Kisah Para Nabi: Kisah Nabi Ibrahim Dalam Perjanjian Lama

Kisah Para Nabi: Kisah Nabi Ibrahim Dalam Perjanjian Lama


Dalam kisah para nabi kali ini, kita akan membahas kisah Nabi Ibrahim  yang terdapat dalam Perjanjian Lama, dalam konteks kisah penyembelihan putra beliau. Dalam Perjanjian Lama, anak yang dipersembahkan Ibrahim (atau disebut Abraham) adalah Ishak, putra pertamanya.

Ibrahim atau Abraham dalam Perjanjian Lama adalah pendiri utama ajaran monoteis (penyembahan terhadap Tuhan Yang Satu). Namanya sendiri berarti “bapak sejumlah besar bangsa” (Armstrong, 2002:40). Dari Ishak, anak hasil pernikahannya dengan Sarah, terdapat garis keturunan hingga bangsa Israel. Dari Ismail, anak hasil pernikahanya dengan Hajar (budak Sarah), terdapat garis keturunan hingga Nabi Muhammad saw..

Ibrahim menjadi bapak monoteis karena sejak pada masanyalah orang-orang mulai berkonsep kepada Tuhan Yang Satu lagi. Seperti halnya yang terjadi pada kaum Nabi Nuh setelah tidak adanya Nabi Idris, atau kaum-kaum selanjutnya, ide tentang Tuhan Yang Satu selalu mengalami degradasi dan berganti dengan ide adanya banyak dewa yang mengepalai bidang-bidang tertentu, misalnya dewa hujan, dewa kesuburan, dan sebagainya.

Ibrahim datang sebagai peletak dasar ajaran monoteis tadi. Dalam Alquran, keistimewaan Ibrahim ini digambarkan dengan upaya pembangunan Kabah, bangunan yang merefleksikan adanya pusat segala hal, Allah, oleh Ibrahim dan Ismail. Hal ini tercantum dalam Q.S. 2:125, “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim (tempat berdirinya Nabi Ibrahim saat membangun Kabah) sebagai tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud”.

Pembangunan Kabah inilah yang menjadikan Ibrahim sebagai orang yang istimewa di dalam Islam. Bahkan, dalam ibadah haji, datangnya umat Islam untuk berziarah ke Kabah, banyak ritual yang merefleksikan perjuangan keluarga Nabi Ibrahim. Misalnya, sai (lari-lari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwa) yang dilakukan oleh istri Ibrahim, Siti Hajar, ketika mencari air untuk anak mereka, Ismail. Misalnya pelemparan jumrah sebanyak tiga kali yang merepresentasikan keteguhan hati Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail dalam mengemban amanat Allah, menyembelih Ismail. Ketika itu setan datang dan menggoda mereka sehingga Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail masing-masing melempar batu kepada setan tersebut, sejak setan kecil (ulla), setan menengah (uzza), dan setan besar (aqabah).

Sementara itu, alasan Ibrahim diangkat sebagai bapak semua bangsa adalah keberaniannya mengurbankan anak pertamanya. Dalam Perjanjian Lama, anak tersebut adalah Ishak. Akan tetapi, menurut tafsir Alquran kontemporer, anak yang disembelih Ibrahim adalah Ismail. Seperti yang kita ketahui, Alquran bersifat sebagai penyempurna kitab terdahulu atau pembenar jika ada kesalahan dalam kitab terdahulu. Tentunya, jika kisah dalam kita terdahulu sudah benar, Alquran tidak melakukan koreksi. Untuk kasus kisah Nabi Ibrahim, terdapat kisah dalam Perjanjian Lama yang tidak dicantumkan dalam Alquran.

Ibrahim (Abraham) dalam Perjanjian Lama
Abraham (1997-1822 SM) semasa hidupnya, ia bertempur melawan masyarakat yang masih menganut politeisme. Saat itu, Abraham menghadapi tiga kelompok penganut agama. Kelompok pertama menyembah patung-patung yang terbuat dari kayu dan batu. Kelompok berikutnya menyembah benda-benda langit. Kelompok yang terakhir menyembah raja-raja atau penguasa.

Abraham diperintahkan Tuhan untuk mengungsi dari negerinya, Kanaan, meninggalkan sanak keluarganya. Setelah melalui serangkaian daratan, tibalah Abraham di sebuah tanah. Di sanalah ia menetap setelah Tuhan berjanji akan memberikan seluruh negeri yang dilihatnya. Dari tempat Abraham berdiri, dari timur ke barat, utara ke selatan, semuanya akan dimiliki keturunannya. Bahkan, lebih jauh lagi, negeri tersebut akan dimiliki keturunannya selama-lamanya (Kejadian, 13:14--15). Keturunan Abraham juga akan sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut. Mereka juga akan menduduki kota-kota musuhnya (Kejadian, 22:17).

Janji Allah terhadap Abraham tersebut dipenuhi dengan kehadiran Ishak, buah hatinya dari Sarah, istri utama Abraham. Hal ini termaktub dalam Kejadian, 19:17, “Tetapi Allah berfirman: “Tidak, melainkan isterimu Saralah yang akan melahirkan anak laki-laki bagimu, dan engkau akan menamai dia Ishak, dan Aku akan mengadakan perjanjian-Ku dengan dia menjadi perjanjian yang kekal untuk keturunannya.”.

Meskipun janji Allah dipenuhi, di sinilah justru letak ujian pada Abraham. Tuhan menantangnya untuk mengorbankan sang buah hati yang kehadirannya sudah sangat lama dinantikan Abraham. Dalam Kejadian 22:2, dijelaskan bahwa Allah menyuruh Abraham mempersembahkan Ishak sebagai kurban bakaran di salah satu gunung di tanah Moria, sebagai berikut, “Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”.

Dari segi konteks sosial, menurut Karen Armstrong dalam “Sejarah Tuhan”, pengurbanan manusia pada masa Abraham adalah hal yang wajar. Masyarakat pada zaman Nabi Ibrahim memang terbiasa untuk mengurbankan anak pertama mereka. Anak pertama sering diyakini sebagai keturunan dewa, yang telah menghamili si ibu melalui tindakan droit de seigneur.Dalam memperanakkan, energi dewa menjadi menipis, maka untuk mengisinya kembali dan mempertahankan sirkulasi seluruh kekuatan dalam alam semesta, anak pertama tersebut harus dikembalikan kepada orang tua dewatanya (Armstrong, 2002:46—47).

Kasus Ishak sebenarnya berbeda. Ishak adalah hadiah dari Tuhan, bukan anak alamiahnya. Tak ada alasan untuk berkurban, tak ada kebutuhan untuk memulihkan kembali energi Tuhan. Bahkan, pengurbanan itu akan melenyapkan arti seluruh kehidupan Abraham, berdasarkan janji bahwa dia akan menjadi bapak bagi sebuah bangsa yang besar (Armstrong, 2002:47).

Di sinilah yang dimaksud dengan Abraham (Ibrahim) sebagai peletak dasar monoteisme yang utama. Dalam konsepsi Abraham, Tuhannya berbeda dengan dewa-dewa yang kehilangan kekuatan karena menghamili ibu sang bayi pertama. Tuhan (Allah) berdiri sendiri. Tuhan tidak terlibat dalam nestapa manusia; dia tidak membutuhkan masukan energi dari manusia. Dia berada dalam lingkup yang berbeda dan dapat menetapkan tuntutan apa saja yang diinginkan (Armstrong, 2002:47).

Abraham memutuskan untuk mempercayai Tuhannya dengan konsep baru ini. Dalam Kejadian, 22:1—3 dikisahkan bahwa, “Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya.”.

Abraham putranya, Ishak, dan dua orang pembantu mereka, melakukan perjalanan selama tiga hari ke Gunung Moria, yang kemudian menjadi tempat berdirinya Kuil Yerusalem. Ishak, yang belum tahu apa-apa tentang perintah Allah, bahkan harus memikul kayu bakaran untuk pengurbanan dirinya sendiri (Armstrong, 2002:47).  Hal ini terjadi setelah Abraham bermaksud mengelabui dua pembantunya tadi, dengan berkata, “Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini; aku beserta anak ini akan pergi ke sana; kami akan sembahyang, sesudah itu kami kembali kepadamu.” (Kejadian, 22:5).

Bahkan, dikisahkan bahwa Ishak tidak tahu-menahu tentang pengurbanan ini. Abraham berbohong kepadanya tentang siapa yang dikurbankan. Abraham berkata bahwa yang disembelih adalah anak domba, bukan anaknya sendiri. Ishak baru mengetahui keputusan Abraham dalam menyembelih dirinya menjelang detik-detik akhir. Kita bisa melihatnya dalam Kejadian, 22:8—9 sebagai berikut: “Lalu berkatalah Ishak kepada Abraham, ayahnya: “Bapa.” Sahut Abraham: “Ya, anakku.” Bertanyalah ia: “Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?” (8) “Sahut Abraham: “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku.” Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama.” (9).

Barulah ketika Abraham sampai di tempat yang diperintahkan Allah, Abraham membuat mezbah. Diikatnya Ishak dan diletakkkannya di mezbah. Ketika Abraham benar-benar telah siap dengan sebilah pisau di tangannya, Tuhan menjadi iba dan mengatakan kepada Abraham bahwa hal itu hanya sebuah ujian. Tuhan berkta, “Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah

Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku” (Kejadian, 22:12) Sebagai ganti Ishak, Abraham mendapat seekor domba jantan di belakangnya, yang tanduknya tersangkut dalam belukar. Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban bakaran pengganti anaknya (Kejadian, 22:13).

Abraham telah membuktikan dirinya layak menjadi bapak sebuah bangsa besar, yang jumlahnya akan sebanyak taburan bintang di langit atau hamparan pasir di pantai (Armstrong, 2002:47). Janji Tuhan ketika Abraham pindah dari Kanaan, terkabulkan.
Previous
Next Post »