Dalam kisah inspiratif para sufi kali ini kita akan membahas tokoh Abu Said Al-Kharraz, yang disebut sebagai Sayyid al-Arifin. Beliau adalah salah satu mahaguru yang paling dihormati, dengan salah satu aucapan yang paling terkenal, “Kita tiada memiliki hasrat untuk surga; karena neraka kita seratus kali lebih megah daripada itu”.
Abu Said Al-Kharraz yang bernama lengkap Abu Said Fadlullah bin Abi Al-Khayr Ahmad Mayhani dilahirkan di Mayhana (timur laut Iran) pada 7 Desember 967 M (Muharram 357 H). Abu Said diklaim sebagai Sayyid al-Arifin karena kecerdasan spiritualnya. Nama al-Kharraz yang artinya “Si Tukang Melubangi” didapatkannya karena suatu hari Abu Said melubangi sepatunya. Ketika orang-orang bertanya tentang apa yang diperbuatnya, Abu Said menjawab, “aku sibukkan diriku sebelum dia menyibukkanku”. Artinya, jangan sampai keinginan duniawi menyibukkan seseorang dalam upaya mengenal Allah. Abu Said sendiri terkenal dengan kwatrin-kwatrin yang menyentak hati pembacanya (pada masa itu pendengarnya karena kwatrin tersebut dinyanyikan). Misalnya, kwatrin tentang perjuangan hidup di dunia sebagai berikut.
Masuklah ke arena itu, dengan tameng dan tombak
Jangan lekatkan apa pun pada dirimu; lepaskan semua itu bersama kami.
Biarlah waktu membawa apa yang akan dibawa, neraka atau air surga.
Hiduplah dengan gembira, senanglah pada apa pun yang menjadi takdirmu.
Abu Said merefleksikan pentingnya sikap pasrah terhadap takdir Allah. Ruh manusia dimasukkan ke dalam tubuh di dunia untuk berada di arena pertarungan; apakah ruh tersebut akan hancur, gagal karena terjebak oleh nikmat duniawi ataukah ruh tersebut rela menderita meski dunia akan membantai ruh-ruh yang tidak mau mereguk kenikmatannya.
Meskipun senantiasa bertarung dengan nafsu diri, keinginan duniawi, tidak ada hak bagi seorang muslim yang sejati untuk meminta Allah memberikan pahala atau menjauhkan dosa. Biarlah hadiah atau hukuman Allah tersebut terjadi sebagaimana adanya; yang dibutuhkan kita sekarang hanyalah berjuang; dan berusaha terus bersyukur pada apa pun yang menimpa. Kalau kita diberi cobaan oleh Allah, tetaplah berada di antara dua hal; pertama, bisa jadi cobaan tersebut adalah kritik Allah kepada kita yang sering melalaikan-Nya Kedua, bisa jadi cobaan tersebut adalah tindakan Allah untuk membersihkan kita dari kekotoran dosa. Jika yang terjadi adalah yang kedua, tentu yang kita perlukan adalah berusaha semaksimal mungkin untuk terus tabah.
Jika kita mengeluh, bahkan memaki Allah, bukankah pada hakikatnya, tujuan membersihkan diri kita dari dosa malah berubah menambah dosa? Kalau kita diberi kenikmatan duniawi, perlulah kita menyadari bahwa kenikmatan duniawi sifatnya semu dan kita mesti paham bahwa ujian kenikmatan jauh lebih berat daripada ujian penderitaan. Kadang, hanya karena kita tidak diberi ujian, kita merasa Allah sudah mencintai kita. Tidakkah kita berpikir bahwa bisa jadi Allah tidak menguji kita karena kita sudah tidak layak lagi diuji, artinya kita pasti masuk neraka?
Salah satu kisah hidup Abu Said yang berkesan adalah peristiwa sujudnya Ibrahim Inal, salah satu saudara penguasa Seljuk, Tughril Beg kepada Abu Said. Peristiwa ini terjadi di perkampungan Adni-kuyan di Nishapur. Awalnya, Ibrahim Inal hanya datang untuk menghormati Abu Said. Begitu melihat Abu Said, Ibrahim Inal tak kuasa lagi untuk turun dari kuda dan menundukkan kepala sebagai penghormatan kepadanya. Abu Said justru meminta Ibrahim Inal untuk tunduk lebih rendah lagi; dan semakin rendah lagi sehingga kepalanya nyaris menyentuh tanah seperti orang yang bersujud. Peristiwa ini, jika hanya dilihat dari sudut pandang politis, seolah-olah Abu Said ingin memperolok penguasa Seljuk.
Padahal, Abu Said tidak bermaksud seperti itu. Abu Said sedang menerangkan makna Q.S. 2:34 tentang perintah Allah agar para malaikat bersujud kepada Adam. Sujud malaikat tersebut sama sekali tidak bermaksud menciptakan Tuhan baru selain Allah. Allah sedang menunjukkan, apakah malaikat mematuhi perintah Allah atau tidak dengan perintah yang seolah-olah salah. Pada hakikatnya, Adam adalah cerminan Allah karena di dalam dirinya telah ditiupkan Ruh Allah.
Dalam Q.S. 15:29 dijelaskan bahwa, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”.
Hal inilah yang diungkapkan oleh Abu Said, “Sadarilah ketika seseorang menghormatiku, dia menghormati Allah. Bentukku hanyalah fokus bagi manusia untuk mendekati Allah. Aku bukanlah apa-apa di antara manusia dan Allah. Jadi, ketika seseorang memberi hormat (malaikat bersujud kepada Adam), semakin tunduk ia, semakin dekat pula ia kepada Allah karena yang dihormatinya ini hanyalah cermin yang memantulkan Cahaya Ilahi. Jadi, aku hanya mengarahkan Ibrahim Inal untuk semakin dekat lagi menghadap Allah, bukan kepadaku .”
Bandingkan ketulusan hati Abu Said dengan tingkah kita sehari-hari yang seolah menuhankan Allah padahal menuhankan diri sendiri.
Untuk hal ini, Abu Said berkata yang lebih ekstrim, “Kecuali jika di mata orang lain engkau telah menjadi kafir; Di mata para pencinta, engkau tak 'kan pernah menjadi Muslim”.
Foto: Isna Riadna
ConversionConversion EmoticonEmoticon