Kisah Pencerah Hati: Pria Qazwin Yang Ditato dalam Masnawi

Kisah Pencerah Hati: Pria Qazwin Yang Ditato dalam Masnawi

 Adalah kebiasaan orang-orang Qazwin untuk memiliki berbagai tato pada tubuh mereka. Suatu hari, seorang penakut dari suku tersebut pergi ke tukang tato; ia ingin ada tato seekor singa di punggungnya. Maka, tanpa perlu berlama-lama, Si Penakut sudah ditato. Tak lama kemudian, ketika Si Penakut merasakan tusukan jarum tukang tato, ia meraung kesakitan. Si Penakut berkata, “Apa bagian tubuh singa yang sekarang kaulukis?”

Sang seniman tato menjawab, “Aku mengerjakan ekor”.

Si Penakut merengek, “lupakan saja ekor singa. Kau ‘kan bisa membuat singa tanpa ekor? Lanjutkan dengan bagian tubuh yang lain”.
Seniman tato mengikuti perintah pelanggannya. Si Penakut berteriak lagi; memintanya untuk mencoba bentuk tubuh lain di tempat lain. Awalnya kaki depan tidak jadi dilanjutkan, lantas kaki belakang, dan seterusnya. Kemanapun seniman tato mengarahkan jarumnya, Si Penakut keberatan dan terus saja berteriak. Akhirnya, sang seniman tato meletakkan semua jarum dan perkakas tato di lantai. Ia menolak untuk bekerja lebih jauh.

Hikmah Kisah Pria Qazwin Yang Ditato

Kita bisa berkata, betapa memalukannya Si Penakut dari suku Qazwin di atas. Ada perbedaan yang begitu besar antara ucapan awalnya (ingin ditato) dan tindakannya (takut karena sakit ditato). Seseorang yang sudah berani datang ke tengah laut, harus berani terseret arus, tenggelam, atau mati. Jika tidak berani, seharusnya ia cukup berada di pantai sambil melihat-lihat keadaan dan selamanya terkagum pada indahnya laut. Jika dibandingkan dengan kehidupan sehari-hari, seperti Si Penakut inilah keadaan kita.

Kita terlahir sebagai orang Islam; dan Islam adalah agama yang paling sempurna. Di dalam Islam, tidak ada larangan nikah; bahkan hidup membujang tidak diizinkan oleh Rasulullah. Dalam Islam, tidak ada pula pelarangan makan daging. Hanya, kita tidak boleh memakan secara berlebihan. Dari segi pengekangan nafsu, Islam “membebaskan” umatnya untuk berjuang sungguh-sungguh, bukan menghindari nafsu tersebut.

Ketika kita memiliki nafsu birahi (di bawah cinta kita kepada lawan jenis), kita dianjurkan untuk menikah. Ketika menikah inilah kita benar-benar dilatih untuk memberikan hati sepenuhnya kepada pasangan. Di sinilah pengendalian diri yang senyatanya dibentuk.

Kita diperintahkan untuk memperlakukan pasangan dengan baik; khususnya suami kepada istri, karena sabda Nabi, “Seorang muslim tidak boleh membenci istrinya; jika ia merasa tidak puas dengan salah satu perbuatan istrinya, ia bisa berpuas diri dengan perbuatan lain istrinya yang baik”. Ada pula sabda Nabi, seseorang yang mampu menanggung ketidakenakan yang ditimbulkan oleh istrinya dengan penuh kesabaran akan memperoleh pahala sebesar yang diterima oleh Ayub a.s. atas kesabarannya menanggung bala (ujian) yang menimpanya.
  Sementara itu, untuk istri, ada perintah Nabi, istri tidak boleh berkata kepada suaminya, “Kenapa kauperlakukan aku begini dan begitu?” Artinya, istri harus berbakti kepada suaminya dan menerima keadaan sang suami apa adanya. Tidak ada istilah bercerai karena suami tidak bisa menafkahi istri dalam Islam. Dalam hubungan pemimpin dan yang dipimpin, suamilah yang memimpin istrinya untuk mengenal Allah. Seorang suami hendaknya memiliki pengetahuan agama yang cukup sehingga memudahkan istri untuk melakukan sabda Nabi tentang kepatuhan total dalam rumah tangga. Nabi bersabda, “jika saja dibolehkan untuk menyembah sesuatu selain Allah, akan kuperintahkan agar para istri menyembah suami-suami mereka.” Dengan peraturan-peraturan yang sedemikian kompleks (sekaligus sebenarnya mudah bagi orang-orang yang hatinya tulus), seharusnya penganut Islam akan memperoleh hikmah kebijaksanaan ilahi yang sangat besar, yang memudahkan ruhnya dalam pengembaraan menuju Hari Akhirat.

Ayn Al-Qudat dalam kitabnya Tamhidat, menjelaskan betapa keberadaan seorang muslim bisa membahayakan sekaligus menguntungkan dirinya.Semua agama dapat dianggap Islam jika agama tersebut mampu membuat penganutnya menyerahkan diri kepada Tuhan. Namun, Islam tetap dipandang istimewa. Islam adalah agama yang paling mampu membimbing penyerahan diri manusia kepada Tuhan. Meskipun Islam adalah agama yang istimewa, Islam belum tentu dianggap “Islam” jika agama ini gagal membuat penganutnya berpasrah diri kepada Tuhan. Sebaliknya, yang disebut kekafiran adalah segala sesuatu yang membuat seseorang tidak berserah diri kepada Tuhan. Dalam hal ini, Islam yang merupakan agama istimewa dapat kehilangan keistimewaannya jika penganutnya masih mengandalkan keakuan, bukan kepasrahan kepada Tuhan.

Jika sebuah agama (madhab) tunggal dapat membimbing seorang manusia menuju Tuhan, pastilah itu agama Islam, tetapi jika agama ini (Islam) tidak memberikan kesadaran kepada sang murid, maka agama semacam ini lebih buruk daripada kekafiran di mata Tuhan. Menurut para salik di atas Jalan Sufi, Islam menandakan bahwa ia yang membawa seorang manusia menuju Tuhan dan ‘kekafiran’ merujuk pada apa yang merintangi sang salik dan menyebabkan dia mandek dalam pencariannya.

Orang Islam yang gagal memanfaatkan keislamannya akan bernasib sama seperti Si Penakut dari suku Qazwin. Sukunya terkenal karena tato yang melambangkan keberanian mereka; sedangkan Si Penakut, berkedok pada keberanian sukunya, sok berani menantang “maut”, kenyatannya malah gagal. Jadi, datanglah ke tukang tato (hidup) dan bersiaplah “dihancurkan” karena sesungguhnya kehidupan duniawi tidak pernah bisa menghancurkan orang Islam yang sejati.
Previous
Next Post »