Dalam kisah inspiratif para sufi kali ini kita akan membahas tokoh Hamdun bin al-Qassar seorang pendiri Kaum Malamati (Jalan Kesalahan) yang terkenal dengan kata mutiara, "“Barangsiapa yang kaulihat menyimpan kebaikan, bahkan meski hanya sebesar sebiji sawi, jangan sekali-kali kau berpisah darinya sebab ia menghujanimu dengan barakahnya”
Hamdun bin Ahmad bin Imarah al-Qassar adalah seorang pendiri Kaum Malamati (Jalan Kesalahan). Kaum ini mengambil nama “malamati” yang berasal dari kata malama yang berarti ‘menyalahkan’. Maksudnya, kaum ini memiliki kecenderungan untuk terus-menerus menyalahkan diri sendiri. Dengan begitu, mereka tidak akan memiliki kesempatan untuk mencari kesalahan orang lain seperti yang banyak dilakukan oleh manusia biasa. Jangankan berpikir tentang orang lain, kaum Malamati secara ekstrim kadang menganggap bahwa ibadah mereka, jika bagus, pasti karena Allah. Mereka menghilangkan kebanggaan akan ibadah tersebut. Jika ibadah tersebut kurang bagus atau cacat, mereka menganggap bahwa ibadah tersebut disebabkan oleh keadaan mereka yang tidak bisa berkonsentrasi, mereka menyalahkan diri sendiri yang tidak bisa mendekat pada Allah.
Berkaitan dengan status keagamaan, Kaum Malamati biasa menyembunyikan kehidupan mistik mereka. Alih-alih memamerkan diri sebagai seorang ustadz atau seorang kyai kondang, Kaum Malamati memilih untuk menggunakan julukan yang menunjukkan pekerjaan mereka sehari-hari. Contohnya, Hamdun Al Qassar. Nama ini berarti Hamdun Sang Pemberi Warna karena pekerjaan Hamdun memang memberi (mencelup) warna. Kaum Malamati beralasan, alih-alih melahirkan keimanan, seseorang yang mendapat julukan “Si Orang Alim” atau “Sang Orang Beriman” akan lalai atau tidak curiga bahwa sebenarnya ia belum layak disebut beriman. Bisa dikatakan, Kaum Malamati sengaja membuat para pengikutnya sama sekali tidak memiliki kebanggaan karena di balik kebanggaan pasti ada kelalaian. Berkaitan dengan hal ini, terdapat sebuah kisah dari Hamdun Al Qassar dalam Risalah Al-Malamatiyyah.
Beberapa guru berkumpul dengan Hamdun Al Qassar. Ketika itu, nama seorang guru disebut. Guru tersebut dikabarkan banyak melakukan zikir dengan suara nyaring. Hamdun berkilah, “Dia tetap saja selalu lalai.”
Seorang guru berkomentar membantah Hamdun, “Bukankah dia wajib bersyukur karena Tuhan memberkatinya kemampuan untuk berzikir yang bisa didengar?”
Hamdun berkata, “Tidak wajibkah dia melihat keterbatasan ketika hati menjadi lalai (diliputi kebanggaan atau kesombongan) oleh zikir?”
Kita dapat melihat bahwa Hamdun Al-Qassar sangat berhati-hati untuk sekadar mengucapkan syukur kepada Allah yang bagi orang awam mungkin hal biasa. Bukankah ketika kita bersyukur kita tidak menyadari bahwa ada kekurangan dalam diri sendiri; merasa bangga karena diperhatikan Allah? Tidak bolehkah kita curiga, kenikmatan zikir (dalam kasus di atas, zikir dengan bicara lantang) adalah bukti bahwa Allah sedang menguji atau malah menepikan kita? Kehati-hatian ini sangat selaras dengan sabda Nabi, “Allah mencintai orang yang cermat dalam meneliti soal-soal yang meragukan dan yang tidak membiarkan akalnya dikuasai oleh nafsunya”. Dalam kehidupan sehari-hari, tindakan Hamdun Al-Qassar juga tidak kalah “ekstrim”. Dalam keadaan terdesak sekalipun, ia tetap memegang teguh syariat, seperti sebuah kisah yang tercantum dalam Nafahat Al-Uns karya Abdurrahman Jami berikut.
Suatu hari, Hamdun Al Qassar bermalam gratis di sebuah rumah. Menjelang tengah malam, tuan rumah kemudian pergi untuk sebuah keperluan. Kala itu Hamdun benar-benar membutuhkan secarik kertas. Istri tuan rumah itu datang membawa kertas yang dibutuhkannya. Namun, Hamdun menolak untuk menerimanya. Katanya, “Aku tidak bisa berbuat apa-apa pada kertas ini sebab si pemilik rumah tidak ada. Aku tidak tahu apakah ia sudah mati atau masih hidup.”.
Jika dilihat, permasalahan Hamdun sangat sepele. Ia membutuhkan kertas dan sang istri tuan rumah menyediakannya. Siapa pun yang mengenal tata krama Islam menyadari bahwa selama sang suami masih hidup, istrinya ada di dalam tanggungannya. Demikian juga dalam kasus seperti ini. Bersua dengan istri seseorang tanpa izin sang suami jelas perbuatan salah. Hamdun memilih untuk tidak mengambil kertas tersebut demi menjaga kesantunan. Hamdun juga mengajarkan bahwa pelaku Jalan Malamati tetap harus mengacu dan berkesuaian dengan Syara’ tanpa gentar sedikit pun akan celaan manusia. Bandingkan dengan diri kita saat ini yang kadang, meski keadaan tidak terdesak, lebih suka menerjang larangan demi larangan Allah seolah kitalah yang membuat peraturan. Kita bahkan lebih khawatir dicela manusia, dianggap aneh, terlalu ekstrim, atau dalam tataran tertentu dianggap teroris, daripada dianggap teroris yang sebenarnya oleh Allah.
Foto: Isna Riadna
ConversionConversion EmoticonEmoticon