Opini: Apakah Poligami Tidak Adil Untuk Perempuan? Coba Baca Tinjauan Ini!


Opini: Apakah Poligami Tidak Adil Untuk Perempuan? Coba Baca Tinjauan Ini!


Apakah poligami tidak adil untuk perempuan? Salah satu yang menjadi polemik dalam Islam pada zaman modern ini, adalah aturan tentang poligami. Tidak sedikit perempuan yang mengeluhkan hal ini. Menganggap poligami sebagai sesuatu yang 'jahat' dan menempatkan posisi wanita berada di bawah pria. Bahkan kemudian ada ucapan, “saya muslim, tapi saya tidak setuju poligami.”

Di sisi lain, ada lelaki yang mengaku Islam, kemudian menggunakan pembolehan poligami untuk menyembunyikan kegagalan mengendalikan syahwat. Mereka, yang cenderung kaya, beristri lebih dari satu, dan mengaku telah menjalankan sunnah Rasul. Pada golongan yang benar-benar sesat, poligami tidak hanya dilakukan pada empat istri, batas maksimal yang disebutkan dalam Alquran. Di sudut mana kita harus berpihak?

Awal 'polemik' tentang poligami, adalah penafsiran terhadap Q.S. An-Nisa:3, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.”

Ayat ini telah menjadi landasan bagi seorang lelaki untuk menikahi satu, dua, hingga empat perempuan. Mereka yang ingin membenarkan poligami yang dilakukan, senantiasa berkilah, bukankah Allah saja mengizinkan perbuatan tersebut dan merekamnya dalam Alquran yang merupakan pedoman hidup seluruh umat manusia tanpa kecuali? Justru orang-orang yang menentang poligami, akan dianggap sebagai penentang ketentuan Allah tersebut.

Di lain pihak, mereka yang tidak sepakat dengan poligami dan meyakininya sebagai produk budaya patriarkat, merujuk pada ayat lain pada surat yang sama, yaitu Q.S. An-Nisa:129, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”

Dalam tafsiran orang yang kontra poligami, ayat ini membuktikan kelemahan lelaki. Hendak adil seperti apa pun, ia tidak akan mampu benar-benar membagi cinta dengan dua atau tiga atau empat istri, sama rata. Bukan tidak mungkin, cintanya lebih diberikan kepada madu yang lebih muda, sedangkan istri yang lebih tua ditelantarkan. Atau mungkin pula, cinta lebih diutamakan kepada istri pertama yang telah menjalani hidup bersama sejak nol, sedangkan istri muda bisa dikatakan menjadi pelampiasan nafsu belaka.

Mereka yang kontra poligami juga berpendapat, karena seorang lelaki tidak bisa adil, maka poligami adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Mereka juga merujuk riwayat ketika Ali bin Abi Thalib hendak dinikahkan dengan perempuan lain.

Ketika itu Rasulullah saw. bersabda, “Keluarga Bani Hasyim bin Mughirah meminta izin untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib, maka aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali bila Ali menceraikan putriku dan menikahi anak perempaun mereka. Sungguh Fathimah adalah bagian dari diriku, meragukanku apa yang meragukannya, menyakitiku apa yang menyakitinya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Ucapan Rasulullah ini semakin memperkuat asumsi bahwa poligami memang tidak diperbolehkan kecuali pada saat-saat yang benar-benar terdesak. Ali bin Abi Thalib, adalah sahabat Nabi yang paling cerdas, bahkan disebut sebagai kunci pintu gerbang ilmu pengetahuan. Jika Nabi saja melarangnya berpoligami, apalagi orang lain? Artinya, lagi-lagi “bisa berbuat adil” adalah sesuatu yang terlalu tinggi bagi seorang lelaki.



Namun, mereka yang tidak sepakat dengan poligami, atau yang berslogan “aku Islam, tapi menolak poligami” setidaknya perlu menambahkan sedikit sudut pandang. Kisah tidak diperbolehkannya Ali bin Abi Thalib menikah, kecuali bercerai dengan Fathimah binti Muhammad, terjadi karena sebab lain. Perempuan yang hendak dinikahkan dengannya adalah anak perempuan Abu Jahal, yang sepanjang hidupnya menentang Islam.

Rasulullah saw. menyebutkan, “Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal atau mengharamkan yang halal, akan tetapi demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasul Allah dan anak perempuan musuh Allah pada seorang laki-laki selamanya.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Dalam hal ini, yang menjadi pokok penolakan Rasulullah bukanlah poligami yang mungkin terjadi, melainkan siapa yang dipilih sebagai pendamping Ali. Sudah sewajarnya seorang muslim memberitahukan bahaya jika menikah dengan si ini dan itu dengan alasan logis.

Kemudian, mengenai Q.S. An-Nisa:129 yang seakan menyiratkan ketidakmampuan seorang lelaki dalam berbuat adil, segalanya dikembalikan pada kenyataan. Memang, mustahil seseorang berbagi rasa sama persisnya. Seorang suami tidak mungkin memperlakukan istri pertama dan keduanya benar-benar 'sederajat'. Bukan berarti poligami lantas dilarang.

Laki-laki masih bisa adil dalam masalah muamalah dengan istri-istrinya. Semisal, jatah bulanan yang sama, jika istri-istrinya sama-sama membutuhkan kebutuhan yang sama pula. Jatah bulanan ini tentu sifatnya fleksibel. Semisal, istri pertama lelaki tersebut memiliki tiga anak yang sudah besar, sementara istri kedua mempunyai dua anak yang masih kecil, tentu pemberiannya, dari segi kuantitas, berbeda. Atau, dalam hal lain.

Semisal, jadwal mengunjungi rumah istri-istrinya. Hari Senin hingga Rabu minggu ini, tinggal di rumah istri pertama, kemudian Kamis hingga Minggu menginap di rumah istri kedua. Kemudian, jadwal diubah pada minggu berikutnya, menjadi empat hari di rumah istri pertama dan tiga hari di rumah istri kedua. Artinya, aturan poligami baik Q.S. Annisa:3 maupun Q.S. An-Nisa:129 dapat dipraktikkan dengan model ini.

Adapun bagi mereka yang pro poligami, bukan berarti peraturan Allah yang memperbolehkan untuk menikah dengan beberapa perempuan ini, dijadikan pembenaran. Seringkali yang dijumpai dalam masyarakat, adalah keyakinan bahwa poligami ini merupakan sunnah yang baik untuk dikerjakan. Permasalahannya bukan pada hukum poligami tersebut -sunnah-. Melainkan pada penerapannya.
Seperti halnya nikah yang akan mendatangkan malapetaka ketika diniatkan pada hal-hal keliru, hal yang sama juga berlaku untuk seorang suami yang menikah kedua kalinya. Aturan-aturan yang sama tetap berlaku. Hendaklah memilih perempuan yang, tidak hanya cantik fisiknya tetapi juga cantik hatinya. Pada kenyataannya, yang kita temui, poligami terjadi sebagai bentuk 'pembenaran perselingkuhan'.

Seorang lelaki yang sudah mapan di usia 40-50 tahunan, kemudian melirik perempuan muda yang lebih energik, cantik, dan memuaskan daripada sang istri untuk kemudian diajak menikah. Artinya, nikah kemudian hanya menjadi sarana pelampiasan nafsu semata, bukan menjadi upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Praktik inilah yang telah menggejala sekian lama dan membuat banyak orang kemudian menilai poligami sebagai sesuatu yang negatif.

Kita dapat melihat contoh paparan Dirjen Bimas Departemen Agama, Nasaruddin Umar pada Juni 2013. Disebutkan bahwa poligami di negeri ini, adalah penyebab dua hal utama. Pertama, tingginya angka perceraian. Dan kedua, munculnya sekian kasus pernikahan bawah tangan atau pernikahan siri. Karena, kebanyakan lelaki berpoligami, tidak memenuhi syarat untuk menikah lagi.

Data di KUA menyebutkan, peluang permohonan poligami dikabulkan di Indonesia, mencapai 80%. Artinya, berpoligami, asalkan sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku, bukanlah hal yang sulit. Letak masalahnya adalah ketidaksetujuan istri pertama untuk dimadu, sehingga sang suami yang ngebet poligami memilih jalur di bawah tangan.

Pada tahun 2004, dari 43769 kasus perceraian di Indonesia, 813 di antaranya disebabkan oleh poligami. Selang setahun, perceraian meningkat hingga mencapai 55509 kasus dengan 879 kejadian disebabkan oleh poligami. Lalu, sebagai data pembanding, pada tahun 2011, ada 272.794 pasangan bercerai, yang artinya melonjak 250% dibandingkan enam tahun sebelumnya. Perceraian yang terlecut oleh poligami kurang dari 1%nya, yaitu 1289 kasus.

Yang terjadi, perceraian berlangsung karena poligami yang tidak sehat. Poligami yang tidak terjadi karena kesepakatan dengan istri, atau poligami yang menjadi justifikasi seorang lelaki menjadikan wanita idaman lain, sebagai istri keduanya. Artinya, prinsip keadilan yang nenjadi landasan diperbolehkannya poligami, telah terlanggar sebelum pernikahan tersebut terlaksana. Sulit untuk menyatakan, poligami yang sesuai dengan atuarn Islam, kemudian menjadi bibit perceraian. Hanya karena ada sekian oknum yang menyalahgunakan peraturan poligami, bukan berarti tindakan itu kemudian layak dipukul rata sebagai sebuah kekeliruan besar.

Banyak pihak yang masih bersikap antipati pada poligami. Seperti yang terjadi pada kasus pernikahan AA Gym beberapa waktu silam, Desember 2006. Ketika itu, beliau yang sudah mendapatkan izin dari istri pertama, Teh Ninih, menikah dengan seorang janda, Teh Rini. Poligami ini digosipkan sedemikian rupa sehingga kemudian seolah muncul gerakan menghitamkan AA Gym, yang telah mengerjakan segala sesuatunya sesuai dengan aturan agama. Seorang dai yang terkenal dengan keserasiannya dengan sang istri, dianggap tidak sesuai antara ucapan dan tindakan beliau.

Anehnya, ketika terjadi kasus yang sama sekali bertolak belakang, yaitu beredarnya video porno hubungan intim tiga artis terkenal di tanah air hampir berselang empat tahun, banyak yang mendukung artis lelaki yang ditahan akibat kejadian tersebut. Prinsip hak asasi manusia, demikian yang dijadikan alasan untuk menyalahkan poligami dan membenarkan hubungan bebas.

Padahal sudah ditegaskan pula, bahwa aturan agama yang datang dari Allah, berbeda dengan aturan buatan manusia. Keadilan yang dipikirkan manusia, adalah keadilan jangka pendek. Sementara yang datang dari Allah, tentu keadilan yang tidak mengenal batas waktu. Kita bisa berkaca pada Q.S. Al-Baqarah: 216, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”

Poligami, jika mau dilihat dari segi positifnya, memiliki berbagai keuntungan bagi pelakunya. Semisal, jika para pria melakukan poligami seperti yang dilakukan Rasulullah saw., menitikberatkan untuk menikahi janda tua yang kesulitan ekonomi, tentunya poligami bisa menjadi ladang amal yang apik bagi para lelaki.

Mereka tidak memikirkan masalah seks semata, tetapi lebih pada perasaan bahagia berbagi. Seperti sabda Nabi Muhammad saw., “Belum disebut muslim seseorang jika ia belum mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”.

Selain menjadi ladang untuk menyedekahkan harta pada jalan yang bermanfaat ---bukan melakukannya untuk hal-hal keliru, semisal mencari teman selingkuh atau datang ke warung remang-remang---, poligami juga bisa menjadi peningkat derajat bagi para janda. Jika yang menikahinya adalah lelaki yang saleh, janda ini akan terselamatkan oleh fitnah. Bagaimana pun, di masyarakat, kedudukan janda terbilang masih dianggap remeh. Banyak pria atau bahkan anggota masyarakat, menilai janda sosok yang minus. Hal ini,  bisa dibuktikan misalnya dari percakapan para pria, atau munculnya ragam lagu, film, sinetron, atau produk budaya modern lain yang merendahkan posisi mereka.

Di luar masalah hubungan sesama manusia, sejatinya poligami berguna untuk sang pelaku poligami itu sendiri. Semisal, istri pertama dari lelaki yang menikah lagi. Ia kemudian menyadari bahwa tidak ada yang benar-benar layak dicintai sepenuh hati kecuali Allah semata. Sehebat-hebatnya seorang manusia, ia tetaplah lemah pada keadaan. Ia bukan manusia super yang akan mampu mengabulkan impian semua orang.

Rasa sakit itu pasti ada ketika suami memilih perempuan lain hadir dalam hidup. Tapi, lantas mengapa? Hidup harus berjalan. Dan keputusan suami berpoligami adalah salah satu bentuk perwujudan apa yang disebutkan Allah dalam Q.S. Muhammad:38, “Dunia hanyalah permainan dan sendau gurau belaka.” Hanya Allah, hanya Dialah yang satu-satunya mencintai kita tanpa embel-embel, tanpa perlu balasan, dan tanpa pernah berhenti.

Suami bisa berpaling, tapi Allah tidak. Justru kitalah yang berpaling dari-Nya yang senantiasa dekat, melebihi dekatnya urat leher dengan manusia. Artinya, poligami menjadi pengajaran tentang kefanaan duniawi dan cinta yang paling hakiki, yang selama ini barangkali terlewat karena pengabdian penuh pada suami.

Bagi sang suami poligami juga melatih cinta tanpa syarat, dalam kadar yang lebih jauh lagi. Ada sebuah pengungkapan menarik dari seorang Jalaludin Rumi tentang poligami pada khususnya, dan pernikahan pada umumnya. Seseorang, memang akan berbahagia jika menikah dengan cinta pertamanya.

Seorang gadis yang akan memberikan segala sesuatu dalam hidup untuknya. Bandingkan dengan dia yang menikah dengan seseorang yang pernah menikah. Wanita yang pernah memadu cinta, akan lebih hati-hati dalam berhubungan. Ia telah mengetahui segala rupa tabiat pria dan makan asam-garam kehidupan. Cinta yang diberikan dari wanita seperti ini, tak akan sekuat cinta sang gadis.

Akan halnya seseorang yang menikah dengan janda beranak lima, ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Janda tersebut tidak akan memiliki cukup waktu untuk memperhatikannya. Bagaimana pun, cahaya mata sang janda bukanlah sang suami baru, melainkan anak-anaknya yang telah tumbuh.

Dari ketiga jenis perempuan ini, seorang lelaki mungkin saja akan memilih untuk menikahi gadis, wanita pertama. Namun sejatinya, kebahagiaan paling abadi akan didapatkannya dari wanita ketiga, janda dengan sekian anak. Karena, darinyalah sang suami belajar untuk memberikan cinta, tanpa pernah mengharapkan apa-apa. Darinyalah, seorang suami belajar cinta tanpa syarat yang selama ini dicurahkan Allah kepada segenap manusia. Dan atas dasar inilah, poligami menjadi titik penting bagi perkembangan jiwa seorang pria.
Previous
Next Post »