Kisah Inspiratif Para Sufi: Fariduddin Attar dan Musyawarah Para Burung




Dalam kisah inspiratif para sufi kali ini kita akan membahas tokoh Fariduddin Attar dikenal dunia karena dua karya utamanya, Tazkirah Al-Aulia dan Mathiquth-Thair (Musyawarah Para Burung). Attar yang pekerjaan sehari-harinya adalah pembuat minyak wangi (menjadi salah satu pelopor ilmu alkimia), menjadi inspirasi bagi orang Islam dan orang-orang Barat melalui dongeng-dongengnya. Berkaitan dengan pematangan kehidupan seseorang untuk mencapai Allah, Attar dengan menggunakan metafora, melukiskan perjalanan pematangan tersebut dalam Mathiquth-Thair.

Dalam syair ini, dikisahkan bahwa tiga puluh burung bersatu dengan dipimpin oleh merak (lambang seorang sufi) untuk mencari Simurgh, Raja Para Burung yang tinggal di Gunung Tertinggi (lambang Allah). Perjalanan burung-burung tersebut diibaratkan menempuh tujuh lembah yang melambangkan tujuh ujian yang akan dibebankan kepada hati manusia. Rujukan lembah-lembah ini adalah sabda Nabi, “Ada banyak lembah di hati manusia, masing-masing lembah memiliki jurang-jurang. Barangsiapa membiarkan dirinya mengikuti dan menuruni jurang-jurang ini, Tuhan tidak peduli di lembah mana dia akan lenyap”.

Lembah pertama yang harus ditempuh manusia adalah Lembah Pencarian. Dalam lembah ini, segala keinginan yang tidak penting (nafsu duniawi) mesti lenyap atau jiwa dan ruh yang lenyap.

Setelah melewati lembah ini, seseorang masuk pada Lembah Cinta. Di sinilah, setelah menyadari bahwa nafsu duniawi hanyalah penghalang kepada Allah, kerinduan seseorang kepada Allah semakin memuncak, bukan lagi kerinduan yang diembel-embeli atribut agama atau masalah pahala dan dosa.

Seiring meningkatnya kerinduan, bertambahnya cinta, seseorang memasuki lembah ketiga, Lembah Pengetahuan Intuitif. Kalau sepanjang hidup kita diajari untuk berlogika, keadaan di lembah ketiga ini kita justru harus menggunakan kebalikannya, intuisi. Dalam tataran tertentu, Allah akan turun langsung untuk “mengajar” kita dengan pengetahuan yang untuk umat beragama dianggap “sesat” padahal merupakan pengetahuan yang lebih tinggi.

Lembah keempat adalah Lembah Pemisahan. Di sini sang pencari Tuhan akan terbebas dari segala macam hasrat dan ketergantungan; sang pencari Tuhan sepenuhnya milik Allah dan “keajaiban-keajaiban” mewarnai hidupnya tanpa ada harapan untuk menciptakan atau memuja “keajaiban” tersebut.

Lembah kelima adalah Lembah Kebersatuan. Di lembah ini, sang pencari Allah akan menyadari bahwa segala macam hal di dunia hanyalah kepingan demi kepingan; yang pada hakikatnya mencerminkan keberadaan Allah. Tidak ada kebenaran hakiki di dunia sekaligus kebenaran-kebenaran tersebut mesti dibongkar dan ditelusuri lebih jauh lagi untuk mengenal Allah.

Lembah keenam adalah Lembah Ketakjuban. Di sini, sang pencari Allah akan menemukan dirinya “seolah-olah terikat benar kepada Allah”, ia mencintai Allah dan Allah mencintainya sehingga Allah menampakkan cahaya benderang dalam diri sang pencari yang membuat makhluk lain (dan dirinya sendiri) terkagum. Bahayanya, jika gagal di lembah ini, seorang pencari akan menganggap dirinya benar-benar nyata, tidak menyadari bahwa dirinya hanyalah pantulan Cahaya Abadi.

Dalam lembah terakhir, Lembah Kematian, sang pencari Allah benar-benar mengenal hakikat kehidupan.

Dengan segala pengetahuannya yang sangat tinggi, Attar tetap tampil sebagai sosok yang sangat bersahaja. Bahkan, ia menganggap dirinya bukan apa-apa. Bandingkan dengan pioner pengetahuan sekular yang membanggakan diri atau mengklaim bahwa sebelum sang pioner, tidak ada yang mampu menembus pengetahuan sekularnya. Sebuah kisah menjelang kematian Attar menunjukkan penghargaan Attar terhadap dirinya sendiri; sekaligus menunjukkan bahwa kehidupan dunia sama sekali tidak berarti.

Alkisah, ketika pasukan Mongolia menyerang Persia di bawah pimpinan Jengis Khan pada tahun 1220, Attar ditangkap. Ketika itu ia berusia seratus sepuluh tahun. Saat itu, biasanya orang yang ditangkap akan langsung dibunuh. Mengetahui Attar sebagai seorang guru sufi yang dihormati, seseorang berkata kepada pasukan Mongolia, “Jangan bunuh orang tua ini. Aku akan mengganti seribu keping uang perak sebagai tebusan untuknya.”

Attar melarang pasukan penangkapnya untuk menerima tawaran itu. Attar berjanji bahwa sang penangkap akan memperoleh sejumlah uang yang lebih pantas. Sang penangkap menerjemahkan pesan Attar dengan pikiran, ia akan mendapatkan  harga yang lebih tinggi dari orang lain. Benar juga, beberapa saat kemudian, mereka menemui seseorang yang ingin melepakan Attar dengan tawaran seharga seikat jerami.

Kali ini, Attar berkata, “Terimalah tawaran itu karena itulah hargaku yang sebenarnya!” Artinya, inilah yang dimaksud Attar dengan “harga yang pantas”; bukan harga yang lebih tinggi. Bandingkan dengan diri kita, yang ketika masih punya harapan hidup sekalipun, suka berdalih ini dan itu untuk menyelamatkan diri, atau tega mengorbankan orang lain asal masih bisa hidup. Penghargaan terhadap diri kita terlalu tinggi jika dibandingkan oleh Attar yang begitu merindukan pertemuan dengan Allah (mati) dan tidak berharap penilaian apa pun oleh manusia tentang dirinya. Biarlah hanya Allah yang mengetahui kualitas sebenarnya tentang dirinya. Akhirnya Attar memang  dibunuh oleh tentara Mongol yang sangat kesal dengan leluconnya itu.

Namun, hikmah yang bisa dipetik dari kisah ini tetap satu, “orang lain boleh berkata apa saja kepada kita, pujian atau hinan. Pertanyaannya, apa pengaruh pujian atau hinaan itu dibandingkan setitik saja kecintaan Allah kepada kita?”
Previous
Next Post »