Kumpulan kata mutiara terbaik Jalaludin Rumi terdapat dalam kitab agungnya, Masnawi, yang karena keindahan dan kedalaman maknanya sering disebut sebagai Qurannya Orang Persia.Masnawi atau Masnawi i Ma'nawi ini terdiri dari enam jilid kitab, yang terdiri dari 25.000 bait atau 50.000 baris.
Masnawi adalah kumpulan anekdot dan kisah-kisah puitik yang berasal dari Al-Quran, hadis, dan cerita rakyat yang terkenal di era kehidupan Jalaludin Rumi. Anekdot dan kisah-kisah itu diramu dan disusun sedemikian rupa untuk mengajarkan kekayaan dimensi spiritual yang dapat diambil hikmah oleh siapapun yang hendak merenungkan makna kehidupan.
Dalam hal ini, rangkaian kata mutiara Jalaludin Rumi pada Masnawi jilid I tersusun dari bagian mukadimah, 16 kisah penuh makna, dan penutup (khatimah). Kita dapat membacanya secara berurutan dalam tautan di bawah ini.
-----------------------------------
Mukadimah Masnawi I
Cerita I
Cerita II
Cerita III
Cerita IV
CeritaV
Cerita VI
Cerita VII
Cerita VIII
Cerita IX
Cerita X
Cerita XI
Cerita XII
Cerita XIII
Cerita XIV
Cerita XV
Cerita XVI
Penutup Masnawi I
------------------------------------
Berikut ini adalah mukadimah Masnawi Jilid I karya Jalaluddin Rumi.
MASNAWI I
MUKADIMAH
Dengarkanlah senandung pedih buluh perindu
Meratapi pengasingannya dari kampung halaman:
"Sejak ‘ku terpisah dari dari buaian ilalang,
Ratapan pedih ini telah mencipta hehujanan air mata pria dan wanita
Ingin kuledakkan dada, melampiaskan desah mendera
‘Tuk ungkapkan pedihnya rindu dendam
Siapa pun yang tinggal jauh dari kampung halaman
‘Kan menanti tibanya hari berpulang
Ratapan ini terdengar setiap kerumunan;
Berhimpit dengan mereka yang tertawa dan menangis
Siapa pun mengira laguku sama dengan ungkapan hati mereka;
Tapi tiada satu pun yang mengetahui rahasia jantung ini
Rahasia ini bukan hal asing ‘tuk lagu sedihku
Namun, ia tak teraba mata dan telinga.
Tubuh tak terpisahkan dari jiwa, demikian pula sebaliknya.
Namun, tiada satu pun yang mampu melihat jiwa. "
Tangis buluh perindu ini bukan lagi udara; tapi telah jadi api
Jadi, biarkan dia yang tidak memiliki api; mati!
Adalah api cinta yang mengilhami seruling,
Adalah ragi cinta yang menguasai anggur;
Buluh perindulah pengembus semangat pecinta yang terpisah jarak
perobek selubung sakit hati kami
Adakah racun sekaligus penawar selain buluh perindu ini?
Adakah kekasih sekaligus perindu layaknya buluh perindu ini?
Buluh perindu ini mengisahkan jalan cinta penuh liku
Mengulang kembali kisah Majnun yang berlumur darah
Siapa pun yang mendengar kebenaran yang didendangkan buluh perindu
Seperti telinga yang terikat pada bisikan lidah
“Hari-hari terbuang percuma, larut dalam kepedihan; berganti malam.
Hari-hari penuh nyala api cinta menjadi teman seperjalananku; lalu terbakar habis.
Wahai, meski hari-hari itu telah pergi berlalu; aku tak peduli
Kau, Sahabat, bertahan di sini; tiada apa pun yang setara dengan kesucianmu.
Tapi, semua yang bukan ikan ‘kan kelelahan dalam air
Mereka yang kekurangan makanan sehari-hari ‘kan merasa hari begitu panjang;
“Yang Mentah” takkan memahami keadaan "Masak”
Biar kupersingkat pembicaraan ini
“Bangkitlah, hai anak manusia! Hancurkan penjaramu dan bebaslah!
Berapa lama lagi engkau menjadi tawanan perak dan emas?
Meskipun engkau tuangkan laut ke dalam kendimu
Ia takkan mampu menyimpan persediaan bahkan ‘tuk sehari saja.
Kendi ketamakan takkan pernah terisi penuh;
Cangkang tiram tak berpunya mutiara hingga tiba haknya.
Hanya dia yang pakaiannya disewa pedihnya cinta
Sepenuhnya murni dari tamak dan dosa.
Salam untukmu, Wahai CINTA!
Penyembuh segala derita;
Penawar kebanggaan dan keangkuhan hati
Plato kami, Galenus kami!
Cinta meninggikan badan duniawi kita ke surga,
Dan membuat bebukitan tinggi menari riang gembira!
Wahai para pecinta, ‘Cintalah yang menghidupkan Gunung Sinai,
Ketika Sinai berguncang, Musa jatuh pingsan."
Bahkan jika Kekasih hanya menyentuhku dengan bibirnya,
Buluh perindu ini tlah cukup mampu meledak dalam nada.
Namun, jika ku berpisah dari yang berbicara melalui lidah ini
Bahkan meski memiliki seratus nada, aku ‘kan terlihat bodoh.
Ketika mawar pudar dan taman melayu,
Lagu burung bulbul tak terdengar lagi.
Kekasih adalah segala dalam segalanya; para pecinta hanya selubung-Nya
Kekasih adalah titik hidup; para pecinta adalah benda mati
Ketika pecinta merasa tiada dimiliki lagi oleh Cinta
Ia bagai burung yang kehilangan sayap
Bagaimana ‘ku mampu bertahan dan terjaga
Ketika Kekasih tak lagi menunjukka cahaya wajah-Nya?
Cinta ingin rahasia ini terungkap,
Jadi, jika cermin tak memantulkan bebayang; apa gunanya?
Wahai Junjungan, mengapa cermin ini tak memantulkan apapun?
Ah, Karat belum digosok dari selubungku
Jika dimurnikan dari semua karat dan debu;
Cermin ini ‘kan pantulkan cahaya Matahari Tuhan.
Wahai kawan, kau tengah mendengar kisah ini,
Inti segala permasalahanku.
MUKADIMAH
Dengarkanlah senandung pedih buluh perindu
Meratapi pengasingannya dari kampung halaman:
"Sejak ‘ku terpisah dari dari buaian ilalang,
Ratapan pedih ini telah mencipta hehujanan air mata pria dan wanita
Ingin kuledakkan dada, melampiaskan desah mendera
‘Tuk ungkapkan pedihnya rindu dendam
Siapa pun yang tinggal jauh dari kampung halaman
‘Kan menanti tibanya hari berpulang
Ratapan ini terdengar setiap kerumunan;
Berhimpit dengan mereka yang tertawa dan menangis
Siapa pun mengira laguku sama dengan ungkapan hati mereka;
Tapi tiada satu pun yang mengetahui rahasia jantung ini
Rahasia ini bukan hal asing ‘tuk lagu sedihku
Namun, ia tak teraba mata dan telinga.
Tubuh tak terpisahkan dari jiwa, demikian pula sebaliknya.
Namun, tiada satu pun yang mampu melihat jiwa. "
Tangis buluh perindu ini bukan lagi udara; tapi telah jadi api
Jadi, biarkan dia yang tidak memiliki api; mati!
Adalah api cinta yang mengilhami seruling,
Adalah ragi cinta yang menguasai anggur;
Buluh perindulah pengembus semangat pecinta yang terpisah jarak
perobek selubung sakit hati kami
Adakah racun sekaligus penawar selain buluh perindu ini?
Adakah kekasih sekaligus perindu layaknya buluh perindu ini?
Buluh perindu ini mengisahkan jalan cinta penuh liku
Mengulang kembali kisah Majnun yang berlumur darah
Siapa pun yang mendengar kebenaran yang didendangkan buluh perindu
Seperti telinga yang terikat pada bisikan lidah
“Hari-hari terbuang percuma, larut dalam kepedihan; berganti malam.
Hari-hari penuh nyala api cinta menjadi teman seperjalananku; lalu terbakar habis.
Wahai, meski hari-hari itu telah pergi berlalu; aku tak peduli
Kau, Sahabat, bertahan di sini; tiada apa pun yang setara dengan kesucianmu.
Tapi, semua yang bukan ikan ‘kan kelelahan dalam air
Mereka yang kekurangan makanan sehari-hari ‘kan merasa hari begitu panjang;
“Yang Mentah” takkan memahami keadaan "Masak”
Biar kupersingkat pembicaraan ini
“Bangkitlah, hai anak manusia! Hancurkan penjaramu dan bebaslah!
Berapa lama lagi engkau menjadi tawanan perak dan emas?
Meskipun engkau tuangkan laut ke dalam kendimu
Ia takkan mampu menyimpan persediaan bahkan ‘tuk sehari saja.
Kendi ketamakan takkan pernah terisi penuh;
Cangkang tiram tak berpunya mutiara hingga tiba haknya.
Hanya dia yang pakaiannya disewa pedihnya cinta
Sepenuhnya murni dari tamak dan dosa.
Salam untukmu, Wahai CINTA!
Penyembuh segala derita;
Penawar kebanggaan dan keangkuhan hati
Plato kami, Galenus kami!
Cinta meninggikan badan duniawi kita ke surga,
Dan membuat bebukitan tinggi menari riang gembira!
Wahai para pecinta, ‘Cintalah yang menghidupkan Gunung Sinai,
Ketika Sinai berguncang, Musa jatuh pingsan."
Bahkan jika Kekasih hanya menyentuhku dengan bibirnya,
Buluh perindu ini tlah cukup mampu meledak dalam nada.
Namun, jika ku berpisah dari yang berbicara melalui lidah ini
Bahkan meski memiliki seratus nada, aku ‘kan terlihat bodoh.
Ketika mawar pudar dan taman melayu,
Lagu burung bulbul tak terdengar lagi.
Kekasih adalah segala dalam segalanya; para pecinta hanya selubung-Nya
Kekasih adalah titik hidup; para pecinta adalah benda mati
Ketika pecinta merasa tiada dimiliki lagi oleh Cinta
Ia bagai burung yang kehilangan sayap
Bagaimana ‘ku mampu bertahan dan terjaga
Ketika Kekasih tak lagi menunjukka cahaya wajah-Nya?
Cinta ingin rahasia ini terungkap,
Jadi, jika cermin tak memantulkan bebayang; apa gunanya?
Wahai Junjungan, mengapa cermin ini tak memantulkan apapun?
Ah, Karat belum digosok dari selubungku
Jika dimurnikan dari semua karat dan debu;
Cermin ini ‘kan pantulkan cahaya Matahari Tuhan.
Wahai kawan, kau tengah mendengar kisah ini,
Inti segala permasalahanku.
ConversionConversion EmoticonEmoticon