Di seberang Ghor terdapat sebuah kota yang seluruh penduduknya buta. Suatu hari, Seorang raja dengan pengikutnya kebetulan melintasi kota tersebut. Sebagaimana kebiasaan pada masa lalu, sang raja membawa tentara. Karena lelah dalam perjalanan, maka raja memerintahkan tentara memasang tenda di gurun dekat kota berpenduduk orang buta tersebut. Sang raja memiliki seekor gajah perkasa yang dipergunakannya untuk berperang dan selalu menyebabkan kemenangan tentaranya. Kisah gajah ini sudah menggaung ke seluruh penjuru dunia dan selalu menimbulkan ketakjuban rakyat. Lalu, kabar bahwa raja mendirikan tenda di dekat kota juga didengar oleh orang-orang buta di sana.
Penduduk kota ingin sekali melihat gajah yang digembar-gemborkan sangat perkasa tersebut. Bebrapa orang buta tersebut berlari-lari ke arah sang gajah dipandu seorang tentara. Sayangnya, karena mereka sama sekali tidak mengetahui bentuk gajah, para orang buta itu hanya meraba-raba sekenanya, sesuai kemampuan terbatas mereka, mencoba membayangkan bentuk gajah dengan cara menyentuh bagian tubuhnya. Tiap-tiap orang buta berpikir bahwa mereka telah mengetahui sesuatu sebab telah menyentuh bagian tubuh tertentu. Mereka pun berpuas diri dan kembali ke tengah-tengah kaumnya tanpa pernah berniat meminta penjelasan yang lebih lanjut dari raja atau tentaranya.
Mendengar kumpulan orang buta yang bertemu gajah sudah kembali, orang-orang buta pun berkerumun di sekitar orang-orang tersebut. Yang lebih parah, tiap-tiap orang buta yang bertemu gajah sama sekali tidak bertanya pula kepada satu sama lain tentang bentuk gajah yang sebenarnya. Maka, dimulailah pertanyaan kepada mereka satu persatu untuk menjelaskan bentuk gajah tanpa menyadari bahwa mereka sudah tersesat.
Pertama, orang yang tangannya menyentuh telinga gajah mendeskripsikan, “Gajah itu lebar, kasar, besar, dan luas.”
Kedua, orang yang meraba belalai gajah berkata, “Saya tahu keadaan sebenarnya! Gajah tidak seperti yang dikisahkan orang pertama. Gajah itu bentuknya bagai pipa lurus dan kosong. Dari pipa yang lurus itu muncul suara dahsyat yang menggetarkan jiwa.”
Orang yang menyentuh kaki gajah tak terima. Ia berkata, “Mereka berdua salah semua. Gajah itu bentuknya tegak, tidak terlalu besar, kokoh bagaikan tiang.”
Orang-orang buta yang mendengar cerita mereka kebingungan. Kaum orang buta tersebut mengira bahwa ketiga orang yang diutus bertemu gajah itu mungkin saja telah berbohong dengan tujuan memperolok sesamanya atau mungkin telah gila karena ternyata gajah adalah binatang yang sangat menakutkan. Bahkan, ada yang menganggap bahwa gajah adalah binatang yang memecah-belah persatuan kumpulan orang buta.
Ada pula yang berpendapat, mungkin selentingan kabar tentang gajah hanyalah usaha menakut-nakuti orang buta. Lalu, ketiga orang buta yang diutus menemui gajah ini, karena gajah sebenarnya tidak ada, mengarang cerita saja. Padahal, dari sekian banyak asumsi di atas, masalah paling mendasar adalah ketidakmampuan orang buta untuk melihat gajah yang semestinya.
Hikmah dalam Kisah Gajah dan Orang Buta
Kisah di atas secara tepat menggambarkan bagaimana umat beragama mengenal Tuhannya. Ada yang menganggap Tuhan sebagai ini dan itu sebagaimana orang buta menganggap gajah bentuknya panjang hanya karena meraba belalai dan tegak berdiri hanya karena meraba kakinya. Allah sendiri berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku, maka hendaklah hamba-Ku berprasangka baik kepadaku.” Selama berada di dunia, kita masih terhijab dari Allah, seperti orang buta terhadap gajah. Yang bisa kita kenali hanyalah kebesaran nama-Nya (seperti orang buta yang takut sekaligus kagum pada Gajah).
Upaya apa pun untuk mengenal Allah di dunia hanya akan menemui jalan buntu mengingat Nabi Muhammad saw. bersabda, “pikirkanlah sifat-sifat-Nya, bukan dzat-Nya sehingga engkau tidak gila.” Begitu kompleksnya selubung kita dari Allah ini menyebabkan tidak adanya kebenaran hakiki di dunia ini kecuali bagi mereka yang telah tercerahkan oleh Allah atau mereka yang memaksakan kehendaknya sendiri untuk mengangkat kebenaran versi dirinya menjadi kebenaran mutlak.
Orang yang telah tercerahkan oleh Allah biasanya akan tampil lebih menghargai sesama makhluk, tidak memaksakan kebenarannya (tidak seperti orang buta pertama hingga ketiga) meskipun ia juga memiliki kebenaran dalam hatinya sendiri. Orang seperti ini akan lebih banyak “mengurusi dirinya sendiri” sesuai dengan sabda Nabi, “Bukti bahwa seseorang muslim terlihat dari tidak perhatiannya pada hal-hal yang bukan urusannya (tidak menggunjing)”.
Dalam tataran tertentu, untuk apa kita mesti memaksakan kebenaran kita kalau ternyata pemaksaan tersebut tidak akan menyelamatkan kita dari Hari Pengadilan; ketika kita disibukkan oleh kesalahan-kesalahan kita dalam mengenal Allah? Para sufi sendiri sangat menyadari keterbatasan manusia mengenal Allah. Oleh karena itu mereka menggunakan aforisma, “Jika Allah belum mencitaimu, sebenarnya kau belum mencintai-Nya. Jika Alah belum kaupahami, artinya kau tidak sungguh-sungguh mau mengenal-Nya.”
ConversionConversion EmoticonEmoticon