Sifat-Sifat Yang Dihapus Dengan Istighfar: Bagian 2 Putus Asa


Sifat-Sifat Yang Dihapus Dengan Istighfar: Bagian 2 Putus Asa

Dalam bagian sifat-sifat yang dihapus dengan istighfar ini, kita akan membahas sifat kedua, yaitu putus asa. Apa yang terjadi jika seseorang yang pernah melakukan kesalahan, memiliki sifat mudah putus asa?

Ia bisa jadi akan terjebak dalam lingkaran setan. Pertama-tama, ia memang mengucapkan istighfar. Namun, ucapan ini hanya ada dalam bibir. Orang yang mentalnya lemah, ketika melakukan blunder sedikit saja, akan merasa kecil hati. Padahal, kesalahannya mungkin pernah dilakukan orang lain. Padahal, bisa jadi ada yang lebih parah daripada dirinya. Tapi, karena hatinya tidak dibentuk untuk menampung segala keadaan, ia cenderung akan merasa hidupnya hancur. Ia seperti diam di tempat, tak bisa bergerak dari masa lalu.

Ingatlah, seseorang tidak akan berada dalam sebuah keadaan selamanya. Ketika kita putus hubungan dengan kekasih, kita mesti berkata tiba saatnya move on. Tak mungkin kita akan mengenang masa lalu dengannya seumur hidup, sementara ia telah membina hubungan dengan orang lain. Ketika kita dipecat dari sebuah perusahaan karena kerja yang tidak becus, harus ada optimisme yang dipupuk. Bahwa mungkin jodoh kita dengan perusahaan tersebut hanya sebatas saat itu saja. Kala pernah mengambil keputusan keliru sehingga ekonomi runtuh, yang diperlukan adalah solusi, berusaha keluar dari keterpurukan tersebut. Bukan malah berdiam diri, menyesali nasib, dan menunggu pertolongan Tuhan. Berharap keajaiban.

Bukankah sudah dijelaskan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum, sebelum mereka mengubah peruntungan mereka sendiri? Demikian pula dengan seseorang, bagian terkecil dari masyarakat. Ia mesti mengubah hati; menyucikannya dengan istighfar; lalu berketetapan menjalani hidup baru yang lebih baik. Bukan, bukan berarti kita melupakan masa lalu yang buram. Lantas, meninggalkannya begitu saja seperti tak pernah berbuat salah. Tidak demikian. Kekelaman masa lalu tersebut direkam dalam kerangka berpikir, pasti ada hikmah di balik kejadian tersebut.

Seorang lelaki, berusaha bertaubat atas dosa-dosanya di masa lalu. Ia mengunjungi Guru Fulan, sufi yang terkenal mampu membimbing orang-orang tersesat ke jalan yang lurus. Lelaki ini begitu bersemangat, sehingga memasrahkan hidupnya kepada Guru Fulan. Apa mau dikata.

Selama berada dalam pengawasan sang guru, lelaki tersebut mengalami masa-masa berat. Guru Fulan tak tanggung-tanggung menggemblengnya. Segala bentuk keakuan dimusnahkan. Lelaki yang dahulu biasa hidup bergelimang harta, kini harus memakai baju compang-camping layaknya pengemis. Ia yang pernah merasakan nikmatnya mengunyah daging, kini harus banyak-banyak berpuasa. Semua perilaku harus dikontrol, dan tak boleh ada secuil pun kesalahan.

Lelaki tersebut tak kuat lagi, ia merindukan hidupnya yang dulu. Hidup yang penuh keriangan, tanpa penderitaan. Hidup yang penuh senyuman, bukan seperti saat ini, berderai air mata. Maka, diberanikannya diri untuk mengundurkan diri sebagai murid Guru Fulan. Di luar dugaan, Guru Fulan mengizinkan.

Namun, pertaubatan lelaki ini tak boleh berhenti. Ia hanya tidak betah dengan metode yang disodorkan Guru Fulan. Maka, berpindahlah ia menjadi murid Guru Hakim. Sang guru menerimanya dengan senang hati. Lelaki itu, berkata bahwa ia ingin membersihkan diri, tapi tak ingin menjalani masa-masa buruk seperti yang dialaminya pada guru sebelumnya.

Benarlah. Bersama Guru Hakim, peraturan sangat longgar. Tidak ada ketentuan harus berpakaian compang-camping. Lelaki ini tetap boleh berdagang dan bergelut pada kehidupan duniawi. Menjalani hari-hari menyenangkan, sang lelaki pun berkata pada guru barunya, “Alhamdulillah. Saya mendapatkan pencerahan bersama Guru. Segala yang Guru berikan, jauh lebih mudah daripada yang diajarkan oleh Guru Fulan. Kini, pertaubatan saya menemui jalan terang.”

Guru Hakim menjawab, “Benarkah demikian? Kau tahu mengapa jalan yang kaulalui di sini lebih mudah? Karena aku tak terlalu mempedulikan hasil akhir apa yang akan menimpamu. Sebaliknya, ketika kau berguru pada Guru Fulan, beliau begitu perhatian pada segala gerak-gerikmu karena benar-benar ingin membuatmu bertaubat secara menyeluruh. “

Seseorang yang beristighfar, yang mengucapkan permohonan ampun kepada Allah, sejatinya tengah menyucikan diri. Ia bagaikan cermin yang diliputi debu tebal. Bercak-bercak kotoran pun melekat padanya. Dan tindakan membersihkan diri, tak mungkin dilakukan tanpa melenyapkan debu serta bercak tersebut. Andai kita bermental ringkih, pasti kita akan malas, kecewa, dan merasa sakit ketika disucikan. Cermin harus digosok keras-keras agar semua noda lenyap. Dengan demikian, ia akan kembali mengilap. Inilah yang dilakukan Guru Fulan. Ditempanya lelaki tadi dengan keras; agar mencapai hasil maksimal.

Akan halnya Guru Hakim, sudah melihat si lelaki sebagai orang yang ogah-ogahan. Ia memang berniat bertaubat, tapi niat tersebut tidak diimbangi dengan tindakan. Maka, Guru Hakim pun bersikap serupa. Ia memang membersihkan cermin tersebut, dengan setengah hati. Noda-noda detail yang tak bisa dibersihkan, dilewatkan begitu saja. Untuk apa berniat serius pada orang yang tak serius?

Lelaki ini, mencerminkan sifat mudah putus asa. Bayangkan jika ia tegar, mau menerima nasib 'dihancurkan' oleh Guru Fulan. Dalam beberapa waktu, ia akan menjadi cermin paling bersih yang bisa memantulkan cahaya Allah. Ia sudah terburu-buru menyerah oleh beratnya metode yang dipakai sang guru. Coba kita cermati kehidupan sehari-hari. Kita mengaku akan bertaubat. Ingin membersihkan diri dari dosa masa silam. Berbondong-bondong menuju jalan kebenaran. Tapi, di sisi lain, kita tak mau susah-susah. Kalau perlu, bertaubat itu ala kadarnya saja. Setelah memohon ampunan kepada Allah, hidup kembali tertata.

Pola pikir seperti ini jelas menyesatkan. Sudah dijelaskan bahwa segala hal di dunia ini, terkutuk kecuali yang mampu membantu kita mengingat Allah. Jika memang benar-benar ingin mendekati Allah, kita mesti siap-siap menghilangkan hal-hal terkutuk itu, satu per satu. Andai banyak mengeluh, layaklah kita berkata, istighfar kita cuma setengah jadi. Atau, kita sejatinya tidak sungguh-sungguh mencintai Allah; lebih menyayangi diri sendiri.
Previous
Next Post »