Kisah Hikmah Pencerah Hati: Anjing dan Sufi Beriman


Kisah Hikmah Pencerah Hati: Anjing dan Sufi Beriman

 Pada suatu hari seseorang yang berpakaian sufi berjalan-jalan melintasi kota. Tiba-tiba ia melihat seekor anjing di jalan. Anjing tersebut bukannya menjauh, malah mendekat dan hampir menjilati pakaian sang sufi.
Demi melihat hal najis akan mengotori pakaiannya, sang sufi segera mengeluarkan tongkat dan memukuli sang anjing hingga sang anjing menjauh. Sambil mendengking dan melolong kesakitan, anjing tadi berlari ke arah Abu Said al-Kharraz, sang guru tertinggi di kota tersebut. Anjing tersebut menjatuhkan diri di dekat kaki Abu Said sambil memohon keadilan karena dipukuli dengan membabi buta oleh sang sufi.

Abu Said segera mempertemukan anjing dan sang sufi. Lalu, Abu Said berkata kepada sang sufi, “Saudara sufi yang baik, mengapa kau memperlakukan binatang ini dengan cara kasar? Lihatlah akibat perbuatanmu yang seenaknya tadi. Si anjing terluka hebat.”

Sang sufi menjawab, “Wahai Abu Said guruku tercinta. Pukulanku dengan tongkat tadi sama sekali bukan salahku. Malah, itu salahnya. Saya tidak memukulnya tanpa alasan. Saya memukul anjing ini karena ia mengotori jubah sufi ini dengan liurnya.”

Anjing tetap saja mengeluh atas perlakuan kejam sang sufi.

Abu Said kemudian berbicara pada anjing itu, “daripada menunggu ganti rugi di Akhirat, lebih baik sekarang memintalah sesuatu yang sesuai dengan ganti rugi sakitmu tadi.”

Anjing tadi berkata, “Wahai guru yang agung, bukan tanpa alasan saya mendekati sang sufi. Ketika saya melihat orang ini berpakaian sufi, saya berpikir bahwa ia tidak akan menyakiti saya. Bahkan, saya mengira ia akan melindungi saya sesuai sabda Nabi 'Sungguh, ada pahala atas semua tindakan baik kepada binatang’.

Seandainya saya melihat orang ini memakai pakaian yang biasa, bukan para sufi yang mestinya mencintai sesama makhluk Allah tanpa kecuali, pasti saya tidak akan mendekatinya; saya biarkan ia berlalu seperti kebanyakan orang. Kesalahan utama saya terletak pada anggapan  bahwa pakaian sufi itu menandakan keselamatan. Jadi, apabila Guru yang Agung ingin menghukumnya, rampaslah pakaian sufi tadi. Campakkan dia dari pakaian kaum terpilih yang mencari kebenaran.”

Demi mendengar ucapan anjing tadi, sang sufi hanya bisa tertunduk malu. Ternyata, anjing tersebut sudah berada dalam tahap melakukan tarikat (jalan), bahkan mungkin lebih tinggi daripada dia yang sangat peduli pada embel-embel pakaian sufi tanpa menyadari bahwa di balik pakaian yang suci, tersimpan makna terdalam agar manusia setidaknya sesuci (atau lebih suci) pakaian yang dikenakannya.

Hikmah dalam Kisah Anjing, Tongkat, dan Sufi
Umat beragama sering merasa hanya karena mereka termasuk dalam golongan pemeluk agama (dalam kisah ini dilambangkan memakai pakaian sufi), maka mereka akan selamat dari api neraka. Padahal, belum tentu demikian. Tidak ada jaminan umat beragama akan masuk surga. Selama dalam ibadah mereka masih banyak hal yang berkaitan dengan kekafiran, atas dasar apa Allah akan memasukkan mereka ke surga padahal surga hanya diperuntukkan bagi mereka yang mencintai Allah tanpa halangan hal-hal lain?

Sabda Nabi, “barangsiapa yang memiliki kebanggaan diri setitik saja tidak akan masuk surga “ dan “kebanggaan akan membuat manusia berada dalam kehinaan”.

Jika dikaitkan dengan masalah Akhir Zaman, betapa mengerikannya yang akan diderita umat Islam yang tidak sadar mereka tengah menggiring diri ke dalam kesalahan besar. Misal, hanya karena sudah memiliki Islam sebagai agama paling sempurna, apakah kita yakin bahwa Al-Mahdi, utusan Allah berikutnya, akan menyelamatkan kita dari fitnah terbesar Dajal? Selama ini kita membayangkan Dajal sebagai seorang kafir tulen; siapa pun orang Islam yang melihatnya, meskipun tidak bisa baca-tulis, pasti mengetahui bahwa Dajal adalah kafir. Barangkali tafsiran ini disebabkan oleh hadis Nabi yang berbunyi, “Dan di antara dua matanya (di dahi Dajal), tertulis 'Kafir'“ (H.R. Bukhari).

Adakah jaminan bahwa kita yang mengaku muslim ini benar-benar muslim sejati? Bukankah (seperti yang dijelaskan dalam kisah-kisah sebelumnya) selama kita masih memiliki keakuan, kita belum menjadi muslim sejati?

 Layaklah kita memahami bahwa Dajal adalah seorang pemfitnah ulung. Dajal membuat sesuatu yang hitam-putih menjadi “abu-abu”, Dajal membuat yang haq menjadi yang batil karena sejak Allah Swt. menciptakan Nabi Adam a.s. sampai hari kiamat nanti, tidak ada satu ujian pun yang lebih dahsyat daripada Dajal.

Bisa jadi Dajal akan menyamarkan diri sebagai Al-Mahdi, atau berpenampilan seperti layaknya umat beragama biasa (seperti si “sufi” yang memakai pakaian sufi dan mengaku sebagai sufi hanya karena pakaiannya semata), mengaku membawa kebenaran hakiki sehingga semua muslim (atau umat beragama) memercayainya. Kalau kita terbiasa menipu diri dengan mengaku muslim hanya karena rajin beribadah, rajin beramal, tanpa sedikitpun melakukan koreksi diri, bukankah tidak mungkin kita akan tertipu pula oleh Dajal?
Lalu, seandainya Al-Mahdi tidak datang dari Arab atau tidak tampil seperti kebanyakan umat beragama (seperti anjing dalam kisah ini) apakah kita tidak akan menampiknya hanya karena keadaannya tidak meyakinkan?
Previous
Next Post »