang yang terbiasa membenci orang lain, hanya bisa dimaknai bahwa Al-Hallaj menyamakan ibadah di rumah (salat khusyuk) dengan ibadah haji. Artinya, ibadah haji tidak diperlukan kalau sudah bisa salat khusyuk di rumah. Padahal, Al-Hallaj hanya ingin menekankan pentingnya konsentrasi seseorang dalam beribadah; dari pikiran-pikiran duniawi atau dari kebanggaan diri terhadap ibadah yang sebenarnya tergolong dalam kekafiran tersembunyi.
Banyak yang menganggap Al-Hallaj dieksekusi, tubuhnya dipotong hidup-hidup di depan umum, lantas potongan itu dijadikan satu dan dibakar, karena ucapan “ana Al-Haqq”; artinya al-Hallaj meninggal dalam keadaan kafir (sesat). Padahal, kematian al-Hallaj lebih disebabkan oleh faktor politis. Saat itu khalifah yang berkuasa, Khalifah al-Muqtadir, yang berasal dari dinasti Abbasiyyah mengklaim kekuasaannya berkesuaian dengan ajaran Islam. Ucapan sang khalifah berbeda 180 derajat dengan kenyataan karena masa-masa tersebut Islam sangat merosot: rakyat menderita sedangkan khalifah dan para bangsawan menumpuk harta. Belum lagi pujian-pujian berlebihan terhadap khalifah disampaikan seolah-olah khalifah adalah representasi Tuhan di dunia atau setidaknya pengganti Nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan risalah Islam.
Teriakan “Ana Al-Haqq” oleh al-Hallaj menunjukkan bahwa ada otoritas yang lebih tinggi daripada khalifah. Ucapan ini artinya, Allah tidak tinggal di hati penguasa atau orang yang dianggap tinggi oleh manusia. Allah tinggal di hati orang beriman. Bagi menteri Hamid, salah satu pembisik paling ampuh untuk al-Muqtadir, ucapan ini dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Karena tidak mungkin menuduh Al-Hallaj membangkang secara politis, mengingat pendukung al-Hallaj sangat banyak dan banyak orang yang tidak suka dengan kepemimpinan al-Muqtadir yang lemah, dipilihlah jalan lain. Menuduh Al-Hallaj sebagai orang sesat adalah pilihan yang paling tepat. Tidak akan ada yang bisa memprotes keputusan khalifah karena orang sesat memang harus diperangi (pilihan ini sekaligus merupakan tindakan penciptaan citra agar seolah-olah khalifah begitu perhatian dengan agama).
Al-Hallaj sama sekali tidak gentar dengan penggantungan ini. Bahkan, sebelumnya Al-Hallaj sudah memeroleh “penglihatan” tentang kematiannya. Ketika ditanya oleh Abdul Malik al-Iskaf, muridnya, tentang siapakah orang arif (yang memiliki hikmah kebijaksanaan ilahi), Al-Hallaj menjawab, “orang arif adalah orang yang karenanya segenap masyarakat datang ke Babel Taq pada Selasa, 24 Zulkaidah 309, lalu mereka memotong tangan dan kakinya, mencongkel kedua matanya, membakarnya, kemudian membakar abunya ke udara.” Detail kematian Al-Hallaj benar-benar mirip dengan penglihatan tersebut.
Jika dibandingkan dengan keadaan sekarang, betapa terbaliknya keadaan. Orang Islam rela “menjual” keislamannya dengan mengabdi pada otoritas yang terbukti sudah menyengsarakan rakyat. Bahkan, tak jarang orang yang awalnya begitu getol mengkritik pemerintah atau konglomerat yang menimbun uang (dalam Islam, tidak ada monopoli), ketika mendapatkan keuntungan dari pemerintah atau konglomerat tersebut, lidahnya seolah terpelintir dan bergantilah ucapannya.
Belum lagi masalah kemurnian ibadah seperti yang dijelaskan al-Hallaj. Entah berapa banyak orang berhaji, tetapi hatinya tidak berhaji. Mereka malah sibuk mencari oleh-oleh untuk tetangga atau giat sekali mendekati kegiatan-kegiatan menjurus syirik sepanjang perjalanan haji. Bukankah orang yang berhaji dengan cara seperti itu, selain usahanya menjadi sia-sia juga meremehkan Allah karena dalam ibadah yang seharusnya hanya menuhankan Allah; kita malah menuhankan hal-hal yang tidak penting; termasuk menuhankan diri sendiri? Bukankah dengan hal ini, kalimat Al-Hallaj sangat tepat? Betapa mulianya orang yang hatinya ditinggali Allah, sepenuhnya berada dalam kepasrahan, daripada orang yang mengaku mencintai Allah dengan ibadah, tapi ternyata tindakannya justru sama sekali jauh dari kepasrahan?
Politisasi ucapan Al-Hallaj, dalam konteks yang lebih luas, pada zaman sekarang ini bahkan dapat dikatakan “sudah lumrah”. Ulama atau umat memanipulasi keadaan untuk berlindung pada pemerintah atau malah pemerinah memanipulasi keadaan negara dengan berlindung pada tafsiran-tafsiran ulama. Banyak orang yang mengkritik kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh oknum ormas tertentu. Padahal, pihak yang berkata hal tersebut, bukankah juga memolitisasi agama karena nyatanya ormas berkedok agama tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menciptakan teror sehingga rakyat tidak bisa berlindung ke tempat lain selain penguasa?
Foto: Isna Riadna
ConversionConversion EmoticonEmoticon