Dalam bagian jenis-jenis istighfar kali ini, kita akan membahas Istighfar Nabi Ibrahim dan manfaatnya. Seperti halnya istighfar Nabi Adam dan Nabi Nuh, Istighfar Nabi Ibrahim memiliki kekhususan sendiri. Istighfar Nabi Ibrahim terdapat dalam Q.S. 14:41.
Akan tetapi, sebelum istighfar tersebut, kita juga layak mengetahui bahwa terdapat banyak doa Nabi Ibrahim dalam Alquran. Hal ini sesuai peran Ibrahim sebagai bapak monoteis, sesuai dengan cuplikan firman Allah kepada Ibrahim pada Q.S. 2:124, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”.
Doa-doa Nabi Ibrahim misalnya yang terdapat dalam Q.S. 14:38.
Robbana innaka ta’lamu ma nukhfi wa ma nu’linu. Wa ma yakhfaa ‘alaLlahi min syaiin fil ardhi wa la fis-samaai ---
Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.
Doa di atas, jika disampaikan dalam keadaan terdesak, dapat digunakan untuk memperlancar usaha kita, membuka rezeki yang masih tersembunyi, selama kita berpikir bahwa bukan karena doa ini kita dimudahkan. Pada dasarnya, jika kita menganggap bahwa kita berhasil karena membaca doa A misalnya, sebenarnya kita tidak lebih daripada sekadar orang musyrik, yang menyekutukan Allah dengan doa. Doa di atas bahkan sebenarnya adalah salah satu petunjuk Allah agar kita tidak lelah dalam berusaha. Segala sesuatu di bumi dan di langit tidak ada yang tersembunyi bagi Allah. Semuanya terlihat dengan sejelas-jelasnya penglihatan.
Oleh karena itu, Allahlah yang menjadi pengambil keputusan. Dengan doa ini, kita meminta agar Tuhan menyingkapkan mana yang baik dan mana yang buruk di depan mata kita dengan sebenar-benarnya penglihatan pula. Harapannya, dengan doa ini, jangan sampai usaha kita membuat kita tergelincir hanya karena “penglihatan batin” kita tertutup dari kehendak Allah.
Doa Nabi Ibrahim berikutnya terdapat dalam Q.S. 2:128.
Robbana waj’alna muslimina laka wa min dzurriyyatina ummatam-muslimata-llaka wa arina manasikana watub ‘alaina, innaka Anta-ttawabu-rrohim ---
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Doa Nabi Ibrahim di atas biasanya diubah sedemikian rupa oleh kita menjadi “Robbana waj’alna muslimina laka wa min dzurriyyatina ummatam-muslimata-llaka watub ‘alaina, innaka Anta-ttawabu-rrohim” dengan menghilangkan doa tentang pencarian bentuk ibadah haji yang tepat.
Dengan doa yang “baru” tersebut, titik utamanya adalah masa depan dan pertaubatan. Doa ini secara tidak langsung mengajarkan kepada kita tentang ketulusan hati terhadap orang lain. Anak-cucu kita mungkin tidak bisa melihat lagi apa yang kita kerjakan untuk mereka. Akan tetapi, dengan doa ini, meskipun mereka tidak melihat kita, kita telah memberi “pengharapan baik” untuk mereka.
Selain itu, doa ini juga merupakan upaya pertaubatan kita dengan mengambil Nama-Nama Baik Allah, Yang Maha Menerima Taubat dan Yang Maha Penyayang. Doa ini ditujukan pada dua Nama Allah yang secara berurutan menunjukkan kualitas Allah terhadap makhluk-Nya. Di alam dunia, kadang kita melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran tentang berpasrah diri kepada Tuhan Yang Satu. Oleh karena itu, yang kita harapkan adalah penerimaan taubat dari Nama At-Tawabun. Selanjutnya, mengingat “rahmat Allah lebih dahulu daripada murka-Nya”, kita juga berharap akan Nama Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) sebagai tindak lanjut Allah atas penerimaan taubat kita.
Doa lain Nabi Ibrahim terdapat dalam Q.S. 14:40 sebagai berikut.
Robbij ‘alni muqimussholati wa min dzurriyyati --- Robbana wataqobbal du’a ---
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.
Doa ini adalah permintaan mulia dari Nabi Ibrahim agar anak-cucunya mendirikan ibadah (salat), sesuai dengan syariat yang disampaikan para nabi. Seperti yang disampaikan Idries Shah dalam buku Mahkota Sufi, Nabi Muhammad saw. tidak mengklaim membawa suatu agama baru. Ia melanjutkan tradisi monoteistik yang telah lama hidup. Ia menanamkan rasa hormat kepada para penganut kepercayaan lain dan berbicara tentang arti penting guru spiritual lainnya. Al-Qur'an sendiri diwahyukan melalui metode mistis dan mengandung banyak indikasi tentang pemikiran mistik.
Demikian pula dalam konteks ayat ini, ibadah Nabi Ibrahim, salatnya, berbeda dengan salat yang disyaratkan dalam ajaran Islam sebagai syariat. Akan tetapi, pada tataran hakikat, sebenarnya semuanya sama. Cuma, Islam memang merupakan agama yang paling menyeluruh dibanding agama-agama terdahulu.
Jika digambarkan dengan penanaman anggur kebijaksanaan, pada masa Nabi Ibrahim, inilah masa penanaman anggurnya. Pada masa Nabi Muhammad, tibalah saat memanen anggur tersebut. Oleh karena waktu yang demikian, tentu saja para pemanen, umat Islam, adalah umat khusus di hadapan Allah. Melihat hal ini, sangat disayangkan jika kita, umat yang khusus ini, malah menyia-nyiakan salat dan pemahaman kebijaksanaan yang ada dalam ibadah tersebut. Salat, yang kita lakukan 5 kali sehari, bisa difungsikan sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah, penyucian yang terus-menerus berlangsung. Penyucian ini dapat memberi ilham bahwa muslim dipersiapkan untuk sedikit mungkin melakukan kesalahan standard umat beragama lainnya, menyembah selain Allah.
Bagaimana mungkin kita bisa menyembah selain Allah jika kita bertemu Allah selama 5 kali dalam sehari? Mungkin saja terjadi ketika kita menganggap bahwa salat bisa disepelekan, salat bisa diganti. Mungkin saja terjadi ketika kita menganggap salat tak lebih daripada sekadar ritual ibadah yang wajib dilakukan karena ya memang demikianlah ketentuannya. Jika kita termasuk golongan terakhir, lalu apa bedanya kita dengan kaum Nabi Ibrahim yang menyembah berhala karena orang tua mereka melakukan hal yang sama? Tentu pelajaran tentang Kaum Nabi Ibrahim bisa dijadikan kaca sebagai tempat kita bercermin.
Terakhir, kita akan membicarakan istighfar Nabi Ibrahim yang menjadi topik pembicaraan kita. Istighfar Nabi Ibrahim terdapat dalam Q.S. 14:41.
Robbanaghfirli wali walidayya wa lil mukminiina yauma yaqumul hisab ---Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).”
Istighfar Nabi Ibrahim ini merujuk pada ibu dan ayah beliau, bahkan meski ayah beliau termasuk dalam orang-orang musyrik. Percakapan Ibrahim dengan sang ayah, Azar, terdapat dalam Q.S. 6:74, ketik Ibrahim bertanya, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.”.
Lalu, mengapa orang musyrik seperti Azar didoakan Ibrahim? Jawabannya terdapat dalam Q.S. 9:118, “Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.”.
Kita dapat melihat bahwa inilah etika dalam Islam. Seburuk-buruknya orang tua kita, kita tetap harus menaruh hormat kepadanya. Akan tetapi, jika menyangkut tauhid, tidak ada yang bisa ditoleransi. Jadi, terdapat pembedaan antara masalah etika terhadap orang tua dan masalah tauhid. Kita tetap perlu mendoakan orang tua, apa pun keadaannya, karena doa seorang anak adalah hal yang tidak terputus pahalanya atas orang tua yang sudah meninggal.
Lalu, bagaimana dengan istighfar Nabi Ibrahim? Doa ini bersumber pada satu masalah, yaitu hari perhitungan (yaumul hisab). Ketika hari itu tiba, tidak ada siapa pun yang bisa dimintai tolong karena semua orang sibuk dengan kesalahan-kesalahan mereka yang jumlahnya bertumpuk. Kita bisa melihatnya dalam hadis berikut, Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Manusia akan dihimpun pada hari kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan masih kulup (belum berkhitan).” 'Aisyah bertanya, “Ya Rasulullah, apakah lelaki dan perempuan akan berkumpul dan masing-masing akan melihat kepada yang lainnya?”. Nabi saw. menjawab, “'Aisyah, suasana pada hari itu jauh lebih berat dari sekadar sebagiannya mereka memperhatikan sebagian yang lain.” (H.R. Bukhari).
Keadaan yang begitu tegang, bahkan membuat manusia yang berada dalam keadaan telanjang bahkan tidak bisa memperhatikan satu sama lain! Mereka akan selalu menyalahkan dir sendiri, mengapa tdak bisa berbuat banyak sepanjang hidup, mengapa tidak
Hadits lain yang menyatakan ketegangan hari kebangkitan adalah sebagai berikut, Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Akan berpeluh manusia di hari kiamat hingga mengalir peluh mereka sampai tujuh puluh hasta dan tenggelam mereka dalam peluhnya sendiri hingga ke mulut dan telinga mereka.”(H.R. Bukhari). Ketegangan akan kesalahan demi kesalahan manusa dalam hidup di dunia, mereka digambarkan penuh dengan keringat yang hingga tujuh puluh hasta. Saat itu semua manusia akan dihantui ancaman hukuman yang ada di depan mata.
Oleh karena itu, dalam menghadapi hari kiamat, ketika kita ada di dunia, kita wajib berbuat kebaikan sekecil apa pun seperti hadits berikut, Dari Adiy bin Hatim Radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tiadalah seseorang dari kamu melainkan akan berhadapan dan ditanya oleh Tuhan tanpa ada antaranya dengan Tuhan seorang juru bahasa. Maka ia melihat ke sebelah kanannya tiada sesuatu pun kecuali amal perbuatannya yang baik-baik dan ia melihat ke sebelah kiri juga tidak melihat sesuatu pun kecuali amal perbuatannya yang buruk dan ia melihat ke depannya maka tidak terlihat kecuali api yang di hadapannya. Maka jagalah dirimu dari api neraka walau dengan bersedekah separuh biji kurma.” (H.R. Bukhari)
Kembali pada istighfar Nabi Ibrahim, jika istighfar ini dibaca, bukan berarti lantas kita akan diselamatkan dari beratnya perhitungan yaumul hisab begitu saja. Akan tetapi, setidaknya, dengan membaca istighfar ini berulang-ulang dalam beberapa kesempatan, kita akan menumbuhkan ingatan terhadap ancaman ketidaksiapan kita dalam yaumul hisab. Dengan demikian, kita akan senantiasa memunculkan prinsip memperhatikan kesalahan diri sendiri, berusaha berbuat baik, berusaha mencari bekal pahala yang cukup dengan cara-cara yang terpuji pula.
Dengan membaca istighfar Nabi Ibrahim ini, kita juga semakin menyadari bahwa kesenangan dunia tak lebih daripada sekadar “tipuan” yang akan membuat kita terlena dan tidak mau mengumpulkan bekal akhirat. Maka, benarlah ucapan Nabi, “perlakukanlah dunia ini seperti kau adalah pengendara kuda yang berhenti di sebuah pohon rindang (pohon rindang adalah gambaran dunia), lalu pergi berlalu dari pohon tersebut.”
ConversionConversion EmoticonEmoticon