Dalam kata mutiara tentang istighfar ini, kita akan membedah alasan mengapa umat manusia menjadi tempatnya salah dan lupa. Seringkali, sesuai sifat dasar manusia, kita mencari biang keladi atas sebuah kesalahan. Semisal, gagal lolos dalam ujian masuk perguruan tinggi. Melakukan kesalahan fatal yang membuat malu di depan umum. Mengambil keputusan keliru dalam berdagang. Ditinggal oleh kekasih yang dicintai.
Bukannya mencari bagian apa yang keliru dalam diri, kadang kita lebih suka tidak mau menerima kenyataan. Mencari pembenaran atas kesalahan tersebut. Pembenaran yang membuat kita seakan-akan tak bersalah, suci. Pembenaran yang membuat kesalahan tadi seakan termaklumi. Maka, akan muncul kata 'mengapa?'.
Mengapa kita tak lolos tes masuk pekerjaan tertentu? Mungkin karena ada pelamar titipan. Mungkin karena tak memberikan uang sogokan kepada panitia penyelenggara. Mengapa kita harus berpisah dengan kekasih yang sudah lama dicintai? Mungkin karena dia memiliki selingkuhan. Mungkin karena dia memang tidak jodoh dengan kita. Dan mungkin, karena ada pilihan lebih baik yang menanti. Pembenaran-pembenaran semacam inilah yang sering muncul. Dan kita, tidak pernah merasa perlu mengkritisi diri sendiri. Lebih suka terbawa halusinasi bahwa yang diperbuat benar. Menghilangkan fakta sebenarnya.
Padahal, sebuah kesalahan, seperti sudah dibahas di muka, sangat normal terjadi. Dunia ini tak sempurna. Segalanya serba kekurangan. Sehebat apa pun kita, hendak menjadi superman sekalipun, suatu saat akan tiba pada saat tak bisa apa-apa. Melakukan kekeliruan fatal, entah disengaja atau tidak. Justru karena melakukan kesalahan itulah, kita mampu berkembang.
Andai seseorang senantiasa benar, selalu tepat dalam mengambil keputusan, tak pernah dipermalukan, ia akan dipenuhi rasa keberhasilan. Akan penuh dengan gejolak kemenangan. Ia bahkan cenderung merasa, keberhasilannya tersebut, dilahirkan oleh kecerdasan otaknya atau kejeliannya melihat peluang.
Orang yang selalu menang, cenderung lupa bahwa Allah, Tuhan Yang Maha Segalanya, adalah penggerak utama semua kejadian. Hendak secerdas apa pun seseorang, hendak sesempurna apa pun ia, tanpa intervensi langsung dari Tuhan, ia hanya akan gagal dan gagal. Dari sini, kita bisa berkata, kemenangan demi kemenangan, kebahagiaan demi kebahagiaan, hanya akan melahirkan ketamakan. Membuat kita menjauhi Tuhan. Dan hal ini, adalah kecelakaan yang lebih fatal daripada kesalahan apa pun yang pernah kita buat di muka bumi.
Bandingkanlah dengan orang yang banyak melakukan kesalahan. Sering dijatuhkan. Orang yang merasa seakan hidupnya dipenuhi kesialan. Ketika kecil, ia tak punya cukup uang membeli handphone sementara teman lain menertawai kemiskinannya. Ketika remaja, ia tak cukup menyerap pelajaran sehingga ketika rekan sekelas memperoleh nilai 8 atau 9 dengan mudah, orang ini mesti berjuang hanya untuk mendapatkan nilai 6. Ketika beranjak dewasa, ia kesulitan menemukan pekerjaan yang cocok. Padahal, teman-teman lain memperoleh kerja dengan demkian cepat. Ketika berumah tangga, keluarganya memang bahagia. Anak-anaknya penurut, tapi kondisi keuangan serba terbatas. Apa yang terjadi dengan orang dengan takdir seperti ini?
Jika ia bukan orang yang kuat, seluruh hidupnya akan dipenuhi dengan penyesalan. Mungkin ia akan berkunjung pada guru-guru tertentu untuk membuang sial. Mungkin pula ia akan menjadi penentang Tuhan. Namun, andai orang ini tegar, senantiasa memahami jalan takdir yang digariskan, dan membuktikan diri sebagai seorang muslim sejati, justru ujian demi ujian yang menerpa hidup, akan membuatnya sekokoh baja.
Orang ini, hendak ditimpa cobaan seberat apa pun, tak akan karam. Selalu mencintai Allah, dan tak pernah mengeluh berat. Semakin berat keadaan, semakin dekat pula dirinya kepada Allah. Karena, ia menyadari, tak ada lagi tempat bergantung kecuali diri-Nya.
Apa yang terjadi jika orang pertama, yang hidup tanpa kesalahan, ditanyai ‘Mengapa harus melakukan kesalahan?’. Ia akan memiliki seribu jawaban. Sekian analisis tentang keadaan lingkungannya. Mungkin saja ia mengoreksi diri, tapi kesalahan utama akan diletakkan pada orang lain.
Bertolak belakang dengan orang pertama, orang yang terbiasa melakukan kesalahan, ditimpa oleh sesuatu yang bagi orang lain disebut ‘kesialan’, tidak mempunyai jawaban untuk pertanyaan ini. Kesalahan mungkin bisa digunakan untuk perbaikan diri. Mungkin pula demi menebus dosa yang telah lampau. Mungkin demi kebahagiaan di masa yang akan datang. Namun, daripada terjebak dalam kebingungan berandai-andai, orang kedua ini lebih suka berdiam diri. Menjalani takdir tanpa banyak mengeluh.
Dan yang terutama, tak menimpakan kesalahan pada orang lain. Segala hal buruk yang menimpa dirinya, akan dianggap sebagai akibat kesalahannya sendiri. Ketika ia mengingat kesalahan masa lampau, ketika beristighfar, kala mengingat Allah, hatinya benar-benar bersih dan suci. Segala pertanyaan seputar ‘mengapa begini’ dan ‘mengapa begitu’, lenyap begitu saja.
Bagian ini akan disambung dengan bagian berikutnya, yaitu di manakah rasa malu seseorang tinggal, kala ia berbuat salah.
ConversionConversion EmoticonEmoticon