Jenis-Jenis Istighfar: Adab Beristighfar dalam Kisah Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

 Jenis-Jenis Istighfar: Adab Beristighfar dalam Kisah Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Dalam bagian jenis-jenis istighfar kali ini, kita akan membahas adab beristighfar yang bisa dilihat dari kisah Nabi Yakub dan Nabi Yusuf.  Dalam kisah Nabi Yusuf dan Nabi Yakub, tidak ada istighfar yang eksplisit. Akan tetapi, dari doa Nabi Yakub dalam Q.S. 12:98, kita mengetahui bahwa tidak sembarang waktu kita bisa beristighfar. Bunyi Q.S. 12:98 adalah sebagai berikut.

Astaghfiru lakum Robbi, Innahu Huwal-Ghofurur-Rohim -- : 
Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Nabi Yakub tidak langsung beristighfar saat dimintai anak-anaknya. Pertama, Nabi Yakub masih dalam keadaan yang penuh dengan gejolak. Nabi Yakub masih merasa marah dengan anak-anaknya yang selama ini tidak jujur kepadanya tentang masalah Yusuf. Di satu sisi, Nabi Yakub juga berada dalam keadaan yang suka cita berlebihan setelah berakhirnya penantian panjang tentang keberadaan Yusuf.

Sejak awal, Nabi Yakub sudah curiga dengan anak-anaknya bahkan sejak mereka memberikan gamis Yusuf yang berlumuran darah kambing. Dikisahkan dalam Q.S. 12:18, “Mereka (kakak-kakak Yusuf) datang membawa baju gamis Yusuf (yang berlumuran) dengan darah palsu. Yakub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.”.

Nabi Yakub sudah mengerti kebohongan kakak-kakak Yusuf dengan berkata bahwa Allahlah yang akan dimohon pertolongan-Nya atas semua kisah karangan kakak-kakak Yusuf. Akan tetapi, Nabi Yakub sendiri tidak mengerti di manakah keberadaan Yusuf. Oleh karena itu, Nabi Yakub memilih untuk bersabar saja karena jika tiba waktunya, semua akan terungkap.

Satu hikmah yang kita petik sebelum beristighfar, adalah kesabaran seperti yang dirasakan Nabi Yakub. Beliau harus menahan-nahan perasaan yang penuh penasaran, kemarahan, dan kerinduan sekian tahun lamanya. Perasaan tersebut dipendamnya sendiri dengan terus berusaha bersikap sabar. Oleh karena itu, Nabi Yakub berkata, “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (Q.S. 12:86).

Terkait dengan kehidupan kita saat ini, dikisahkan dalam Tarikat Naqsbandi bahwa setelah Nabi Muhammad saw. wafat, Asmaul Husna yang melekati dunia kita saat ini adalah asmaul husna terakhir, sesuai dengan posisi Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dan kita sebagai umat akhir zaman menuju kiamat, adalah Ash-Shobru (Yang Maha Sabar), asmaul husna ke-99. Tugas kita adalah menyesuaikan diri dengan nama tersebut, bersikap sabar terhadap ujian apa pun.

Mulai dari pengeroposan Islam baik oleh negara maupun Amerika Serikat, baik oleh umatnya sendiri yang mengaku Islam tetapi tidak sesuai dengan nilai-nilai islami maupun oleh umat lain, baik oleh ulama yang mengaku mengajarkan kebenaran padahal sebenarnya kesesatan, maupun umat biasa yang mengaku menegakkan keadilan padahal menyebar kezaliman, baik oleh diri sendiri ataupun dari orang lain, meski yang kita pentingkan tetap koreksi terhadap diri sendiri.

Kembali pada istighfar Nabi Yakub, Nabi Yakub menunggu hingga keadaannya benar-benar terlepas dari kebutuhan-kebutuhan duniawi. Seperti yang kita ketahui, banyak ayat yang menyebutkan bahwa harta dan anak hanyalah cobaan dunia. Anak membuat kita mengorbankan segalanya, bahkan posisi anak kadang melebihi posisi Allah di mata kita.

 Hal ini dijelaskan dalam tiga ayat, misalnya Q.S. 8:28, “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”. Dalam ayat lain, Q.S. 63:9 juga dijelaskan, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”. Terdapat pula Q.S. 64:15, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”.

Beristighfar juga tidak boleh dalam keadaan marah atau membenci seseorang. Beristighfar pada hakikatnya berdoa untuk memohon ampunan. Jadi, jika kita berada dalam keadaan marah, hal tersebut sama saja berbohong: memohon ampunan Allah tetapi dirinya sendiri tidak memaafkan orang lain. Hal ini disampaikan Allah dalam Q.S. 68:48, “Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya). “.

 Kita juga perlu menyadari bahwa marah tidak akan menyelesaikan masalah, justru merumitkan istighfar kita yang berarti akan menjadi istighfar yang tidak konsisten. Hal ini bisa dilihat dalam Q.S. 42:37, “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.”. Marah membuat kita menjauhi dosa karena dari marahlah akan muncul prasangka-prasangka buruk yang menyesatkan pola pikir kita. Oleh karena mengetahui keadaan ini, Nabi Yakub memilih untuk menunggu keadaannya benar-benar stabil dalam bermunajat kepada Allah.

Selain itu, menurut pendapat umum, Nabi Yakub sengaja menunda istighfarnya untuk anak-anaknya demi kesempurnaan istighfar itu sendiri. Nabi Yakub diriwayatkan menunggu datangnya waktu dini hari, sepertiga akhir malam, sebelum beristighfar. Seperti yang sudah kita bahas dalam bab pertama, “Allah turun ke langit yang paling dekat dengan bumi pada sepertiga malam terakhir”. Pada waktu inilah Allah mengabulkan doa-doa orang yang mau mengalahkan egonya terlelap dalam malam hari.

Keberuntungan orang-orang yang beristighfar atau berdoa pada sepertiga akhir malam ini dijamin dalam Q.S. 51:15—17, “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air,” (15), “sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.” (16), dan “Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.” (17). Poin pentingnya terletak pada Q.S. 51:17, mereka yang tidur sedikit sekali pada malam hari dengan mengalihkan diri pada munajat dan istighfar.

Selain mengetahui kemustajaban istighfar pada sepertiga akhir malam, Nabi Yakub juga menyadari bahwa kesalahan anak-anaknya begitu besar. Mereka tidak hanya menjerumuskan Yusuf ke dalam sumur, tetapi juga berbohong kepada orang tua.

Oleh karena kesalahan mereka yang berlipat-lipat inilah Nabi Yakub memohon ampun pada sepertiga akhir malam tersebut agar Allah benar-benar mengampuni mereka. Demikianlah. Pada bab ini kita tidak hanya mempelajari istighfar, tetapi juga adab seseorang jika hendak beristighfar untuk orang lain dengan kesalahan yang besar, seperti yang dilakukan Nabi Yakub untuk anak-anaknya.
Previous
Next Post »