Jenis-Jenis Istighfar: Istighfar Nabi Yunus Tentang Tanggung Jawab

 Jenis-Jenis Istighfar: Istighfar Nabi Yunus Tentang Tanggung Jawab

Dalam jenis-jenis istighfar kali ini kita akan membahas Istighfar Nabi Yunus tentang seseorang yang lalai akan tanggungjawab. Nabi Yunus sendiri sebelumnya diperintahkan oleh Allah untuk pergi ke Ninefeh, sebuah kota besar untuk menyerukan kebenaran tentang Tuhan yang Satu.

Akan tetapi, Yunus justru melarikan diri. Ia sampai di Yafo dan menumpang sebuah kapal yang akan berangkat ke Tarsis. Di sinilah Nabi Yunus tidak melakukan perintah Allah. Oleh karena itu, Allah menurunkan angin ribut ke laut, menghantam kapal yang ditumpangi Yunus.

Saat itulah kapal oleng. Awak kapal ketakutan. Mereka membuang segala muatan kapal agar meringankan kapal, agar kapal tidak tenggelam. Dalam Injil, dikisahkan bahwa Nabi Yunus justru berada di bagian kapal yang paling bawah dan tertidur dengan nyenyak. Hal ini jelas membuat nahkoda heran.

Ia menyeru, “Bagaimana mungkin engkau tidur begitu nyenyak? Bangunlah, berserulah kepada Allahmu, barangkali Allah akan mengindahkan kita, sehingga kita tidak binasa.”

Saat itu, Yunus dan Nahkoda memutuskan untuk berundi. Mereka ingin mengetahui karena siapakah kapal ini ditimpa malapetaka badai yang besar. Dalam undian tersebut, Nabi Yunuslah yang terkena undi.

Saat itulah Nabi Yunus menyadari kesalahannya yang tidak mau berdakwah ke Ninefeh. Awak kapal pun bertanya kepadanya, “hendak kami apakan engkau, supaya laut reda dan tidak menyerang kapal ini lagi?”.

Yunus berkata agar ia dicampakkan ke dalam laut sebagai penebusan kesalahannya. Saat itulah awak kapal mengabulkan keinginannya. Mereka juga berseru kepada Allah, “Ya Tuhan, janganlah Engkau binasakan kami karena orang lain yang bersalah.”. Saat itu juga, Nabi Yunus terjun ke laut dan ditelan oleh seekor ikan. Dalam Q.S. 37:142, dijelaskan bahwa keadaan Nabi Yunus saat itu sangat tercela di mata Allah karena meninggalkan kaumnya, “Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela” (Q.S. 37:142).

Padahal, jabatan Nabi Yunus adalah rasul, pembawa risalah Allah kepada suatu kaum, seperti yang dijelaskan dalam Q.S. 37:139, “Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul”.


Jika seorang rasul tidak mengindahkan tugasnya menyadarkan kaumnya, rasul tersebut memikul dua tanggungan besar. Pertama, dosanya yang melanggar ketentuan Allah. Sudah ditegaskan dalam Q.S. 13:7 bahwa “bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk”. Jika orang yang memberi petunjuk tidak ada, bagaimana kaum tersebut bisa memiliki petunjuk tentang hakikat Tuhan Yang Satu?

Selain itu, tanggungan besar Nabi Yunus berikutnya adalah dosa kaumnya. Jika seorang nabi sudah berdakwah dan kaumnya tidak mau mendengar, tentu kesalahan bukan terletak pada nabinya, tetapi kaumnya. Akan tetapi, kalau nabi belum berdakwah, tentu saja kesalahan ditimpakan kepada nabi yang tidak mau berdakwah itu. Oleh dasar-dasar itulah Nabi Yunus dikategorikan dalam golongan tercela.

Akan tetapi, sebagaimana nama-nama Allah adalah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Allah menyadarkan Nabi Yunus dalam posisinya sebagai rasul. Firman Allah dalam Q.S. 37:143—144, “Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah,” (133), “niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (134). Nabi Yunus, dalam keadaan tertelan ikan, kemudian berdoa



La ilaha ila Anta, subhanaka inni kuntu minadz-dzolimin ---”Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (Q.S. 21:87).

Meskipun Nabi Yunus tidak mengatakan “astaghfirullah”, tapi pada hakikatnya, Nabi Yunus menyadari kekeliruannya dengan berkata, “inni kuntu minadz-dzolimin” --- “aku termasuk orang-orang yang zalim”, hakikat sebenarnya dalam istighfar, pengakuan kesalahan.

 Istighfar Nabi Yunus ini menunjukkan adanya upaya mempertanggungjawabkan kesalahan atas larinya seseorang dari tanggungjawab. Dengan membaca doa ini, kita bisa memahami tentang peristiwa pada masa lalu, tentang seorang rasul yang tidak berani memegang amanat yang terlanjur diberikan kepadanya.

Bukan dalam artian kita menyalahkan Nabi Yunus, tetapi menyadari bahwa kita sering melakukan kesalahan yang sama, tidak bisa memegang amanah, atau malah berusaha lari dari kesalahan yang sudah terjadi dalam pertanggungjawaban kita. Jika yang terjadi demikian halnya, yang kita perlukan tentu saja beristighfar, membaca doa Nabi Yunus ini, sambil berusaha menghadapi kenyataan, bukan berpaling dan menyalahkan pihak-pihak yang tidak bersalah.
Previous
Next Post »