Dalam kisah inspiratif para sufi kali ini kita akan membahas tokoh Ibrahim bin Adham, seorang sufi yang rela meninggalkan posisinya sebagai pangeran, yang sebentar lagi menjadi raja, demi kehidupan akhirat, dan berkelana sebagai sufi, pembelajar Hidup Yang Sejati.
“Bagiku, jeleklah perbuatan dari selain-Mu. Tapi, jika kau yang melakukan terhadapku, bahkan dengan perbuatan yang sama dengan perbuatan selain-Mu (tindakan menyakiti hati dengan ujian), maka hal itu baik” (Ibrahim bin Adham)
Ibrahim bin Adham adalah seorang pangeran (raja muda) yang sebentar lagi akan menduduki jabatan tertinggi di wilayahnya sebagai raja. Sebuah seruan dari dalam hatinya ketika berburu, membuat Ibrahim bin Adham berpaling sepenuhnya dari keinginan duniawi. Bisikan yang didengar Ibrahim bin Adham adalah bentuk penegasian tindakannya berburu, “Hai Ibrahim, apakah hanya engkau diciptakan untuk berburu semacam itu? Apakah engkau diperintahkan Allah untuk berburu? Memangsa yang lemah?”
Ibrahim merenung sejenak dan kembali terdengar bisikan, “kau diciptakan bukan untuk berburu. Kau tidak diperintahkan untuk berburu semacam itu.” Ibrahim menyadari pentingnya kedua pertanyaan tersebut. Allah memiliki dua hak yang berkaitan dengan dunia ruhani dan dunia jasmani .
Di dunia ruhani, Tuhan memerintah ruh dan jiwa. Di dunia jasmani yang terbatasi ruang dan waktu, Tuhan menciptakan tubuh. Artinya, Allah secara langsung bertanya kepada Ibrahim, di manakah dan kapankah Allah pernah memerintah ruhnya dan menciptakan tubuhnya untuk berburu? Begitu mendengar bisikan kedua, Ibrahim memilih untuk meninggalkan istana dan terjun bebas menjadi seorang sufi yang hidupnya penuh ketidakpastian.
Bayangkan, Ibrahim bin Adham yang awalnya begitu dekat dengan kenikmatan duniawi, meminta apa pun diberikan, menjadi seorang pekerja serabutan sebagai buruh jaga kebun dan tukang petik ketika tiba masa panen. Jika Ibrahim bin Adham adalah orang biasa, ia mungkin saja terkena post-power syndrome; merasa kekuasaannya masih ada padahal tidak atau kalau tidak, mengalami keguncangan luar biasa. Ibrahim bin Adham tidak mengalami hal itu. Bahkan, bersama beberapa sufi, seperti Salm bin Maymun Al-Khawwas dan Ali bin Bakkar, Ibrahim bin Adham bersumpah, “kami tidak akan makan kecuali hanya sedikit saja; sekadar untuk menegakkan tulang rusuk (mempertahankan hidup)”.
Kisah-kisah kemuliaan Ibrahim bin Adham cukup banyak beredar pula di kalangan sufi; termasuk sebuah kisahnya menghadapi beberapa pemuda yang seolah-olah beribadah padahal “tidak”.
Suatu hari, Ibrahim bin Adham, Usman bin Imarah, Muhammad bin Sawban, Abbad al-Minqari tengah berada di padang pasir yang luas. Mereka sedang bercakap-cakap ketika muncul seorang pemuda yang keadaannya hina.
Sang pemuda berteriak memanggil mereka, “hai kalian. Coba lihatlah orang yang senantiasa dalam kesibukan seperti diriku ini. Aku tidak pernah tidur setiap malam demi menjalankan tahajjud seperti Nabi Muhammad saw.; aku juga tidak makan saat siang demi tidak terjerat pada kepentingan dunia. Kubagi umurku menjadi beberapa bagian untuk melakukan ibadah-ibadah demi Allah. Jika tahun ini aku berhaji (karena saat itu orang berhaji memang memakan waktu yang lama mengingat sarana transportasi yang terbatas) maka tahun berikutnya aku ikut berperang untuk menegakkan agama Allah. Tak kutemukan apa pun dari semua tindakan ini. Aku tidak bisa mengerti. Bagaimana menurut kalian keadaanku ini?”
Keempat sufi itu tidak mau menjawab pertanyaan sang pemuda dalam beberapa lama hingga akhirnya Ibrahim bin Adham berdiri dan berkata, “kami sedang mencari Wajah Allah. Kami melakukannya tidak seperti dirimu, dengan memperbanyak ibadah atau perkhidmatan kepada Allah. Kami melakukannya dengan pencarian batin!”
Maksud pernyataan Ibrahim bin Adham ini bukan berarti seorang sufi akan melepaskan ritual ibadah. Sebaliknya, para sufi sama sekali tidak menganggap ibadah mereka sesuatu yang spesial seperti halnya yang dianggap oleh sang pemuda tadi. Kita bisa membandingkan, Al-Hallaj, seorang sufi yang dituduh sesat dan digantung, melakukan salat 500 kali sehari menjelang penggantungannya dan jumlah tersebut hanyalah setengah dari jumlah yang biasa dilakukannya.
Artinya, ibadah para sufi sedemikian ketatnya (karena yang mengontrol mereka secara langsung adalah Allah). Bedanya, keketatan ibadah tersebut tidak pernah dan tidak perlu disampaikan di depan umum. Mereka senantiasa mencari rahasia-rahasia dalam ibadah yang akan membantu perkembangan jiwa dan ruh mereka menghadapi Hari Pengadilan.
Misalnya, di balik ibadah subuh, tersimpan rahasia bahwa Hari Kiamat akan datang seperti halnya subuh. Kehidupan di dunia ini layaknya malam yang gelap gulita, yang membutakan manusia dari Cahaya Yang Sebenarnya, Cahaya Matahari Hakiki. Orang yang terbiasa dengan subuh, bangun tepat waktu, hendaknya mengenali bahwa keterjagaannya sama persis dengan keterjagaan ruh pada Hari Kiamat dan melihat Matahari Abadi, Allah. Jika seseorang sudah rajin subuh, tetapi belum menyadari hal ini, artinya ada kekurangan dalam dirinya atau ibadahnya bersifat monoton; tidak menghasilkan apa pun selain keletihan.
Foto: Isna Riadna
ConversionConversion EmoticonEmoticon