Seorang darwis yang gemar berpegang teguh pada kaidah baku dalam ibadah, kebetulan ia berasal dari mazhab yang sangat kaku, suatu hari berjalan menyusuri tepi sungai. Sepanjang penyusurannya itu, ia begitu banyak merenungkan masalah hidup, terutama tentang moral dan etika yang mesti diterapkan seseorang yang ingin dianggap Islam. Baginya, selama seseorang belum pandai membaca Alquran, atau belum menghafal surat-surat dalam Alquran, mana mungkin ia mengenal Allah. Di tengah renungannya ini, ada sebuah teriakan keras. Seseorang sepertinya tengah mengulang-ulang sebuah ungkapan darwis yang terkenal, “YA HU! “ dengan cara yang salah.
Si Darwis menggerutu dan berkata, “sia-sia saja orang tadi mengatakan kalimat rahasia tersebut. Ia sudah salah sejak awal karena ucapannya tidak benar. Seharusnya dia mengucapkan YA -HU, tapi dia malah mengucapkannya U-YA-HU.”
Si Darwis yang cermat ini kemudian merasa bertanggung jawab. Sebagai darwis yang lebih teliti, ia mempunyai kewajiban untuk meluruskan ucapan orang itu. Sambil terus mencari asal suara, Si Darwis mulai berpikir mengapa orang itu salah mengucapkan “U-YA-HU”. Mungkin saja orang tersebut tidak memperoleh guru yang layak, ia hanya mendengar majelis sufi dari kejauhan sehingga yang didengarnya justru salah. Artinya, orang itu berlatih secara otodidak. Padahal, yang benar, seorang sufi (darwis) harus mempunyai guru sehingga akan mendapatkan bimbingan yang baik ketika berada dalam kebimbangan.
Si Darwis kemudian berkesimpulan untuk memaafkan kesalahan orang itu. Tidak apa-apa orang tadi salah mengucapkan kata “YA-HU” menjadi “U-YA-HU”. Barangkali inilah kesempatan dari Allah agar Si Darwis mampu mengajar seseorang; hal yang selama ini belum diberikan kepada Si Darwis. Lalu, Si Darwis menyadari bahwa suara itu berasal dari sebuah pulau kecil yang ada di tengah sungai besar yang dilintasinya. Artinya, ia mesti menyewa perahu untuk mencapai pulau kecil tersebut. Demi amar ma’ruf, direlakannya hal ini.
Si Darwis akhirnya menjumpai orang yang mengucapkan kata salah tadi; yang sedang duduk di sebuah gubuk alang-alang. Orang tadi terlihat begitu berat bergerak; barangkali karena kesalahan ucapnya tadi.
Tidak memperlama waktu, Si Darwis memberikan nasehatnya, “sahabatku yang baik, kau keliru melafalkan kalimat “U-YA-HU”, yang benar adalah “YA-HU”. Aku tadi mendengarmu dari kejauhan. Beruntunglah kau karena Allah membawaku kemari untuk memberitahukan hal ini kepadamu. Aku melakukan ini karena janji Allah akan memberikan pahala kepada orang yang memberi dan menerima nasehat.”
“Terima kasih,” kata darwis yang lain itu dengan rendah hati.
Si Darwis kembali ke perahunya dengan puas karena merasa sudah beramal. Ia lantas mengingat pesan gurunya. Kalau ada orang yang bisa mengulang ucapan “YA-HU” dengan benar, ada kemungkinan orang tersebut bisa berjalan di atas air. Si Darwis, meskipun sudah bertahun-tahun mengucapkan kata tersebut, belum mampu berjalan di atas air. Sepengetahuannya pula, belum ada orang yang dilihatnya sendiri mampu bertindak demikian. Lalu, di dalam hatinya, muncul keinginan untuk melihat seseorang berjalan di atas air. Ketika teringat tentang orang tadi, yang salah mengucap “YA-HU”, Si Darwis agak merasa miris.
Tak lama kemudian, ia kembali mendengar ucapan “U-YA-HU” yang keliru. Si Darwis agak kesal karena kini ia yakin betapa bebalnya manusia. Sudah diajari yang benar, masih bergelimang pada kesalahan. Ia pun memastikan untuk berbalik ke arah pulau, untuk sekali lagi melatih orang asing yang tolol tadi.
Ketika berbalik, betapa terkejutnya Si Darwis karena orang asing yang disangkanya tolol tadi tengah berjalan di atas air mendekati perahunya. Orang asing itu dengan polos bertanya kepada Si Darwis, “Saudara Darwis, mohon maaf atas kelancangan saya mengganggu Anda sekali lagi. Saya datang untuk menanyakan cara yang benar untuk mengucapkan ungkapan yang Anda beritahukan kepada saya tadi; sulit sekali saya mengingatnya.”
Hikmah Orang Yang Berjalan di Atas Air
Kisah di atas sama sekali tidak bermaksud untuk meremehkan orang yang beribadah dengan rajin atau menganggap ibadah tidak penting. Sebaliknya, begitu pentingnya ibadah (dalam kisah di atas mengucapkan kata “YA-HU”) dengan ketulusan hati sehingga ibadah tanpa ketulusan hati, seberapa pun cerdasnya kita atau sehebat apa pun kemampuan kita, akan sia-sia. Si Darwis sudah berusaha keras untuk bisa berjalan di atas air. Justru orang yang tidak berharap mampu melakukan keajaiban-keajaibanlah yang akan dinaungi oleh Allah, diberi kemudahan untuk mengenal-Nya. Jangan mencela Si Darwis yang bersetia pada kaidah-kaidah ibadah karena pada hakikatnya bukankah kita juga berlaku hal yang sama? Betapa rajinnya kita setiap Jumat datang ke masjid berbondong-bondong dengan pakaian paling baik dan parfum wangi untuk mendengarkan khotbah Jumat dan betapa seringnya kita “tidak menganggap penting” khutbah tersebut; hanya sebuah kewajiban?
ConversionConversion EmoticonEmoticon