Dalam kisah inspiratif para sufi kali ini kita akan membahas tokoh Junayd Al-Baghdadi yang dianggap sebagai sufi tercerdas yang pernah ada. Junayd adalah guru utama bagi sekian generasi sufi berikutnya.
Junayd Al-Baghdadi ditanya, “apakah yang disebut dengan bala’ (cobaan)?”
Junayd menjawab, “bala’ adalah kelalaian atas Sang Pemberi Cobaan, bukan cobaan seperti yang kita kenal pada umumnya. Jika cobaan akan menyebabkan kita untuk mengingat Sang Pemberi Cobaan, cobaan tersebut adalah hadiah.”
Junayd Al-Baghdadi dianggap sebagai sufi tercerdas yang pernah ada. Bahkan, Syaikh Abu Jafar al-Haddad menyebutkan, jika “Akal” menampakkan diri pada sosok manusia, Junayd-lah orang yang paling tepat merepresentasikan “akal”. Junayd yang lahir dan besar di Baghdad begitu mendapatkan sorotan dari berbagai kalangan. Bahkan, sampai ada istilah, orang yang duduk setengah hari saja bersama Junayd (berguru kepadanya dalam waktu sesingkat tersebut) pasti telah dibekali tata krama sangat mulia. Banyak kata mutiara yang disebutkan Junayd yang bisa mencerahkan baik orang awam maupun orang-orang yang telah menyelami agama. Misalnya, Junayd berkata, “Fokuskan perhatian hidupmu hanya semata-mata kepada Allah. Jangan kau memandang hal-hal selain Allah dengan mata yang kaupergunakan untuk melihat Allah karena dengan demikian, kau telah jatuh dari mata Allah (kedudukanmu akan rendah karena berani mencintai hal lain setara dengan Allah)”.
Junayd Al-Baghdadi dikenal begitu berhati-hati dalam membicarakan sufisme di depan umum. Menurutnya, tidak semua orang akan mau menerima sufisme seperti halnya sabda Nabi, “Menyia-nyiakan pengetahuan dengan menyampaikannya kepada mereka yang tidak layak sama dengan memberikan mutiara, permata, dan emas di leher seekor babi.”.
Junayd yang hidup sezaman dengan Al-Hallaj memilih untuk tidak seekstrim sang kawan, meskipun pengetahuan mereka tentang Allah sama (artinya, perbedaan Junayd dan Al-Hallaj hanyalah pada cara menyampaikan pengetahuan). Al-Hallaj lebih cenderung memproklamasi-kan cintanya kepada Allah dengan “vulgar”, terbuka, seperti kata-katanya “Ana al-Haqq” karena berlandasan pada pepatah “selama Cinta masih tersembunyi, Cinta tersebut berbahaya (karena menyebabkan derita bagi sang pencinta yang ingin mengungkapkan kerinduan kepada Allah yang ada di Akhirat padahal sang pencinta masih ada di dunia)”.
Junayd lebih memilih prinsip ketenangan hati, biarlah pengungkapan Cinta hanya diberikan pada orang-orang yang murni mencintai Allah, bukan pada orang-orang yang mengaku mencintai Allah padahal tindakannya “keblinger”. Dengan prinsip ketenangan hati ini, Junayd bisa menyelamatkan saudara-saudaranya sesama sufi dari tuduhan masyarakat atau ancaman hukuman mati seperti yang ditempuh oleh Al-Hallaj.
Meskipun sikapnya tenang, bukan berarti Junayd tidak kritis terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh umat beragama. Dalam sebuah kesempatan, ada seseorang yang bertanya kepada Junayd, “guru-guru sufi dari Khurasan menyebutkan bahwa terdapat tiga hijab yang memisahkan manusia dari Allah, yaitu (1) makhluk, (2) dunia, dan (3) nafsu diri. Bagaimana pendapat Anda, Junayd?”
Dengan lantang, Junayd menjelaskan, “hijab-hijab tersebut hanyalah hijab untuk orang awam (umat beragama biasa). Orang-orang yang sepenuhnya berpasrah kepada Allah terhijabi oleh tiga hal (yang lebih ekstrim) yaitu (1) pamer amalan, (2) mencari pahala (sebagai hadiah karena telah berhasil mengerjakan amalan), dan (3) pamer nikmat.”
Junayd mengungkapkan bahwa bagi orang awam, anak dan istri (makhluk), harta benda (dunia), dan keinginan duniawi (nafsu diri) memang menjadi penyebab seorang muslim berjarak kepada Allah. Penyebab jarak ini hanyalah sisi-sisi luarnya saja. Ada penyebab jarak sesungguhnya yang semuanya berpusat pada diri sendiri. Yang pertama, pamer amalan. Sadar atau tidak sadar, hal ini sering dilakukan oleh orang. Kita seolah-olah membutuhkan pengakuan orang lain bahwa kita beriman hanya untuk meyakinkan diri bahwa kita beriman.
Anehnya, pengakuan orang lain tersebut sebenarnya bersifat semu. Mungkin saja kita dikenal sering memberi sedekah atau berinfak. Tapi, bagaimana jika ternyata sedekah kita tersebut di samping ibadah, juga digunakan agar orang-orang mau menghormati kita? Bukankah hal ini artinya mencampurkan penuhanan Allah dengan “penuhanan” hal-hal lain? Belum lagi jika kita lalai karena ketaatan ibadah; menganggap ibadah kita sudah benar atau sesuai dengan tuntunan Alquran dan Hadis. Faris bin Isa al-Baghdadi berkata, “manis ketaatan dan syirik pada hakikatnya sama; melalaikan manusia. Bedanya manis ketaatan membuat orang begitu sulit berpaling karena seolah tindakannya benar.”.
Kemudian, tentang pencarian pahala, bukankah sebenarnya pahala hanyalah hadiah dari Allah atas ketaatan kita kepada-Nya? Pahala bukanlah sesuatu yang penting bagi perkembangan jiwa dan ruh karena yang terpenting justru pelatihan kita untuk pasrah dan selalu jatuh cinta kepada Allah. Ketika kita merasakan kenikmatan di dunia, entah itu karena usaha kita atau karena ibadah, berhati-hatilah karena di dalamnya terdapat jerat kebanggaan. Lebih baik menderita, menunda kenikmatan, atau tidak memperoleh kesenangan dalam beribadah (pujian), yang penting kita mengetahui hati ini milik Allah.
Foto: Isna Riadna
ConversionConversion EmoticonEmoticon