Sifat-Sifat Yang Dihapus Dengan Istighfar: Bagian 4 Mudah Berpikir Untung Rugi

Sifat-Sifat Yang Dihapus Dengan Istighfar: Bagian 4 Mudah Berpikir Untung Rugi

 Dalam bagian sifat-sifat yang dihapus dengan istighfar ini, kita akan membahas sifat keempat, yaitu mudah berpikir untung rugi.

Salah satu kelemahan paling mendasar bagi kita adalah, senantiasa berpikir untung-rugi terhadap sesuatu. Jika ada sesuatu yang sekilas menguntungkan, kita akan buru-buru berusaha mendapatkannya. Dan jika diminta mengerjakan sesuatu yang merugikan, kita tak mau mengerjakannya. Disadari atau tidak, hal ini kadang mengganggu kehidupan beragama kita.
Bayangkanlah seandainya tidak ada imbalan surga dan neraka. Masihkah kita akan beribadah tekun; dan menghindari perbuatan tercela? Selama ini, kita salat lima waktu, berpuasa Senin-Kamis, atau ibadah lain karena percaya Allah akan membalas perbuatan tersebut.

Bayangkan jika ternyata Allah tak mau membalas perbuatan ini dalam rentang waktu yang sangat lama. Masihkah berniat mengerjakan hal yang seakan-akan merugikan tersebut? Sudahkah hati ini terlatih, seandainya kelak, meskipun ibadah kita ada sekian banyak, kita tetap masuk neraka?
Kita mungkin sudah bersedekah kepada fakir miskin, menyumbang sekian banyak pada panti asuhan. Benarkah niat awal kita benar-benar murni karena ingin menolong sesama? Tidak adakah pikiran, kita berbuat hal ini karena percaya kebaikan akan dibalas berkali lipat oleh Allah? Maka yang menjadi pertanyaan berikutnya, adalah, apakah semua perbuatan baik harus memiliki alasan? Tidak bisakah kita benar-benar mengerjakan apa pun tanpa pretensi apa pun?

Apa yang terjadi jika seseorang yang sudah beristighfar, masih memiliki pemikiran untung-rugi? Sekilas tidak ada yang keliru. Akan tetapi, jika digali lebih jauh, sebenarnya apa tujuannya meminta ampun kepada Allah? Apakah agar selamat dari kenistaan dunia? Agar memperoleh penghidupan yang lebih baik? Mendapatkan ketenangan batin? Bukankah semua ini adalah 'keuntungan'; atau hal-hal yang membuat kita berada dalam kondisi yang lebih baik daripada sebelum beristighfar?

Jika masih berharap hal-hal seperti ini, masihkah kita berkata hati ini bersih dari kepentingan-kepentingan? Ada sebuah kalimat dari Mahmud bin Said Al-Zanji, yang barangkali menyakitkan bagi kita, tapi barangkali bisa menembus sisi hati terdalam, “Orang idiot adalah orang yang menyembah Allah karena takut Neraka atau mengharap Surga. Cinta kepada-Nyalah yang semestinya membangkitkan semua orang untuk beribadah.”

Ada seorang pemuda yang menghampiri Nabi Musa dan memohon agar diberi kemampuan mendengarkan bahasa binatang. Orang ini berjanji imannya akan bertambah jika memperoleh kemampuan itu. Ia berkeyakinan, selama ini ia terjebak dengan bahasa manusia. Bahasa jenisnya, hanya mengajarkan keserakahan. Sebaliknya, orang ini melihat, binatang-binatang, bagaimana pun memiliki rasa yang lebih suci. Siapa tahu ia menemukan hakikat kehidupan sejati ketika mempelajari bahasa binatang.

Nabi Musa berkata, “Bahasa binatang tak baik untukmu. Jika hanya ingin mengetahui hakikat kehidupan, engkau tak perlu memakai cara seekstrem ini. Masih banyak langkah yang bisa dipilih. Engkau akan celaka jika memiliki kemampuan ini.”

Sang pemuda berkeras, setengah memaksa, ia bersimpuh, mengemisi rasa iba Musa. Ketika Nabi Musa kemudian bermunajat kepada Allah sambil bertanya tentang keadaan sang pemuda, ia mendapatkan ilham bahwa orang ini, sudah selayaknya mendapatkan apa yang ia inginkan demi memperoleh pelajaran di kemudian hari.

Demikianlah, pemuda itu akhirnya memperoleh kemampuan mengetahui bahasa binatang. Awalnay, ia sendiri tak percaya. Namun, ketika tiba di rumah, disaksikannya sendiri, ia memang telah memperoleh anugerah itu. Di depan rumahnya, terlihat seekor anjing yang berbicara dengan ayam. Sang ayam, baru saja mematuki roti sampai habis tanpa memberi kesempatan pada si anjing.
Anjing itu mengeluh, “Ayam, kau curang! Kau menyantap semua roti ini. Lihatlah diriku yang kurus kering. Tidak kasihankah?”

Sang ayam menjawab, “Tak perlu cemberut seperti itu. Sebenarnya, Allah sudah menyiapkan ganti untukmu. Esok hari, kuda pemilik rumah ini akan mati. Bangkainya pasti akan diberikan kepadamu. Itu jauh lebih dari cukup.”
Si pemuda bagaikan tersambar petir mendengar hal ini. Ia adalah pemilik kuda tersebut. Ia tak mau rugi.

Maka, bergegaslah si pemilik kuda ke pasar. Niatannya cuma satu: menjual si kuda yang terlihat bugar tersebut secepatnya. Toh esoknya kuda itu mati. Pulanglah pemuda ini dengan uang bergemerincing.

Keesokan harinya, begitu bangun tidur, sang pemuda mendengar pertengkaran anjing dan ayam yang berbicara kemarin. Si anjing menyalahkan ayam, menganggapnya pembohong. Ayam itu berkilah, “Bukan begitu Sahabat. Aku tak berdusta! Kuda itu memang mati, tapi tak di sini. Pemiliknya sudah menjual hewan itu ke pasar. Dan ia mati di rumah pemilik yang baru. Tapi santai saja. Esok hari, giliran anak kuda yang mati.”

Sekali lagi, naluri licik si pemuda bangkit. Ia buru-buru menjual anak kuda. Akhirnya, kerugian tak datang. Dan keuntungan berlimpahan ke dalam hidupnya. Demikian seterusnya, hingga akhirnya suatu pagi, ia kembali mencuri dengar percakapan anjing dan ayam.

Tampak si anjing sudah kehabisan rasa sabar. Dihentaknya ayam, dimaki-makinya. Janji ayam bahwa akan ada makanan untuknya, tak pernah jadi nyata. Ayam yang tersudut, tak kalah membentak. Katanya, “Selama ini aku mengatakan sejujurnya. Tapi, sepanjang waku itu pula si pemilik rumah ini senantiasa licik. Ia mampu mendengar percakapan kita, lantas mengambil keuntungan darinya. Dijualnya kuda, anak kuda, dan seterusnya agar tak rugi. Kau boleh menyangsikan kejujuranku, wahai Anjing Baik Hati. Tapi lihatlah. Esok hari, sang pemilik rumah ini akan mati, dan kau akan melihatku tak pernah berdusta!”

Pemuda tersebut terbelalak. Buru-buru ia melarikan diri kepada Nabi Musa, mencari pertolongan. Ia bersimpuh ketika bersua dengan sang nabi. Menceritakan pengalamannya, pemuda itu menggigil membayangkan malaikat maut mendatanginya.

Musa menjawab keluhan sang pemuda, “Mengapa sekarang engkau tak menjual dirimu sendiri ke pasar? Selama ini kau terlatih untuk menghindari kerugian. Sekarang, coba tanggalkan lagi penderitaanmu. Alihkan pada orang lain. Lakukanlah seperti biasa.”

Si pemuda tak bisa berbuat apa-apa. Setelah selama ini ia memanfaatkan kemampuan mengenali bahasa binatang untuk meraup keuntungan, kerugian datang kepadanya pada saat yang tak disangka-sangka .

Mendekat pada Allah, bukanlah demi apa pun. Bukan demi keuntungan dunia, apalagi keuntungan Akhirat. Jika kita beristighfar, menyucikan diri di hadapan-Nya, dengan pola pikir si pemuda, niscaya segala yang kita usahakan akan sia-sia. Mungkin, selama berada di dunia, ketika ada sekian banyak kamuflase, kita masih bisa berkilah bahwa sah-sah saja mengambil keuntungan dari pertaubatan. Seseorang merasa lebih tenang, merasa lebih layak mendapatkan surga, dan seterusnya. Padahal, bukan ini yang dicari. Seseorang yang ingin istighfarnya benar-benar bermakna, harus menghentikan prinsip untung rugi dalam otaknya. Ibadah kepada Allah, seharusnya ditujukan tanpa pretensi apa pun.

Seperti yang dikatakan oleh Fudayl bin Iyadh, “Pada Hari Kiamat kelak, Allah bertitah kepada manusia, sesungguhnya kezuhudan mereka akan keduniawian adalah, demi memperoleh kebahagiaan bagi diri mereka sendiri. Keterputusan mereka dari interaksi dunia (menyepi) hanyalah bentuk pencarian demi kehormatan diri di mata Allah. Lebih jauh dari itu, seharusnya seseorang bertanya, sudahkah ia mengerjakan segala hal benar-benar karena-Nya? Apakah mereka mencintai seseorang karena-Nya dan membenci seseorang karena-Nya pula?”

Hargailah ketekunan dan pelayanan terhadap sesama yang muncul dari hati terdalammu,
Jika keduanya muncul tanpa perlu diperintah, tundukkanlah kepala dan bersyukurlah.
Karena, bila hal ini yang terjadi,
Allah tengah memperhatikanmu dengan cara istimewa.
Ia tengah menggenggam segala ‘persendian’ ruhmu
Previous
Next Post »