Sifat-Sifat Yang Dihapus Dengan Istighfar: Bagian 3 Mudah Euforia

Sifat-Sifat Yang Dihapus Dengan Istighfar: Bagian 3 Mudah Euforia

Dalam bagian sifat-sifat yang dihapus dengan istighfar ini, kita akan membahas sifat ketiga, yaitu mudah bereuforia.

Berhati-hatilah orang yang sedikit-sedikit bahagia. Mungkin kebanyakan dari kita menganggap bahwa ini bentuk syukur. Bisa jadi tidak demikian. Sudah sewajarnya, seseorang yang ingin mendekati Allah, senantiasa wasapada pada setiap langkahnya. Perjalanan menuju Allah diibaratkan kita tengah melintasi jalanan di malam gelap tanpa cahaya sedikit pun. Andai tak waspada, mungkin saja pada langkah berikutnya kita terjerumus ke dalam lubang dalam. Andai terlalu riang menghadapi jalan yang seakan lapang, bisa saja kelak tiba-tiba saja kita terguling jatuh oleh batu besar yang tak terlihat.

Seorang lelaki bernama Hikam, menyesal bahwa selama ini ia jauh dari Allah. Ajaran agama, dikerjakannya asal-asalan. Dipilihnya teman-teman yang memiliki perangai buruk. Kematian sang ayah membuat hidupnya berubah. Ia merasa ada yang hilang; dan pertaubatan adalah jalan yang paling tepat. Bergurulah ia pada guru sufi terkemuka di wilayahnya.

Beberapa bulan berlalu sejak hari-hari pertaubatan, tiba-tiba saja Hikam memeroleh penghidupan yang layak. Hartanya melimpah, orang-orang mulai kagum memandangnya, dan dunia seperti berada dalam genggaman tangan. Dengan cepat, Hikam berkesimpulan, inilah hasil dari pertaubatannya. Inilah bukti bahwa Allah Maha Pengampun. Segala dosanya diganti dengan kebahagiaan.

Maka, tanpa meminta petunjuk sang guru, Hikam kemudian, seperti orang-orang saat ini, membuka pelatihan pertaubatan. Diajarinya orang-orang di sekeliling, menjalani cara bertaubat ala dirinya.
Karena Hikam sukses dan berharta, banyak yang tergiur pada metode pertaubatannya. Mereka berpikir, daripada mendengarkan ceramah ustadz-ustadz terkenal yang tidak berhasil, yang hanya bisa berkata-kata saja, lebih baik mendengarkan Hikam yang terbukti berhasil setelah bertaubat. Lambat laun, pendukung Hikam semakin banyak, dan semakin banyak lagi. Semakin yakinlah Hikam bahwa dirinya benar.

Suatu ketika, kala pendukung Hikam sudah begitu banyak, sang guru sufi yang melatihnya, memutuskan untuk mencopot Hikam sebagai murid. Awalnya Hikam bersedih, tapi ternyata pergi dari sang guru tak mempengaruhi apa pun. Kesuksesannya bahkan semakin tinggi. Ia jauh-jauh lebih terkenal daripada sebelumnya. Tidak hanya di kota setempat, kini orang di seluruh negeri mengenalnya; dan tak pernah mau peduli dengan sang guru sufi yang membantu pertaubatan Hikam.

Satu yang tidak disadari mereka, bukan tanpa alasan guru sufi memecat Hikam. Dalam suratnya kepada sang murid, guru tersebut berkata, “Ketahuilah, kesuksesan yang engkau dapatkan sejatinya tidak berasal dari pertaubatanmu. Karena jika Allah memang menerima pertaubatanmu, maka engkau akan benar-benar tersingkir dari gemerlapnya dunia.”

Orang-orang yang membaca surat ini, mungkin saja berpikiran bahwa guru Hikam tengah melakukan pembenaran terhadap nasibnya sendiri yang tak lebih bagus daripada Hikam. Atau, bisa saja sang guru cemburu akan kesuksesan muridnya. Sampai kebanyakan orang berpikir bahwa kebahagiaan sama saja dengan kesedihan, maka akan ada banyak sekali Hikam-Hikam baru yang tumbuh di sekitar kita.

Kebahagiaan. Inilah yang dirasakan Hikam. Pertaubatannya, istighfar yang diucapkan sepanjang hari, seperti menemukan jawaban ketika hidup Hikam tiba-tiba berubah ke 'arah yang lebih baik'. Sebelum bertaubat, Hikam tidak kaya-kaya amat. Ia memang berkecukupan, tapi tak bergelimang harta. Berbeda halnya setelah menyucikan diri, segalanya seperti mudah saja ditunjuk. Kadang, karena memperoleh kebahagiaan, kita menganggap hal ini sebagai kebenaran. Padahal, tidak mesti demikian.

Memang, mungkin saja Hikam memperoleh anugerah dari Allah. Ia yang bertaubat, memperoleh kebahagiaan duniawi. Namun, mungkin saja tidak demikian. Kebahagiaan ini adalah bentuk ujian dari Sang Khalik. Tentang, sejauh apa mental taubat Hikam. Sehebat apa istighfar yang diucapkannya, bisa masuk ke dalam hati. Apakah setelah memperoleh kebahagiaan pasca bertaubat, Hikam akan memuji pertaubatannya sendiri, atau tetap berusaha mengoreksi semua perbuatan; bahkan perilaku baiknya? Pada akhirnya, Hikam gagal dalam hal ini. Ia merasa tidak perlu mengoreksi hal-hal yang dianggapnya baik.

Lebih dari itu, apa yang disebut dengan kebahagiaan? Ia tak lebih dari rasa yang tercipta, ketika takdir sesuai dengan keinginan kita. Bandingkan dengan kesedihan, rasa yang tercipta ketika takdir tak sesuai harapan. Keduanya, bahagia dan sedih, sejatinya, tidak nyata.

 Persepsi kitalah yang membentuk kedua rasa ini hadir. Ingatlah yang disampaikan Allah dalam Q.S. Al-Fajr:15--16, “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, 'Tuhanku telah memuliakanku.'  Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata, 'Tuhanku menghinakanku'.”

Ayat ini sejatinya begitu telak jika diperdengarkan kepada Hikam. Adakah jaminan bahwa harta yang didapatkan Hikam setelah bertaubat, adalah bukti Allah kini lebih mencintai-Nya? Tidak. Selama hidup di dunia, ujian akan datang silih berganti pada kehidupan kita. Tidak hanya ujian kesedihan, tetapi juga ujian berupa kebahagiaan. Dan ujian yang berkaitan dengan kesenangan, jauh lebih tak terlihat daripada ujian kala kita dibuat terluka.

Ya, saat menerima cobaan berupa musibah, naluri kita akan berkata, hal ini terjadi karena kurang dekatnya kita kepada Allah. Maka, kita akan berusaha memperbanyak ibadah. Akan halnya dengan musibah berupa kesenangan? Apa yang akan menjadi tolak ukur kegagalan kita? Sulit. Jarang sekali kita merasa bersalah, harus memperbanyak ibadah, ketika segala hal ada di genggaman tangan.

Mungkin, dalam ibadah sosial, iya. Namun, dalam ibadah yang berhubungan dengan Allah, bukan tidak mungkin yang terjadi justru penurunan kualitas. Karena merasa sudah dekat, rasanya segalanya sudah cukup. Karena merasa sudah dekat, kita beranggapan bahwa ibadah kita sudah benar, seperti Hikam. Padahal, sekali lagi, ini juga ujian; bukan sebuah berkah. 

Alangkah berbahayanya jika sikap ini yang kita kembangkan setelah bertaubat. Cepat puas, cepat terlarut kebahagiaan. Lebih baik senantiasa waspada, tidak mudah bereaksi atas sebuah takdir. Jalani saja. Jika memang Allah akan memberikan dunia ini kepada kita, yakinilah hal tersebut terjadi kala hati kita benar-benar suci dari keinginan mendapatkannya. Selama masih ada keinginan untuk mendapatkan macam-macam, dan seolah kita begitu mudah mendapatkan hal-hal tersebut, tak ada salahnya bersikap curiga kepada diri sendiri.
Previous
Next Post »