Kisah Inspiratif Para Sufi: Ibnu Arabi dan Perempuan

 Kisah Inspiratif Para Sufi: Ibnu Arabi dan Perempuan

Dalam kisah inspiratif para sufi kali ini, kita akan membahas tokoh sufi legendaris, Ibnu Arabi, seorang sufi terkemuka yang menghasilkan buku-buku terhebat sepanjang masa seperti Futuhat Al-Makiyya, Fusus Al-Hikam, Tarjuman Al-Asywaq, Nasab Al-Khirqah, dan lain-lain, dipahami secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan. Bagi penganut agama yang kaku, Ibnu Arabi dapat dikatakan sebagai ahli bid’ah karena keberaniannya menerangkan hal-hal yang berada di luar logika umum umat beragama.

Misalnya, ketika umat beragama menganggap malaikat sebagai salah satu makhluk Allah yang tercipta dari cahaya atau memiliki sayap empat, dalam Fusus Al-Hikam Ibnu Arabi menjelaskan bahwa malaikat adalah “bagian paling berkembang dalam alam semesta. Dalam kosakata sufi, malaikat dapat disebut dan disamakan dengan Manusia Agung (al-Insan al-Kabir) . Dapat dikatakan bahwa malaikat sebenarnya adalah bentuk pengembangan organ fisik dan ruhani manusia yang paling maksimal. Masing-masing bentuk pengembangan ini terselubungi oleh bentuk pengembangan itu sendiri. Oleh karena itu, bentuk pengembangan diri ini hanya bisa melihat dirinya sendiri; ia merasa bahwa tidak ada yang lebih unggul darinya.”.

Ucapan Ibnu Arabi tentang malaikat sebagai perkembangan organ ruhani manusia ini belum seberapa kontroversial dibandingkan dengan kata-katanya tentang perempuan. Ibnu Arabi menyatakan bahwa “pandangan tentang Tuhan dalam perempuan adalah pandangan paling sempurna”. Bahkan, dalam buku Tarjuman Al-Aywaq (Ungkapan atau Terjemahan Kerinduan) Ibnu Arabi melambangkan kecintaannya kepada Allah melalui perumpamaan cinta laki-laki kepada perempuan; misalnya sebagai berikut.
Jika aku membungkuk kepadanya sebagai kewajibanku
Sementara dia tidak pernah menanggapi penghormatanku
Bukankah aku hanya menimbulkan keluhan?
Wanita rupawan tidak pernah mengundang rasa kewajiban.

Ungkapan menyejajarkan perempuan dengan Tuhan ini bagi umat beragama yang kaku jelas merupakan sebuah kekafiran sedangkan bagi para orientalis, ungkapan ini dinilai menunjukkan ketololan, seperti klaim Reynold Nicholson, “Dengan mengaku mencintai suatu abstraksi universal, para sufi menjadikan individu tertentu sebagai obyek penyembahan mereka .” Padahal Ibnu Arabi hanya menjelaskan bahwa di dalam perempuan yang baik (istri shalilah) seorang lelaki (suami) akan menemukan kedekatan paling maksimal kepada Allah; dan hal ini berkorelasi penuh dengan Q.S. 30:21  dan hadis Nabi, “Dunia dan segala sesuatu di dalamnya memang berharga; tapi, hal yang paling berharga di dunia adalah seorang istri yang baik hati (istri shalihah).”

Fitnahan demi fitnahan dialami Ibnu Arabi pada masa hidupnya karena keberaniannya mengungkap “sesuatu yang seharusnya tertutup” ke depan publik. Ia pernah dikejar untuk dibunuh dalam perjalanan ke Mekkah oleh kalangan muslim yang berpikiran sempit. Ia dituduh menyebarkan kekacauan ajaran Islam di Mesir dan di Aleppo (Syria). Begitu juga pada zaman-zaman setelahnya. Banyak pengamat Islam atau ulama yang mengklaim Ibnu Arabi layak disebut kafir kalau tidak dianggap tergila-gila pada perempuan sehingga “membuat nilai Tuhan jatuh pada standard ciptaan-Nya yang rendah”. Padahal, semua sufi pada zamannya sepakat bahwa Ibnu Arabi adalah seorang wali pilihan Allah (seperti klaimnya sebagai pemegang nama “Muhammad” terakhir) atau dalam bahasa orang modern, salah satu penerjemah Alquran ke dalam kehidupan sehari-hari yang paling baik.

Jika kita melihat kehidupan Ibnu Arabi, layaklah pepatah “semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa” disematkan. Beliau tetap tegar, berkepala dingin, dan percaya diri menghadapi tuduhan sesat orang-orang yang membencinya. Bandingkan dengan diri kita. Kita yang beragama “sesuai dengan pandangan umum” saja, “malu” atau gengsi untuk mengakui bahwa kita membutuhkan Tuhan, mulai dari menunda-nunda salat dengan dalih mencari nafkah untuk keluarga; beribadah khusyuk hanya ketika terdesak; hingga serakah meraup semua kenikmatan dunia dengan dalih Islam toh menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha.

Kalau Ibnu Arabi dengan gagah berani menjelaskan prinsip-prinsipnya yang seakan bertentangan dengan agama padahal tidak; kita malah sibuk mengaku-aku tindakan kita sudah selaras dengan agama padahal tindakan tersebut jauh dari nilai-nilai Islam; dan betapa banyaknya orang Islam yang berperilaku seperti kita. Bandingkan keadaan ini dengan hadis, “sesungguhnya Islam itu pada awal kemunculannya asing dan akan kembali menjadi asing seperti pada awalnya. Maka, keuntungan besarlah bagi orang-orang yang asing.”.

Foto: Isna Riadna
Previous
Next Post »