Kisah Hikmah Pencerah Hati: Anak-Anak Rakus dan Harta Karun Tersembunyi


Kisah Hikmah Pencerah Hati: Anak-Anak Rakus dan Harta Karun Tersembunyi

Pada zaman dahulu, ada seorang petani yang suka bekerja keras dan baik hati. Ia memiliki tiga anak laki-laki yang malas dan rakus. Sepanjang hidup sang ayah, ketiga anaknya sama sekali tidak mau bekerja dan hanya bergantung pada uang hasil kerja ayah mereka. Lalu, tibalah hari-hari terakhir. Ketika sekarat, petani tersebut berkata kepada anak-anaknya bahwa mereka akan menemukan harta karun kalau mau menggali tempat tertentu di kebun. Ketiga anaknya tampak antusias karena artinya mereka tidak perlu bekerja.

Beberapa saat setelah sang ayah meninggal, anak-anak itu bergegas ke kebun, menggali dari satu sudut ke sudut lain untuk mencari harta karun. Awalnya mereka begitu bersemangat. Tapi, karena harta tersebut tidak juga ditemukan, lama-lama mereka mulai putus asa. Setiap kali mereka menggali pada kedalaman tertentu dan menyadari harta yang dikatakan sang ayah belum ditemukan, hati mereka semakin goyah. Ketiganya mulai berpikir keras karena ternyata, setelah diselidiki, pada seluruh kebun, tidak ada sebongkah emas pun. Ketiga anak itu pun beranggapan, pastinya sang ayah sudah membagi-bagikan emas tadi kepada tetangga mereka karena sang ayah memang dikenal dermawan. Berhentilah mereka mencari emas dalam kebun.

Ketika mereka melihat bahwa kebun tersebut sudah terlanjur digali, agar tidak sia-sia pekerjaan mereka, lebih baik kebun tersebut ditanami benih. Maka, mereka pun menanam gandum. Dengan ketekunan mereka, panin gandum mereka hasilnya melimpah ruah. Mereka menjual gandum tersebut dan pada tahun itu, mereka memperoleh kekayaan yang besa.

Setelah musim panin, ketiga anak itu berpikir lagi tentang harta terpendam yang mungkin masih luput dari penggalian mereka yang terdahulu. Ketiganya menggali lagi ebun tersebut. Sayang, hasilnya sama saja. Lalu, mulailah mereka menanami kebun tersebut dengan gandum. Mereka memperoleh kekayaan lagi.

Begitulah kejadian seterusnya. Mereka menggali lalu menanami kebun dengan gandum. Setelah sekian lama, mereka yang awalnya malas dan rakus telah terbiasa bekerja keras; ketiganya juga mengenal kapan musim yang tepat menanam dan memanin jagung, sesuatu yang tidak dikenal mereka sebelumnya.
Kini, ketiga anak itu memahami cara sang ayah mereka melatih mereka; mereka pun menjadi petani-petani yang jujur dan senang. Bahkan, pada akhirnya mereka memiliki kekayaan yang cukup untuk membuat mereka melupakan harta karun sang ayah.

Hikmah di Balik Kisah Perumpamaan Orang-Orang Yang Rakus
Ayah ketiga anak di atas melambangkan para nabi yang mengungkapkan bahwa pekerjaan baik tertentu akan menghasilkan pahala sedangkan pekerjaan buruk tertentu akan menghasilkan dosa. Pahala dan dosa tersebut berguna untuk “menebus” surga dan neraka, kebahagiaan hakiki dan penderitaan hakiki, dua keadaan ruh ketika tiba di Akhirat. Para nabi mengatakan hal tersebut sebenarnya dengan tujuan untuk mengalihkan hasrat keserakahan manusia yang muncul dalam hati umatnya. Pada dasarnya, setiap manusia, sesuci apa pun, memiliki hasrat untuk bermalas-malasan, bertindak seenaknya, tidak mau bekerja keras, ingin berkuasa, dan langsung menikmati hasil seperti yang diperankan oleh ketiga anak petani di awal kisah.

 Umat beragama yang menyangka akan mendapatkan surga dengan sendirinya berkat pahala dan terjerumus ke neraka dengan sendirinya karena dosa diharapkan akan bertindak hati-hati dalam hidupnya. Mereka akan berusaha keras untuk “memperoleh harta karun”. Ketika mereka gagal memperoleh surga (harta karun) dalam waktu singkat (mengalami derita dunia), hendaknya kesadaran umat beragama meningkat dengan menempuh jalan sendiri demi “bertahan hidup”, seperti halnya ketiga anak petani yang mulai menanami kebunnya dengan gandum karena terlanjur sudah menggali.

 Yang bisa dilakukan umat beragama, karena terlanjur berbuat baik demi mengharapkan pahala, tentu pilihannya tinggal terus berbuat baik karena ternyata meskipun surga belum datang, dampak perbuatan baik bisa dilihat dari munculnya berkah-berkah atau kemudahan dalam hidup. Selanjutnya, perbuatan baik tersebut mesti dilakukan oleh umat beragama tanpa pamrih. Ruh mereka yang terlatih dengan perbuatan baik ini kelak akan cukup mampu untuk “membuat surga sendiri di Akhirat”. Bandingkan pernyataan ini dengan kisah tambahan berikut.

Bahlul, sufi pandir yang bijaksana, suatu hari bertemu dengan khalifah Harun Al-Rasyid. Sang khalifah bertanya dari mana sajakah Si Bahlul.

 “Dari neraka,” jawab Bahlul dengan enteng.
“Apa yang kau lakukan di sana?” tanya Khalifah.

Bahlul menjelaskan, “Saya memerlukan api, Tuan. Jadi saya pikir lebih baik saya pergi ke neraka untuk meminta sedikit percikan api. Penjaga Neraka berkata, ‘Kami tak punya api di sini. Tentu saja saya bertanya, ‘Lho, kok begitu? Bukankah neraka tempat yang penuh dengan api?’ Penjaga Neraka menjawab, Sebenarnya di sini tak ada api sedikit pun. Justru, setiap orang yang datang ke sini membawa apinya masing-masing.’

Foto: Isna Riadna
Previous
Next Post »