Kisah Para Nabi: Kisah Nabi Musa, Firaun & Laut Merah Dalam Alquran

Kisah Para Nabi: Kisah Nabi Musa, Firaun & Laut Merah Dalam Alquran

Dalam bagian kisah para nabi kali ini kita akan membahas Kisah Nabi Musa dalam Alquran. Sebagaimana kisah nabi-nabi sebelumnya, dalam Alquran terdapat beberapa revisi terhadap kisah dalam Perjanjian Lama. Tujuannya bukan menyalahkan kisah-kisah tersebut, tetapi memberikan tambahan hikmah kebijaksanaan.

Revisi pertama adalah dalam peristiwa kelahiran Nabi Musa. Kelahiran ini tercantum dalam Q.S. 28:4—13. Konteksnya sama dengan Perjanjian Lama, Firaun “telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka” (Q.S. 28:4).

Menanggapi ancaman Firaun, ibu Musa sangat khawatir. Oleh karena itu, ibu Musa mendapatkan ilham dari Allah sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. 28:7, “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.”.

Mendapatkan ilham ini, ibu Nabi Musa meyakini kebenaran Allah. Oleh karena itu, ia ikhlas melepaskan nabi Musa dalam tabut. Seperti dalam kisah Perjanjian Lama, tabut tersebut sampai di sungai Nil dan diambil oleh keluarga Firaun. Bedanya, yang mengambil Musa adalah istri Firaun, bukan puterinya.

Ketika istri Firaun melihat Musa, istri Firaun tersebut langsung jatuh hati kepada Musa dan berkata, “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak” (Q.S. 28:9). Menanggapi ucapan istrinya, Firaun (dan Haman, sang penasihat yang hartanya melimpah ruah) tidak bisa berbuat banyak. Ia tidak menyadari bahwa Musa, yang diselamatkan istrinya, akan menjadi orang yang mengakhiri penjajahan orang-orang Mesir terhadap bani Israel.

Kita bisa melihat di sini bahwa takdir Allah tidak bisa dilawan siapa pun. Firaun mungkin saja membunuh ribuan anak tak berdosa agar tidak ada yang mampu memberontak kepadanya. Akan tetapi, pada anak yang kelak akan membebaskan bani Israel, ia tidak bisa berbuat banyak. Logikanya, semua anak seharusnya bisa disapu bersih oleh kebijakan Firaun. Akan tetapi, ternyata dalam hidup, terdapat perkecualian-perkecualian yang melanggar hukum logika. Kasus selamatnya bayi Musa di tangan istri Firaun ini menunjukkan hal tersebut.

Selanjutnya, Allah yang sudah berjanji kepada ibu Nabi Musa untuk menjaga Musa dan mengembalikannya ke pangkuan ibunda, menepati janji-Nya. Allah membuat semua wanita yang bekerja sebagai wanita penyusu terhalangi, sehingga yang tersisa hanyalah ibu Nabi Musa. Hal ini dijelaskan dalam Q.S. 28:12, “dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?.”.

Demikianlah. Sebagaimana hikmah yang ada dalam Perjanjian Lama, hikmah kisah ini adalah, jika sesuatu telah menjadi rejeki kita, apa pun yang terjadi, meski keadaannya tidak mungkin (berapa persen kemungkinan ibu Musa menyusui anaknya sendiri, berapa persen kemungkinan Musa selamat di tangan Firaun), pasti rejeki tersebut tidak lepas. Kembalilah Musa ke pangkuan ibunya sebagai bukti janji Allah yang selalu ditepati, seperti dalam Q.S. 28:13, “Maka kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.

Seperti halnya Perjanjian Lama, Alquran mengisahkan pembunuhan yang dilakukan Nabi Musa terhadap salah satu pihak yang berseteru, dalam Q.S. 28:15, “Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan setan sesungguhnya setan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).”,

Dalam Alquran, dijelaskan bahwa Nabi Musa memihak pihak yang lemah, yaitu pekerja bani Israel yang ditekan oleh musuhnya, orang Mesir. Saat itu, pekerja bani Israel meminta bantuan Nabi Musa untuk melindunginya. Kita bisa melihat bahwa “seharusnya”, Nabi Musa yang menjadi anak angkat Firaun, memihak orang Mesir. Akan tetapi, seperti dalam hadis Nabi, “belalah orang yang tertindas, terlepas dia muslim atau tidak”,

Nabi Musa memihak pekerja bani Israil hingga berkelahi dengan orang Mesir. Dalam sebuah serangan, sang musuh tewas. Begitu melihat kematian tersebut, Nabi Musa segera menyadari kesalahannya. Yang perlu kita garis bawahi, tindakan Nabi Musa sebenarnya hanya membela pekerja bani Israil, bukan berniat membunuh orang Mesir tersebut.

 Mengetahui Nabi Musa membunuh orang Mesir tadi, sang pekerja dari bani Israil tidak mau bertanggungjawab. Ia justru menyalahkan Nabi Musa dan menyebarkan berita kematian orang Mesir tadi kepada semua orang. Saat itulah Nabi Musa merasa terjebak. Sang pekerja bani Israel sudah dibantunya, tetapi tidak mau menolongnya, malah menyudutkannya.

Esoknya, sang pekerja malah meminta bantuan kepada Nabi Musa lagi, seperti dalam Q.S. 28:18, “Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya), maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan kepadanya.

 Musa berkata kepadanya: “Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata (kesesatannya).”. Melihat orang tersebut meminta bantuan, Nabi Musa marah dan menyerang pekerja tadi.

Untunglah, ketika  Nabi Musa hendak menghajar pekerja tadi, Nabi Musa dihindarkan pada dosa berikutnya. Sang pekerja yang culas, yang berada dalam keadaan terpojok, mengkritik Nabi Musa dengan bertanya apakah Nabi Musa hendak mengulangi kesalahan yang sama, membunuh orang.

Kisah ini tercantum dalam Q.S. 28:19, “Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: “Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tidak bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian.”.

Di sini, ada hikmah yang bisa kita petik. Pertama, betapa banyak orang yang seperti sang pekerja bani Israel. Ketika membutuhkan pertolongan, kita mengemis sehebat-hebatnya agar orang tertarik membantu kita. Akan tetapi, ketika orang tersebut membantu kita, belum tentu kita mau menolong. Selain itu, kita bisa memahami bahwa tidak semua ucapan orang yang jahat seperti sang pekerja, selalu salah. Ada kalanya Allah menggunakan mulut orang yang jahat untuk mengkritik atau menegur kita. Ada kalanya pula Allah menggunakan mulut orang yang baik, berupa pujian yang berlebihan, untuk menguji apakah kita termasuk orang yang haus penghormatan atau tidak.

Selanjutnya, sama dengan kisah dalam Perjanjian Lama, Nabi Musa mulai berdakwah dengan mengajarkan prinsip Tuhan Yang Satu kepada orang Mesir. Hal ini bertentangan dengan Firaun yang telah mengangkat diri sebagai Tuhan. Oleh karena itu, Nabi Musa berhadapan dengan Firaun dan tukang-tukang sihirnya. Setelah berbagai kejadian dan Firaun masih berkeras tidak mengakui Tuhan Yang Satu, Allah menghukum Mesir dengan kemarau panjang.

Hukuman Allah ini sebenarnya hanyalah peringatan awal kepada Firaun agar ia tidak meninggikan diri sendiri, takabu dengan kekuasaannya. Dalam Q.S. 7:130, dijelaskan bahwa musim kemarau tersebut membuat Mesir kekurangan buah-buahan dan mulai terjadi kelaparan, “Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir'aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran.”.

Akan tetapi, dengan peringatan ini, FIraun tetap saja keras kepala. Bahkan, Firaun meyakini bahwa segala sesuatu berasal dari kerja kerasnya, dengan melupakan sebab pertama, Allah. Kita bisa memperhatikan Q.S. 7:131, “Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”. Lihatlah bahwa sejak zaman Firaun, manusia terbiasa menyalahkan orang lain bila ada kesalahan menimpa.

Sementara itu, ketika mereka mendapat kemakmuran, mereka yakin bahwa usaha merekalah penyebab utamanya. Kasus Firaun ini ternyata kita alami juga dalam kehidupan modern. Kita selalu berkeyakinan bahwa kehidupan layak, rumah tangga bahagia, hanya akan didapatkan dengan usaha keras hingga mati-matian dengan melupakan esensi spiritual dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, para suami selalu mengejar uang, para istri menuntut barang ini dan itu, dan anak-anak menjadi budak iklan televisi.

Perilaku semacam ini sudah disindir sejak 14 abad lalu oleh Alquran. Jika kita sebagai orang Islam tidak peduli, lalu untuk apa kita diberi Alquran sebagai pedoman hidup?

Hukuman Allah terhadap orang Mesir bertambah. Allah mengirimkan “kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan (air) darah sebagai bukti yang jelas” (Q.S. 7:133). Saat kesulitan semakin bertambah, barulah Firaun mau mengakui keberadaan Nabi Musa sebagai utusan Allah. Firaun berkata, “Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhamnu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dan pada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.” (Q.S. 7:134).


Akan tetapi, ucapan Firaun itu hanyalah ucapan orang yang terdesak dan rela berbuat apa saja agar lepas dari keterdesakan tersebut. Begitu Nabi Musa berdoa dan Allah mengabulkan doa tersebut, keadaan pulih seperti sedia kala, Firaun kembali pada kekejaman dan kebebalannya mengunggulkan dirinya sendiri. Secara tidak sadar, sebenarnya demikianlah kita dalam menjalani hidup.

Ketika kita kesusahan, kita mengingat Tuhan, tetapi ketika berada dalam kesenangan, kita seolah menganggap Tuhan tidak pernah ada. Oleh karena itu, wajarlah jika Allah memberikan kita beban kesusahan agar kita senantiasa mengingat-Nya, senantiasa merasakan derita agar mau berbagi cinta kepada sesama. Bukankah hal ini lebih baik daripada jika kita diberi harta yang banyak lalu hidup kita berakhir seperti Firaun?

Akhirnya, Nabi Musa berhasil memimpin bani Israil pergi dari Mesir. Mereka menyeberangi Laut Merah sementara Firaun tewas tenggelam dalam laut yang sempat terbelah oleh tongkat Nabi Musa. Dengan demikian, tugas pertama Nabi Musa selesai.

Akan tetapi, ketika bani Israil sudah bisa berdiri sendiri, mereka lalai. Seperti yang menimpa Firaun dengan menuhankan diri sendiri, begitu Bani Israil tiba di seberang lautan, mereka mulai mengada-adakan tuhan baru, berupa berhala. Nabi Musa diminta untuk membuat berhala sebagai sesembahan bani Israil. Tentu saja Nabi Musa enggan.

Dalam keadaan demikian, setelah 40 hari berada dalam kebingungan, Nabi Musa diperintahkan Allah untuk pergi ke Gunung Sinai. Sementara itu, kaumnya, bani Israil, sama sekali belum beres. Bahkan kebebalan mereka semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, Nabi Musa sebelum berangkat berkata kepada Nabi Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (Q.S. 7:142).

Nabi Musa sudah mendapatkan firasat bahwa kaumnya akan berbuat ingkar, menyekutukan Allah. Oleh karena itu, ia berpesan demikian kepada Nabi Harun. Akan tetapi, takdir tetap tidak bisa diubah. Seperti Firaun yang tidak bisa melenyapkan Nabi Musa, demikian pula Nabi Musa tidak mengetahui adanya Samiri, sosok yang membuat Bani Israil berpaling dari Tuhan.

Sementara itu, Nabi Musa menerima wahyu berupa Taurat, salah satu kitab yang diakui Islam. Ketika menerima Taurat inilah Nabi Musa mengajukan permohonan kepada Allah, ““Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.” Menanggapi permintaan Nabi Musa, Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku. tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sedia kala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.”. Allah adalah khazanah tersembunyi yang tidak dapat diraih di dunia ini. Oleh karena itu, jika dunia berusaha menjangkau-Nya, dunia akan hancur binasa. Atas alasan inilah mengapa kita membutuhkan kematian demi berhasil menjangkau-Nya. Kematian tak lebih dari sebuah proses untuk menyucikan jiwa dan ruh demi persiapan bertemu dengan-Nya. Atas alasan yang sama pula terdapat hadis, “langit dan bumi tak bisa menampung-Ku, tapi hati hamba-Ku yang beriman mampu menampung-Ku”.
Demikian pula yang terjadi dalam kasus permintaan Nabi Musa. Ketika Allah menampakkan diri pada Gunung Sinai, gunung tersebut luluh lantak. Bahkan, tubuh fisik Nabi Musa tidak mampu menahan ketidakterjangkauan Allah sehingga Nabi Musa pingsan. Ketika Nabi Musa sadar, ia menyadari bahwa penampakan Tuhan di dunia adalah “kekeliruan” dalam artian, tidak ada yang mampu menampung-Nya. Oleh karena itu, nabi Musa berkata, “Maha Suci Allah”. Kita bisa melihat peristiwa tersebut dalam Q.S. 7:143, “ … Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”.

Setelah peristiwa turunnya wahyu Taurat, Nabi Musa kembali ke kaumnya. Namun, yang terjadi, kaumnya malah menyembah berhala sapi. Hal ini dijelaskan dalam Q.S. 7:148, “Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka?”. Kaum Musa, bani Israil, tidak sabar menunggu pewahyuan Allah terhadap Nabi Musa. Mereka lebih suka memilih jalan pintas sendiri, mencari pemandu yang paling tangguh bagi mereka.

Kebetulan saat itu muncullah Samiri. Ia adalah peniru Nabi Musa. Samiri melihat sendiri bagaimana Nabi Musa diberi pemahaman oleh malaikat Jibril dengan cara mengintip sebelum Nabi Musa berangkat ke Gunung Sinai. Begitu Nabi Musa berangkat, Samiri mengambil jejak Jibril yang tertinggal. Seperti yang kita ketahui, Jibril memiliki kemampuan meniupkan ruh kehidupan.

Untuk alasan kemampuan Jibril inilah Nabi Isa bisa terlahir tanpa perantaraan bertemunya sperma dan ovum, seperti dalam Q.S. 19:19, “Ia (jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.”. Saat itu, Jibril tampil dalam sosok manusia sempurna di depan Siti Maryam dan dengan demikian saja, saling memandang, Jibril meniupkan ruh ke dalam rahim Siti Maryam.

Samiri mengetahui bahwa Jibril adalah sang peniup ruh. Oleh karena itu, Samiri mengambil segumpal tanah bekas jejak Jibril. Dalam Q.S. 20:96, Samiri berkata, ““Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul (jejak Jibril) lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku.”.

Tanah bekas jejak Jibril itu dilemparkan Samiri ke dalam logam emas yang dihancurkan oleh Kaum Nabi Musa yang sedang ditinggalkan Nabi Musa. Kisahnya, begitu Nabi Musa pergi, Samiri menghasut agar Kaum Nabi Musa membakar emas dan perhiasan mereka untuk dilebur menjadi patung. Lalu, Samiri menaburkan tanah tadi ke dalam lubang peleburan emas dan perhiatan tersebut, seperti yang diterangkan dalam Q.S. 20:87, “ … kami disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu, maka kami telah melemparkannya, dan demikian pula Samiri melemparkannya”.

Berkat tanah tersebut, Samiri berhasil membentuk berhala berupa anak lembu yang mampu bersuara karena adanya sisa tiupan Jibril. Akan tetapi, sisa tiupan Jibril tersebut bukanlah sesuatu yang bermanfaat lagi karena digunakan dengan cara yang salah.

Dengan adanya patung anak lembu yang bisa bicara, semua Kaum Nabi Musa terkagum, kecuali Nabi Harun. Mereka, seperti halnya kita, mudah sekali terpancing oleh sesuatu yang ajaib. Jika ada yang ada di luar akal, kita langsung menyembahnya, secara sadar atau tidak. Demikian pula mereka. Oleh karena itu, begitu melihat patung anak lembu yang bersuara, Kaum Nabi Musa langsung berkata ““Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa.” (Q.S. 20:88).

Begitu Nabi Musa tiba dari menerima wahyu Taurat dan melihat kaumnya telah sesat kembali, Nabi Musa sangat geram. Bahkan Nabi Musa sempat menyalahkan Nabi Harun yang tidak bisa menjaga amanahnya memimpin umat.

Padahal, Nabi Harun sudah berusaha keras menangani umat tersebut, dengan berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku.” (Q.S. 20:90).

Di sinilah sebenarnya letak ujian bagi Bani Israil dan kita. Apakah kita termasuk orang-orang yang suka mengambil jalan pintas hanya karena lebih cepat padahal belum tentu aman? Jika ya, kita termasuk dalam golongan Samiri dan para penyembah patung anak lembu ini.

Kisah Samiri juga menunjukkan bahwa sejak awal, sudah ada nabi palsu atau orang yang pura-pura suci padahal sebenarnya menggiring pada kesesatan. Orang-orang ini, seperti halnya Samiri, sekilas mengajarkan agama, tetapi di dalamnya mereka penuh dengan kemunafikan. Orang-orang awam yang hanya melihat yang serba praktis dan mudah, pasti tertarik dengan orang semacam ini.

Misalnya, ada yang berkata bahwa amalan ini akan memudahkan kita meraih surga dan sebagainya. Janganlah kita mudah percaya sebelum mengkaji ulang hadis yang meriwayatkan amalan tersebut shahih atau malah dhoif. Jangan-jangan pula sebenarnya tidak ada hadis tentang amalan tersebut, tapi kita mengada-adakan hanya karena orang tua kita melakukan hal yang serupa.
Previous
Next Post »