Dalam bagian kisah para nabi kali ini, kita akan membahas kisah Nabi Musa. Beliau adalah nabi yang sangat penting dalam tradisi Yahudi, Nasrani, dan Islam. Nabi Musa adalah satu-satunya nabi yang bisa “melihat” tajalli Tuhan dalam alam fisik, yaitu ketika Tuhan menyamarkan diri sebagai semak yang terbakar dan ketika Tuhan turun ke Gunung Sinai.
Keistimewaan Nabi Musa tersebut misalnya bisa kita lihat dalam Q.S. 7:144, “Allah berfirman: “Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.”
Nabi Musa, seperti nabi-nabi yang sudah kita bahas di bagian terdahulu, juga menyampaikan istighfar tertentu. Sebelumnya, kita akan melihat kisah Nabi Musa dalam Perjanjian Lama sebagai tahap pengenalan hikmah kebijaksanaan yang pertama.
Kisah Nabi Musa dalam Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama, kisah Nabi Musa dimasukkan dalam bab Eksodus, perginya bangsa Israel dari Mesir. Pada suatu waktu, Raja Mesir (Firaun tertentu) berupaya untuk membunuh semua bayi bangsa Israel (Ibrani) agar dibunuh begitu dilahirkan. Oleh kaena itu, Firaun meminta para bidan yang menolong perempuan Ibrani, Sifra dan Pua untuk melaksanakan tugas tersebut. Akan tetapi, Sifra dan Pua membangkang secara sembunyi-sembunyi.
Ketika Firaun bertanya mengapa masih ada bayi bangsa Israel yang hidup, Sifra dan Pua beralasan, “Sebab perempuan Ibrani tidak sama dengan perempuan Mesir; mereka lebih kuat, sebelum bidan datang, mereka telah bersalin.” (Eksodus, 1:19).
Oleh karena upaya pembunuhan bayi melalui bidan, orang yang turun tangan langsung dalam persalinan, gagal, Firaun melakukan upaya lain. Ia memerintah seluruh rakyatnya, “Lemparkanlah segala anak laki-laki yang lahir bagi orang Ibrani ke dalam sungai Nil; tetapi segala anak perempuan biarkanlah hidup.” (Eksodus, 1:22).
Pada masa perintah Firaun tersebut, sebuah keluarga kecil dari garis keturunan Lewi memiliki seorang bayi laki-laki. Mengetahui ancaman pembunuhan oleh Firaun, sang ibu menyembunyikan bayi itu selama tiga bulan. Akan tetapi, setelah lebih dari tiga bulan, keluarga tersebut takut bayi mereka akan diketahui.
Oleh karena itu, sang ibu menaruh sang bayi pada peti pandan dan mengalirkan peti tersebut ke Sungai Nil. Kakak perempuan sang bayi mengikuti jejak peti tersebut, hingga akhirnya peti tersebut ditemukan oleh puteri Firaun yang hendak mandi di sungai. Sang puteri jatuh cinta pada bayi tersebut.
Bahkan, ia mengusahakan agar bayi tersebut mendapatkan air susu ibu. Secara kebetulan, ibu bayi sang bayi tersebutlah yang mendapatkan jatah menyusui dan diberi upah. Melalui kecintaan puteri Firaun inilah bayi tersebut tidak dibunuh Firaun.
Bahkan kelak Firaun menamainya Musa karena Firaun telah menariknya (menyelamatkannya) dari air (Eksodus, 2:10). Di sini kita bisa mengambil pelajaran tentang betapa pentingnya keikhlasan. Ibu Musa rela mengalirkan anaknya ke sungai Nil dengan harapan sang anak selamat dan tidak berharap akan bertemu lagi dengan sang anak. Namun, takdir berbicara lain. Justru ketika sang ibu ikhlas, ia diminta untuk menyusui anaknya sendiri yang sudah menjadi anak angkat raja.
Suatu hari, saat Musa telah dewasa, ketika melerai dua orang pekerja yang berkelahi, Musa menyebabkan salah satu di antaranya tewas. Ia buru-buru melarikan diri sebelum diketahui Firaun. Sejak saat itu Firaun mengincar Musa untuk dibunuh. Sementara itu, Nabi Musa tinggal bersama seorang pengembara bernama Yithro yang nantinya hubungan ini akan mengantarnya pada pertemuan dengan Tuhan.
Selama dalam pelarian Musa, Firaun yang berkuasa telah mati. Hukuman pembantaian anak lelaki bangsa Israel sudah tidak ada. Akan tetapi, Firaun penggantinya tidak lebih baik. Firaun tetap saja menindas bangsa Israel. Oleh karena itu, Allah memutuskan untuk menolong bangsa Israel dari penjajahan Firaun dengan menitahkan Musa sebagai nabi.
Pertemuan Nabi Musa dengan Tuhan terjadi di gunung Horeb. Saat itu, Tuhan menampakkan diri dalam nyala api yang keluar dari semak duri. Musa yang keheranan dengan semak tersebut mendekatinya. Saat itulah Tuhan memanggil Musa. Tuhan meminta musa untuk tidak terlalu dekat padanya, dan meminta Musa menanggalkan kasut (alas kaki) karena tempat Musa berdiri adalah tanah yang suci (Eksodus, 3:5).
Perintah Tuhan kepada Musa ini ---perintah yang sama juga ditulis di Alquran--- dapat kita artikan agar Musa melepaskan segala kepentingan duniawinya menjelang pertemuan dengan Allah. Bagaimana pun, Allah adalah Yang Maha Suci. Musa, yang berada dalam bentuk manusia, untuk menemukan Allah Yang Suci tersebut harus berada dalam keadaan suci dengan melepas semua atribut duniawinya tadi.
Dalam pertemuan di Gunung Horeb, Allah mengangkat Musa sebagai nabi. Allah meminta Musa untuk membawa bangsa Israel keluar dari Mesir untuk menuju suatu negeri yang baik dan luas, yang yang berlimpah-limpah susu dan madunya, ke tempat orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus (Eksodus, 3:8). Tuhan juga mengangkat Harun, kakak Musa, sebagai juru bicara Musa.
Awalnya semua berjalan mulus. Musa dan Harun dipercaya bangsa Israel. Selanjutnya, Harun dan Musa, berangkat ke istana Firaun untuk memohon baik-baik agar bangsa Israel diperkenankan untuk berpindah. Tentu saja Firaun yang sepanjang garis keturunannya biasa memperbudak bangsa Israel, tidak mau. Agar nama Musa dan Harun tercemar, sekaligus agar bangsa Israel tidak memberontak lagi melalui Harun dan Musa, Firaun memerintahkan tambahan pekejaan terhadap bangsa Israel.
Akibatnya, bangsa Israel tidak percaya lagi kepada Musa. Mereka berkata, “Kiranya Tuhan memperhatikan perbuatanmu dan menghukum kamu, karena kamu telah membusukkan nama kami kepada Firaun dan hamba-hambanya dan dengan demikian kamu telah memberikan pisau kepada mereka untuk membunuh kami.” (Eksodus, 5:21).
Musa mengeluhkan sikap kaumnya kepada Tuhan, yang begitu mudah hilang kepercayaan hanya karena ditekan Firaun, dilenyapkan dari kebiasaan sehari-hari. Dari sini kita bisa melihat bahwa bangsa Israel dalam kekuasaan Firaun tak lebih sama dengan Kaum Nabi Nuh dan Kaum Nabi Ibrahim. Mereka dengan mudah percaya dengan keajaiban, tetapi juga mudah menyerah karena disakiti. Jika mereka disakiti, mereka selalu menganggap bahwa Tuhan sedang menghukum mereka.
Sekali lagi, ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa Tuhan belum tentu menyakiti kita untuk menghukum. Bisa saja Tuhan hanya menguji kita dengan catatan kita selalu mematuhi perintah-Nya.
Selanjutnya, Allah menurunkan tulah bagi kerajaan Firaun selama Firaun masih menyiksa Bani Israil dan tidak mengizinkan mereka pergi. A
walnya, yang muncul hanyalah katak, seperti yang ada dalam Eksodus, 8:2—4, “jika engkau menolak membiarkan Bani Israil pergi, maka Aku (Allah) akan menulahi seluruh daerahmu dengan katak.” (2) “Katak-katak akan mengeriap dalam sungai Nil, lalu naik dan masuk ke dalam istanamu dan kamar tidurmu, ya sampai ke dalam tempat tidurmu, ke dalam rumah pegawai-pegawaimu, dan rakyatmu, bahkan ke dalam pembakaran rotimu serta ke dalam tempat adonanmu.” (3), “Katak-katak itu akan naik memanjati engkau, memanjati rakyatmu dan segala pegawaimu.” (4).
Ketika hama katak benar-benar menyerang Firaun, awalnya Firaun berkeras diri. Begitu katak semakin berbahaya, Firaun meminta Musa memohon kepada Tuhan agar melenyapkan hewan-hewan tersebut. Akan tetapi, setelah tidak ada lagi katak, Firaun kembali menahan kepergian Bani Israil. Sikap Firaun yang hanya mau menang sendiri ini terus berlanjut ketika muncul kutukan-kutukan Tuhan berikutnya terhadap negerinya. Misalnya, ternak-ternak orang Mesir (kuda, keledai, unta, lembu sapi dan domba) terkena penyakit sampar yang hebat sehingga mereka mati dan orang Mesir tidak bisa mengolah daging; sementara ternak Bani Israil tidak terkena apa-apa.
Setelah sekian bencana melanda Mesir, Firaun mulai gundah. Demi keamanan negerinya, ia mempersilakan Nabi Musa membawa Bani Israil pergi. Akan tetapi, begitu Nabi Musa dan golongannya pergi, timbul rasa dendam dalam diri Firaun dan pegawainya. Mereka berkata, “Apakah yang telah kita perbuat? Kita membiarkan orang Israel pergi dari perbudakan kita begitu saja?”
Firaun segera mengejar Bani Israil dengan enam ratus kereta kuda terpilih dengan pasukan lengkap. Nabi Musa dan kaumnya semakin terkejar. Mereka hanya berjalan sedangkan pasukan Firaun menggunakan kereta kuda.
Ketika Firaun hampir berhasil menyusul, orang-orang Israel ketakutan. Mereka mulai khawatir lagi. Mereka bahkan menuduh Nabi Musa hanya membual dan tak bisa apa-apa. Mereka berkata, “Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir? (Eksodus, 14:11),
“Bukankah telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab, lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini.” (Eksodus, 14:12).
Demikianlah dalam hidup. Kita biasa menggantungkan diri pada sesuatu, tapi ketika sesuatu tersebut berada dalam keadaan genting, kita berusaha melarikan diri darinya demi menyelamatkan diri sendiri.
Menanggapi rengekan Bani Israil, Nabi Musa memohon kepada Allah. Allah meminta Nabi Musa mengangkat tongkatnya. Dengan tongkat itu, air laut Merah terbelah. Dengan demikian, Bani Israel bisa berjalan di tengah-tengah laut seperti halnya mereka berjalan di tempat kering.
Firaun yang melihat mukjizat Nabi Musa ini tidak mau tinggal diam. Ia memutuskan untuk mengejar Bani Israil melalui jalan yang sama. Akan tetapi, jalan yang membelah laut tersebut hanyalah jalan bagi orang-orang yang berhati lurus. Firaun tidak demikian. Maka, bagaimana mungkin dia bisa melalui jalan tersebut? Allah berfirman agar Nabi Musa mengulurkan tangannya ke atas laut. Dalam sekejap, air laut kembali mengumpul dan menelan Firaun dan pasukannya yang tak layak berjalan di jalan tersebut. Begitu menyaksikan kehebatan Nabi Musa, Bani Israil terperangah. Mereka percaya kepada Tuhan dan Musa.
Kisah Nabi Musa yang selanjutnya, adalah pewahyuan Taurat. Bani Israil yang sudah selamat dari Mesir kini berusaha mencari tanah yang dijanjikan Tuhan melalui Musa. Akan tetapi, sebelum melanjutkan perjalanan, Nabi Musa sempat tertahan di padang pasir selama tiga bulan untuk menunggu perintah Allah. Seperti yang kita ketahui, semua nabi bergerak atas perintah Tuhan. Nantinya, keterjebakan Bani Israil di padang pasir ini akan memunculkan kekebalan dan pengkhianatan mereka terhadap Tuhan Yang Satu, yang bisa kita lihat lebih detail dalam Alquran.
ConversionConversion EmoticonEmoticon