Kisah Inspiratif Para Sufi: Hakim Sanai dan Kesesatan Muazin

Kisah Inspiratif Para Sufi: Hakim Sanai dan Kesesatan Muazin

Dalam kisah inspiratif para sufi kali ini kita akan membahas tokoh Hakim Sanai, seorang sufi kenamaan, lahir pada akhir abad 11 di Ghaznah. Dari tangannya, lahir kumpulan puisi menakjubkan seperti Kar-nama-i Balkhi, Sayr al-Ibad ila al-Maad, dan yang paling fenomenal, Hadiqatul Haqiqah (Taman Kebenaran). Kehebatan Sanai dalam pengetahuan ilahi dikomentari oleh Jalaluddin ar-Rumi. Sanai dianggapnya sebagai komponen penting, mata, dalam tubuh pengetahuan ilahi, dengan berkata “Jika (Fariduddin) Attar adalah ruhnya dan (Hakim) Sanai adalah mata kanan dan kirinya, maka kami (Ar-Rumi) adalah kiblat bagi keduanya.”

Sanai sering menekankan pentingnya kebersihan hati demi memperoleh cahaya pengetahuan langsung dari Allah. Misalnya, ia menyindir perbedaan antara orang-orang arif (pemilik pengetahuan ilahi) dengan umat beragama biasa (termasuk para ulama), “ketika engkau telah mencapai samudera, kau tidak akan berbicara tentang arus sungai”. Samudera adalah lambang Allah. Seseorang yang telah mengenal Allah tidak akan berbicara tentang tetek-bengek ritual agama yang kaku seperti yang diributkan umat beragama karena tetek-bengek tersebut sebenarnya dalam tataran tertentu hanyalah remeh-temeh. Misalnya, semua ulama menerangkan pentingnya berbagi dengan sesama, tidak egois, memelihara kepentingan umum, tapi dalam tataran paling dasar, ulama-ulama tersebut tetap saja mengklaim dirinya paling benar yang artinya menuhankan diri sendiri.

Berkaitan dengan formalitas agama, Sanai mengkritik dengan lebih tajam lagi. Misalnya tentang zikir, ia berkata, “zikir harus dilakukan tanpa kecuali dalam perjuangan; zikir, pengulangan tidak terdapat dalam majelis pengalaman.” Di sini, Sanai mengkritik orang-orang yang mulutnya berzikir meski pada praktiknya justru mengotori zikir tersebut. Misalnya, mengucap “segala puji bagi Allah”, tapi tak pernah berpuas diri dengan keadaan sekarang; terus-menerus mengejar kenikmatan duniawi. Zikir yang lebih penting, mengingat Allah yang sesungguhnya, baru bisa dibuktikan ketika seseorang terjun ke medan pertempuran menghadapi nafsu duniawi yang mungkin merenggut hatinya; seberapa hebatnya seseorang mampu menepis keinginan tidak penting atau penuhanan hal-hal duniawi karena Allah memang benar-benar dibuat nyata dalam tarikan nafasnya.

Sanai juga sering menggambarkan, selama berada di dunia, hati manusia diibaratkan sebagai cermin yang diterpa debu sekian banyak berupa keinginan-keinginan duniawi. Cermin itu mesti dibasuh dengan ibadah yang tulus kepada Allah; tanpa mengharapkan apa pun. Dalam hal ini, hendaknya umat beragama mesti waspada dengan apa yang disebut dengan ibadah dan apa yang disebut dengan “berpura-pura” ibadah. Dalam buku Musibah Nama karya Fariduddin Attar, dikisahkan sebuah pengembaraan Hakim Sanai yang merekam kepalsuan ibadah umat beragama, yaitu ketika Hakim Sanai berhadapan dengan seorang muadzin dan seorang penyapu jalanan.

Sanai, dalam pengembaraan panjang
Melihat tukang sapu sibuk dengan pekerjaannya.
Ketika melihat ke sisi lain, matanya
Tertuju pada muadzin yang menyerukan salat.
“Pekerjaan muadzin,” katanya
“sama sekali tidak lebih baik daripada tukang sapu;
Sesungguhnya mereka melakukan tugas yang sama.
Mereka tidak tahu apa yang mereka kerjakan
(mereka) hanya melakukan pekerjan yang merupakan kewajiban
Keduanya tidak berpikir dewasa, (ibarat anak-anak) hanya memperoleh makanannya
Tidak kulihat setitik perbedaan saja
Hanya saja, sang penyapu melakukan pekerjaan yang jujur;
Tugas yang saleh melalaikan sang muadzin .


Gambaran muadzin dan tukang sapu ini sangat telak mengusik pola pikir umat beragama. Kita terbiasa berpikir bahwa ibadah adalah semata-mata kewajiban. Kita mengerjakannya karena hal itulah yang tertulis dalam kitab dan dijelaskan para ulama; karena menurut para ahli agama, ibadah inilah yang akan menyelamatkan kita di Akhirat. Ibarat dalam sebuah pekerjaan, kita beribadah nyaris tanpa rasa cinta; hambar; jiwa dan ruh kita seolah sudah terpola seperti mesin pencetak ibadah. Anehnya, kita merasa bangga dengan keadaan ini, seperti yang ditampilkan oleh muadzin. Hanya karena ia menyeru orang lain untuk salat, seolah-olah ia sudah “berjasa” atau sudah berpahala. Padahal, yang menentukan berpahala hanyalah Allah.

Tugas manusia hanyalah beribadah tanpa pretensi. Diberi pahala atau tidak adalah urusan Allah. Sebaliknya, kita perlu merasa curiga terus-menerus pada kekurangan yang mungkin muncul pada ibadah kita, yang tertutupi dengan kesenangan karena berhasil menunaikan tugas. Ingatlah bahwa Nabi bersabda, “Siapa pun yag memiliki iman sebiji sawi tidak akan masuk neraka; dan siapa pun yang memiliki kebanggaan sebiji sawi tidak akan masuk surga”. Bahkan, dalam berbagai inisiasi sufi, kadang seorang guru dengan “kejam” sengaja “menghancurkan muridnya” agar sang murid memiliki hati yang murni dengan cara menghilangkan kebanggaan dalam diri sang murid, sekecil apa pun; yang mungkin pada masa awal akan menyebabkan sang murid rendah diri, padahal selanjutnya akan membuat sang murid bergantung sepenuhnya pada Allah.

Foto: Isna Riadna
Previous
Next Post »