Dalam kisah inspiratif para sufi kali ini kita akan membahas tokoh ‘Ayn Al-Qudat yang lahir di Hamadan pada 1098 M adalah salah seorang martir Islam yang nasibnya sama dengan Al-Hallaj, dihukum pancung karena masalah perpolitikan. Atas perintah menteri Dinasti Seljuk, Abul Qasim Qiwamuddin Nasir bin Ali al-Dargazini, pada usia 33 tahun, ‘Ayn Al-Qudat dikelupas kulitnya hidup-hidup dan digantung di tiang gantungan di pintu gerbang sebuah sekolah tempat ia pernah mengajar.
Tujuannya bukan masalah “kekafiran palsu” seperti yang didakwakan kepada Al-Hallaj. Tujuan penggantungan itu lebih merupakan dendam politik. Sama seperti Al-Hallaj, ‘Ayn Al-Qudat telah menerima penglihatan tentang kematiannya.
Bahkan, jika Al-Hallaj “hanya” diberi pertanyaan oleh muridnya, kemudian menjawab dengan tepat tentang kematiannya, ‘Ayn Al-Qudat menerangkan dengan terperinci tentang kematiannya dalam buku yang sangat terkenal, Tamhidat. ‘Ayn Al-Qudat menulis, “esok hari ---atau setelah beberapa hari--- kalian akan melihat ‘Ayn Al-Qudat akan memperoleh berkah ini (terbunuh di Jalan Allah); ‘Ayn Al-Qudat ini akan mengorbankan kepalanya sendiri untuk memperoleh kebesaran (mati syahid demi tegaknya kebenaran).”.
Lalu, jika Al-Hallaj mengkritik politisasi agama dan kemunafikan umat beragama, apa yang dikritik oleh penerusnya ini? Dengan jitu, ‘Ayn Al-Qudat menerangkan bahwa semakin besar cinta Allah kepada seseorang, semakin besar pula niat Allah menjauhkan orang tersebut dari dunia. Jika rujukan kenikmatan dunia adalah kesenangan hidup, maka orang yang beriman justru akan dibuat menderita selama berada di dunia; untuk membersihkan hatinya dari kecintaan-kecintaan terhadap hal selain Allah. Allah akan membuat orang yang beriman untuk mencukupkan diri, bahagia dalam deritanya.
“Ah! Apakah kamu menganggap bahwa bencana diberikan begitu saja kepada manusia? Apa yang kamu ketahui tentang bencana? Tetaplah teguh sampai kamu mencapai titik tempat kau secara ikhlas akan membeli bencana dengan mengorbankan jiwamu.
Bukankah Syibli merujuk pada keadaan ini dengan berkata: “Ya Tuhan, semua orang mencari-Mu karena keagungan dan kenyamanan-Mu, tetapi aku mencari-Mu demi bencana.”
Tunggulah sampai ketertarikan dari ketertarikan Ilahi mulai mengubahmu. Maka, kamu akan tahu apakah bencana itu! Bukankah ini yang dimaksudkan dalam sabda Nabi: “Sebagaimana emas diuji dengan ditempatkan dalam sebuah wadah di atas api, demikianlah orang beriman diuji melalui malapetaka dan bencana.”
Ungkapan ‘Ayn Al-Qudat ini sangat tepat bagi kita. Seringkali kita menuntut diri (dan dituntut) untuk bersenang-senang; memiliki uang melimpah, semua kebutuhan terpenuhi, dan berkuasa atas orang banyak.
Padahal, keadaan semacam ini hanya akan membuat hati tumpul. Semakin dekat kita pada kesenangan dunia, semakin besar pula kematian hati ini; mudah iri kepada orang lain, mudah mendendam, atau yang lebih parah, menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi kepentingan pribadi, tidak peduli jika orang lain terluka dengan tindakan kita.
Padahal, sabda Nabi, “Apabila kamu mencintaiku, bersiap-siaplah untuk menghadapi kemiskinan dengan mengencangkan pinggang; sesungguhnya kemiskinan lebih cepat datangnya bagi orang yang mencintaiku melebihi cepatnya banjir yang mengalir ke jurang”. Artinya, siapa pun orang Islam yang merasa tidak siap miskin, tidak siap berserah diri dan malah berburu harta, keislamannya dan kecintaannya kepada Nabi patut dipertanyakan.
Selain menjelaskan beratnya cobaan hidup bagi orang-orang yang dicintai Allah, ‘Ayn Al-Qudat juga menerangkan adanya kekafiran tersembunyi dalam setiap ibadah yang ditujukan kepada Allah. Menurutnya, terdapat empat macam kekafiran, yaitu kekafiran lahir (kufr-i-zahir), kekafiran jiwa (kufr-i-nafs), kekafiran hati (kufr-i qalb), dan kekafiran atas Hakikat Sejati (kufr-i haqiqah). Kekafiran tersebut berjenjang dan tergantung pemahaman seorang muslim untuk mencernanya karena kekafiran-kekafiran ini pada satu sisi juga menunjukkan “keimanan palsu”.
Contohnya, hampir semua orang Islam sudah melewati kekafiran lahir, tidak menyembah berhala fisik. Meskipun demikian, mereka pada dasarnya masih memiliki kekafiran jiwa semisal, bangga terhadap ibadah atau masih berprinsip untung-rugi dalam beribadah (tidak sepenuhnya ikhlas karena Allah, tapi lebih disebabkan ketakutan pada neraka dan kesukaan pada surga).
Ketika kekafiran ini berhasil dilewati, masih ada kekafiran hati, adanya berhala-berhala lain yang menghalangi manusia untuk sepenuhnya pasrah kepada Allah; mulai dari uang, istri, anak, dan kenikmatan duniawi. Yang terakhir, kekafiran yang paling utama sekaligus yang paling susah dihilangkan adalah kekafiran pada Hakikat Sejati, ketika seseorang memenangkan keakuannya atas perintah Allah; entah seberapa sering kita melakukannya.
Tingkah laku ini misalnya, ketika melihat orang lain yang menderita, kita kadang puas. Jika tidak, kita selalu mengunggulkan diri di atas orang lain dalam segala hal, tidak mau mengalah, sok tahu, memegang kebenaran agama hanya berdasarkan penafsiran diri sendiri. Padahal, sabda Nabi, “Sebelum seseorang mencintai Allah dan Nabi-Nya lebih daripada mencintai yang lain, ia tidak memiliki keimanan yang benar” sedangkan kecintaan kepada Allah dilatih dengan mencintai sesama makhluk; melihat mereka sederajat dan tidak terbersit keinginan untuk berkuasa atau menang. Nabi juga bersabda, “Apakah kau benar-benar mencintai Allah? Buktikan dulu dengan mencintai sesama makhluk-Nya.” Kadang, hal inilah yang kita lupakan sehingga seberapa pun banyaknya kita beribadah, sebelum menghancurkan keakuan, kita tetap saja kafir terhadap Hakikat Sejati.
Foto: Isna Riadna
ConversionConversion EmoticonEmoticon