Kisah Para Nabi: Kisah Nabi Ibrahim Dalam Alquran (Melawan Namrud & Kurban Ismail)

 Kisah Para Nabi: Kisah Nabi Ibrahim Dalam Alquran (Melawan Namrud & Kurban Ismail)

Dalam kisah para nabi kali ini, kita akan membahas kisah Nabi Ibrahim yang terdapat dalam Alquran. Secara umum, kisah Nabi Ibrahim dalam kitab suci umat Islam ini terbagi dalam dua periode besar. Pertama, adalah periode Nabi Ibrahim menegakkan ide monoteis dengan melawan ayah dan kaumnya. Kedua adalah periode Nabi Ibrahim diberi janji akan dianugerahi anak, dan diminta Allah untuk menyembelih anak tersebut.

Ibrahim memulai ide monoteisnya dengan pencarian langsung, memandang alam. Hal ini dikisahkan dalam Q.S. 6:74—78. Nabi Ibrahim selalu merasa penasaran dengan alasan mengapa kaumnya menyembah berhala. Untuk menjawab pertanyaan ini, Ibrahim ingin mencari sesuatu yang lebih besar daripada berhala, sesuatu yang esensial bagi kehidupan.

Pencarian Ibrahim terhadap Tuhan diawali dari tindakannya melihat bintang. Baginya, bintang cukup esensial pada malam hari karena bisa menjadi pemandu bagi manusia. Akan tetapi, bintang bersifat fana. Ketika pagi menjelang, bintang lenyap. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan seharusnya.

Jika ada sesuatu yang fana, sama seperti manusia yang meninggal, apa bedanya sesuatu tersebut dengan manusia? Mengapa sesuatu tersebut harus disembah? Oleh karena itu, ketika melihat bintang yang hilang, Ibrahim berkata, “saya tidak suka kepada yang tenggelam.” (Q.S. 6:76).


Ibrahim mengambil sesuatu yang lebih terang daripada bintang, yaitu bulan. Akan tetapi, bulan sama seperti bintang, fana. Bahkan meski bulan cukup esensial digunakan sebagai alat bantu perhitungan waktu manusia, bulan ternyata bisa lenyap. Oleh karena itu, dalam menegaskan kefanaan bulan, Nabi Ibrahim berkata dengan lebih ekstrim, “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” (Q.S. 6:77).

 Nabi Ibrahim tidak ingin terjebak seperti kaumnya yang menuhankan sesuatu hanya karena sesuatu tersebut sekilas berguna pada manusia, tapi sebenarnya kegunaaan tersebut tidak lebih daripada sekadar interpretasi manusia.

Nabi Ibrahim mengalihkan diri pada matahari. Kita perlu melihat konteks budaya pada masa itu tentang matahari. Matahari terbit setiap pagi untuk memberikan penglihatan, rasa aman, dan kehangatan setelah malam yang serba dingin, gelap, dan meninggalkan ketakutan. Tanpa matahari, tumbuh-tumbuhan sebagai sumber kehidupan tidak akan tumbuh. Dengan tidak adanya tanaman, maka tidak akan ada kehidupan manusia.

Oleh karena kualitas matahari inilah Nabi Ibrahim sempat berkata, “inilah Tuhanku, inilah yang lebih besar” (Q.S. 6:78). Akan tetapi ketika kefanaan matahari tersingkap, Nabi Ibrahim menyadari bahwa ada matahari lain yang menggerakkan matahari, Allah sang sumber cahaya, cahaya di atas cahaya. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim berkata “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (Q.S. 6:78). Segala benda alam ternyata hanyalah kepura-puraan, seolah mereka mengendalikan manusia, padahal tidak sama sekali.


Dengan kesadaran penuh tentang adanya sumber pengendali yang lebih tinggi daripada alam, Nabi Ibrahim tampil kepada kaumnya. Yang pertama kali dikritiknya adalah berhala sembahan mereka. Nabi Ibrahim bertanya, “Patung-patung apakah ini, yang membuatmu tekun beribadah kepadanya?” (Q.S. 21:52). Kaumnya menjawab, “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.” (Q.S. 21:53). Kita wajib memperhatikan bahwa kaum Nabi Ibrahim berkata, bapak-bapak mereka menyembah berhala juga. Jadi, penyembahan patung ini bukan masalah lain selain masalah tradisi yang mengakar kuat tetapi salah. Dalam konteks kisah Nabi Ibrahim, berhala tersebut memang tampak sebagai berhala. Akan tetapi, dalam konteks kekinian, berhala tersebut bisa diartikan sedemikian rupa, misalnya: uang, harta, jabatan, dan sebagainya, yang menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang yang sudah mendarah daging. Jika kita bisa berkata bahwa kaum Nabi Ibrahim salah ketika menyembah berhala, maka kita juga wajib berkata sama pada orang-orang yang menuhankan uang, jabatan, kedudukan, dan embel-embel lainnya.

Untuk membuktikan kefanaan berhala-berhala tersebut, ketika seluruh orang pergi dari tempat pemujaan berhala, Ibrahim menghancurkan berhala-berhala kecil. Yang disisakan Ibrahim hanyalah berhala terbesar. Tentu saja ketika keesokan harinya kaum Nabi Ibrahim hendak menyembah berhala dan menemukan kebanyakan berhala hancur, mereka kalang kabut. Nabi Ibrahim dibawa paksa ke depan para pemimpin kaum tersebut, termasuk Raja Nimrod, penguasa yang mendapat keuntungan dari pemujaan berhala tadi.

Ketika Nabi Ibrahim tiba di depan sang raja, Nimrod bertanya, “Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?”

Nabi Ibrahim dengan cekatan menjawab, “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya. Jadi, tanyakanlah kepada berhala itu jika mereka dapat berbicara.”

Saat itulah para pemimpn Kaum menyadari kesalahan mereka. Mereka berkata bahwa Ibrahim sendiri tahu bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara. Di sini kita bisa melihat bahwa ibadah yang sudah menjadi tradisi ternyata bisa menjadi bumerang. Mungkin saja ibadah tersebut telah melorot kualitasnya sehingga ibadah tersebut tak lebih daripada sekadar ritual yang diulang-ulang dalam waktu tertentu tanpa menghasilkan kualitas yang mumpuni.

 Kita juga bisa memperhatikan alasan Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala kecil dan hanya menyisakan berhala terbesar. Dari sisi pemahaman biasa, Nabi Ibrahim sengaja menyisakan berhala terbesar agar ketika masyarakat bertanya tentang siapa yang menghancurkan berhala kecil, biarlah berhala terbesar, yang mestinya memiliki kekuatan dan kekuasaan terbesar, yang tertuduh.

Bukankah seharusnya “Tuhan terbesar” akan berperilaku serupa? Dengan kekuatan besarnya, “tuhan” itu dengan mudah melenyapkan pesaing-pesaingnya. Akan tetapi, dari sisi pemahaman yang lain, kita bisa melihat bahwa tindakan Nabi Ibrahim ini juga merupakan upaya menunjukkan bahwa kita juga harus menghancurkan “tuhan-tuhan kecil” di sekitar kita untuk menghasilkan ketulusan pengabdian kepada Tuhan Yang Satu. Tuhan-tuhan kecil dapat disebutkan sebagai segala hal yang menyebabkan seseorang menyembah kepadanya, entah itu uang, anak, istri, harta, kedudukan, dan sebagainya.

Menanggapi keberhasilan Ibrahim membongkar kesalahan pola pikir masyarakatnya, Nimrod berang. Kita dapat memperhatikan bahwa demikianlah yang terjadi pada para pemberontak tatanan masyarakat. Mereka dengan mudah dimusuhi hanya karena memiliki solusi lebih baik daripada masyarakatnya. Mereka dengan mudah dimusuhi hanya karena tindakan mereka tidak sesuai dengan tindakan orang kebanyakan.


Sebagai hukuman, Nimrod memerintahkan agar Nabi Ibrahi dibakar. Perhatikanlah bahwa dalam Q.S. 21:68 Nimrod berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” Nimrod bahkan memerintahkan agar manusia membantu tuhan-tuhan mereka yang sudah dihancurkan oleh Ibrahim. Padahal, seharusnya Tuhan mampu berdiri sendiri, independen dari segala macam makhluk yang dinaungi-Nya. Dengan api yang menyala-nyala, Nabi Ibrahim tak gentar. Allah bahkan meminta api menjadi dingin sehingga Nabi Ibrahim tidak terbakar, seperti dalam Q.S. 21:69, “Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”.

Kisah Nabi Ibrahim yang lain adalah penyembelihan Ismail. Penyembelihan ini adalah versi revisi dari kisah serupa dalam Perjanjian Lama yang sudah dipaparkan di depan. Yang terutama, yang hendak disembelih adalah Ismail, bukan Ishak. Alasannya, dalam urutan ayat Q.S. 37 (Ash-shaffat), dikisahkan tentang kelahiran dua anak Ibrahim. Anak kedua yang lahir disebutkan bernama Ishak, yaitu dalam Q.S. 37:112, “Dan Kami beri dia (Ibrahim) kabar gembira dengan (kelahiran) Ishak seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh”.

Sementara itu, anak yang hendak disembelih memang tidak disebutkan namanya, dalam Q.S. 37:101, “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar”. Karena Ishak baru dilahirkan setelah peristiwa pengurbanan anak Ibrahim pada Q.S. 37:102—107, artinya anak tersebut adalah anak Ibrahim yang lain, Ismail.

 Selanjutnya, dalam versi Alquran, Ibrahim berdialog dengan Ismail sebelum melaksanakan kurban. Hal ini berbeda dengan upaya Ibrahim yang tidak mengabarkan pengurbanan kepada Ishak. Dalam Q.S. 37:102 dikisahkan bahwa “Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia (Ismail) menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”. Dialog ini penting untuk menyampaikan hikmah tersembunyi tentang keikhlasan berkorban demi yang dikasihi, esensi yang paling penting dalam kehidupan ini.


Bagi Ibrahim, mengurbankan Ismail adalah hal yang berat. Bagaimana pun, ia sudah sangat lama menanti kedatangan Ismail. Bahkan, ketika malaikat datang menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran Ismail, Ibrahim sempat meragukan kemungkinan tersebut mengingat usia tuanya. Malaikat berkata dalam Q.S. 15:53, “Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim”.

Ibrahim menjawab kabar tersebut dengan menggunakan logika duniawinya: orang yang sudah lanjut usia sepertinya tidak akan mempunyai anak. Bagaimana mungkin hal tersebut terjadi? Sudah puluhan tahun ia menikahi Sarah dan Hajar, tidak terjadi apa-apa. Lalu, kali ini ada kejutan di luar logika? Oleh karena itu, Ibrahim berkata, “Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini?” (Q.S. 15:54).

Ternyata, penantian Ibrahim dikabulkan. Namun, ketika terjadi pengabulan itu, terjadi pula permintaan Allah melalui mimpi agar Ibrahim mengurbankan anak semata wayangnya. Ibrahim tidak memutuskan hal ini sendiri. Ia ingin ada keikhlasan dari pihak yang dikurbankan. Wajarlah jika ia meminta Ismail mempertimbangkan usulnya dengan berkata, “apa pendapatmu?”. Inilah hakikat yang sebenarnya dari sebuah pengorbanan. Sejauh apa pun pengorbanan, tanpa rasa ikhlas, yang ada hanyalah kesia-siaan. Ismail memahami maksud Ibrahim.

Oleh karena itu, Ismail berkata “kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu” karena Ismail adalah orang yang sabar. Terbuktilah ayat sebelumnya, Allah memberikan Ibrahim “seorang anak yang amat sabar”. Secara umum, kita dapat melihat perbedaan kisah Abraham dalam Perjanjian Lama dan Alquran tentang penyembelihan anaknya sebagai berikut.




No.
Tahap
Perjanjian Lama
Alquran
1
Mimpi
Abraham bermimpi (Kejadian, 22:2)

Dalam mimpinya, Ibrahim melihat anaknya harus disembelih (Q.S. 37:102).
2
Diskusi
Abraham tidak berdiskusi dengan Ishak (Kejadian, 22:7—9)
Ibrahim berdiskusi dengan
Ismail (Q.S. 37:102).

3
Hubungan ayah-anak

Abraham berbohong kepada Ishak tentang anak domba yang disembelih (Kejadian, 22:7—9).
Ismail setuju atas keputusan Ibrahim melaksanakan mimpinya (Q.S. 37:102).
4
Pengurbanan
Ishak diganti domba jantan yang tanduknya
tersangkut dalam belukar (Kejadian, 22:13)
Ismail ditukar dengan sembelihan yang besar (Q.S. 37:107).
5
Dampak
Abraham menjadi ayah bangsa yang besar (Kejadian, 22:17—18)
Ibrahim termasuk hamba beriman(Q.S. 37:111) yang harum namanya (Q.S. 37:108).




Jelas bagi kita bahwa kisah Nabi Ibrahim mengajarkan beberapa hal.

Pertama, pencarian keberadaan Tuhan melalui penalaran diri sendiri ternyata menghasilkan pengalaman yang lebih dalam tentang hakikat Tuhan sendiri.

Kedua, ada banyak kejadian yang sebenarnya di luar logika, terjadi dalam kehidupan kita, seperti peristiwa api yang mendingin ketika dimasuki Ibrahim atau kelahiran anak Ibrahim pada masa tuanya. Peristiwa-peristiwa ini ditunjukkan Allah sebagai upaya menekankan bahwa akal kita terbatas dalam mengenal pengalaman-pengalaman ruhani.

Yang harus dihidupkan demi mengenal pengalaman ruhani tersebut adalah keikhlasan dan cinta. Ketiga, dialog ayah dan anak diperlukan. Tidak ada istilah sikap otoriter atau mau menang sendiri. Jika yang kita bicarakan adalah kebenaran, kita tidak perlu malu-malu atau ragu menyatakannya. Bahkan, jika yang kita bicarakan adalah kebenaran, seperti yang dilakukan Ibrahim pada Ismail, pasti orang lain akan terbuka hatinya untuk memahami kebenaran tersebut.
Previous
Next Post »