Dalam bagian kata mutiara tentang istighfar ini, kita akan membedah bahasan tentang di manakah rasa malu manusia itu tinggal kala ia berbuat salah. Seseorang yang bersalah, pasti merasa malu. Dalam hati terdalam, entah sebejat apa pun orang tersebut, pasti ia akan bisa membedakan mana yang baik dan buruk; mana yang benar dan mana yang keliru. Apalagi jika orang ini, seperti kita, masih terus berusaha berbenah dalam mematuhi perintah Allah. Maka, ketika ada perbuatan yang salah, ada perasaan risih, malu, takut. Masalahnya, rasa malu seperti apa yang kita miliki? Apakah rasa malu tersebut tumbuh karena ada faktor orang lain? Ataukah malu ini benar-benar lahir karena gagal memberikan yang terbaik kepada Allah?
Dikisahkan, suatu hari Nasruddin Hoja tengah salat. Tak seperti biasanya, satu kaki Nasruddin diangkat sedemikian rupa. Karuan saja jamaah di sekeliling 'orang aneh' ini bertanya-tanya. Mustahil Nasruddin tak tahu etika. Bukankah ini bukan pertama kalinya ia salat? Apalagi selama ini, di balik sikapnya yang janggal, Nasruddin dikenal sebagai pribadi yang rajin beribadah. Singkat cerita, begitu salat selesai, buru-buru seorang jamaah bertanya pada sang Hoja, “Nasruddin! Apa-apaan Anda ini? Mengapa mengangkat satu kaki saat salat?”
Dengan enteng, Nasrudin menjawab, “Sahabat, aku melakukannya bukan karena apa-apa. Waktu takbir tadi, aku baru sadar kalau kaki kiriku belum tersentuh air wudhu!”
Bisa jadi, kita menganggap tindakan Nasruddin Hoja ini sebagai tindakan orang bodoh. Bisa-bisanya ia mengangkat kaki kiri karena tidak terbasuh wudhu! Namun, andai kita mau berpikir lebih jauh, di sini Nasruddin Hoja sedang mengajarkan pentingnya rasa malu.
Mengangkat satu kaki saat salat. Bagi kebanyakan orang, tindakan ini jelas mencoreng citra diri. Akan menjadi aib. Barangkali tak akan dilupakan sampai beberapa tahun kemudian. Akan halnya Nasrudin, dengan segala kepolosannya, tak ambil pusing terhadap rasa malu tersebut. Ia lebih malu kepada Allah jika menghadap pada-Nya dengan keadaan tidak lengkap. Maka, 'disembunyikanlah' 'aib' berupa kaki kiri yang belum tersentuh air wuduh itu dari Allah. Lupakan dahulu tata krama yang semestinya dilakukan. Nasruddin Hoja tengah mencontohkan, lebih baik memiliki rasa malu kepada Allah atas kesalahan yang diperbuat. Daripada hanya malu kepada sesama makhluk, lantas melupakan rasa malu kepada-Nya. Agak janggal dengan sikap Nasruddin? Bandingkanlah dengan kehidupan sehari-hari.
Seringkali, kala berbuat keliru, kita lebih malu jika kekeliruan ini diketahui publik, daripada diketahui Allah. Kita lebih sering sibuk berpikir, apakah aib akan terbongkar, dan nama tercemar? Padahal, ada Allah yang senantiasa mengetahui perbuatan baik dan buruk.
Masih ingat dengan kisah seorang pemuda yang diminta untuk membunuh burung di tempat yang tak diketahui siapa pun? Disebutkan, seorang guru sufi dicurigai oleh murid-muridnya karena mengistimewakan seorang Fulan. Murid yang satu ini senantiasa memperoleh ilmu rahasia yang tidak diketahui murid lain. Padahal, kalau dilihat-lihat sang murid biasa-biasa saja; mengerjakan amalan yang sama dengan yang lain. Ada apakah gerangan?
Para murid pun menuntut keadilan. Mereka meminta sang guru memperlakukan mereka sederajat dengan Si Fulan. Demi mendengar permohonan ini, guru sufi tersebut mengumpulkan semua murid, termasuk Si Fulan. Ia memerintahkan kalimat sederhana, “Di depan kalian, ada beberapa ekor burung. Setiap murid silakan mengambil satu. Kemudian, bunuhlah burung tersebut di tempat yang tak terlihat siapa pun.”
Perintah yang terlalu mudah. Semua murid melakukan itu dalam sekejap. Ada yang bersembunyi di kamar; ada yang melakukannya di rerimbunan, dan di tempat-tempat tersembunyi lain. Kecuali Fulan. Ia pulang dengan tangan masih menggenggam burung tersebut.
Sang guru, melihat burung tadi masih hidup, berkata, “Fulan, apa yang kaulakukan? Sudah jelas perintahku untuk membunuh burung itu. Apakah engkau tak mendengar? Apakah engkau menyepelekan tugas?”
Fulan menjawab, “Guru, saya tidak bermaksud meremehkan siapa pun. Justru karena hal inilah saya belum mampu membunuh burung ini. Setiap kali saya menemukan tempat tersembunyi untuk menunaikan tugas, hati saya selalu berkata, Allah Maha Melihat!”
Murid-murid lain terkesiap mendengar jawaban Si Fulan. Sebesar itulah perbedaan mereka dengan murid kesayangan sang guru. Dan guru bijaksana ini, tak lain tak bukan adalah al Junayd al-Baghdadi, yang disebut sebagai 'otaknya' para sufi. Beliau mengajarkan pentingnya rasa malu terhadap kesalahan sendiri; lewat perbuatan, bukan perkataan manis.
Rasa malu atas kesalahan, mesti ditanamkan sedini mungkin. Bukan malu kepada lingkungan, tetapi malu kepada Allah. Bisa jadi, jika kita hanya mementingkan rasa malu kepada lingkungan, kita tengah melakukan kekeliruan besar.
Semisal, seseorang yang malu karena tidak ikut-ikutan dengan kebanyakan masyarakat yang melakukan bid'ah. Ia khawatir akan dimusuhi orang karena 'kekeliruannya'. Padahal, andai mengikuti kegiatan bid'ah tersebut, ia justru akan memperoleh aib yang lebih besar di mata Allah.
Selama kita masih disibukkan dengan pikiran, apa pendapat orang lain atas kesalahan kita, selama itu pula kita bagaikan hidup dalam kesesatan. Apa pun pendapat orang, jika tindakan kita benar di mata Allah, tak boleh kita ketakutan. Dan betapa pun baiknya pendapat orang atas perbuatan kita, jika perbuatan itu salah di mata Allah, selesailah sudah. Anggapan orang tidak akan menyelamatkan kita, justru bisa memerangkap kita dalam kesesatan.
Ada sebuah kisah lucu tentang orang yang senantiasa meributkan pandangan orang lain. Lebih takut dan malu karena aib yang dilihat orang, daripada malu kepada Alah atas kesalahan yang diperbuat.
Diceritakan, suatu ketika Nasruddin Hoja ikut salat berjamaah di masjid kampungnya; seperti biasa. Padahal, ia tengah sakit perut. Ketika ruku' tak sengaja ia buang angin dengan bunyi begitu keras. Hingga seisi masjid mendengarnya. Nasruddin yang malu, buru-buru kabur dari masjid. Tidak hanya itu, Nasruddin memutuskan untuk angkat kaki saja dari kampung. Ia ketakutan, orang-orang akan menertawainya sepanjang hari karena kentut di masjid.
Hari berlalu, bulan berganti, dan tahun bergerak. Tak terasa, sudah 15 tahun Nasruddin Hoja tak berkunjung ke kampung halamannya. Mengasingkan diri. Akhirnya, ia memberanikan diri pulang. Rindunya kepada masjid tak tertahankan. Maka, ia pun ikut salat jamaah zuhur di sana. Betapa leganya Nasruddin Hoja karena jamaah yang salat di sana, bukan jamaah yang dahulu lagi. Banyak orang baru yang tak dikenalnya lagi, terutama para pemuda. Barangkali, orang-orang seusianya sudah meninggal, atau pindah ke lain kampung.
Selepas salat, Nasruddin bersandar di dinding masjid. Menghilangkan penat sejenak. Ketika itulah, ia melihat seorang pemuda. Ingin beramah-tamah, Nasruddin kemudian menyapanya. Mengobrol sedikit-sedikit. Nasruddin bertanya, “Anak muda, sudah lama aku meninggalkan kampung ini dan belum pernah melihatmu. Kau ini lahir pada tahun berapa, ya?”
Anak muda tersebut, menjawab, “Wah, saya tidak tahu tahun berapa, Tuan. Yang jelas, kata ibu, saya lahir di tahun ketika Nasruddin Hoja kentut keras sekali di masjid ini.”
Nasruddin Hoja pun pura-pura bersiul .
Niat Nasruddin adalah, menutup aib. Menghindari kenyataan. Tak ingin dipermalukan orang. Takdir berbicara lain. Meskipun sudah tahunan berlalu, orang-orang kampung belum melupakan kejadian memalukan tersebut. Demikianlah kira-kira orang yang lebih berfokus untuk menghindari malu dari makhluk, bukan malu kepada Allah. Semestinya, Nasruddin bersikap kesatria. Tetap tinggal di kampung tersebut, dan lebih berfokus beribadah kepada Allah.
Seseorang kentut adalah hal lumrah. Akan halnya seseorang kentut, kemudian kabur dari kampung, justru hal ini yang tidak biasa.
Ingatlah, hendak kemana pun berlari, Allah senantiasa mengetahui apa yang dilakukan. Kesalahan, besar atau kecil, tak pernah lepas dari pandangan-Nya. Demikian pula kebaikan, meski sekecil biji sawi sekalipun. Yang bisa dilakukan seseorang bukanlah menutup aib dari lingkungan. Melainkan, menanamkan rasa malu dan bersalah kepada-Nya setiap berbuat keliru.
Insya Allah, ketika seseorang berserah diri kepada Allah, maka Dia-lah yang akan menjadi penjaga aibnya. Malu kepada lingkungan memang penting, tapi bukan segalanya. Malu kepada Allah, meski seakan tidak penting, justru menjadi sikap terpenting bagi orang-orang yang ingin diampuni kesalahannya.
Bagian ini akan berlanjut dengan bagian 'cara bersikap kesatria atas perbuatan salah'.
ConversionConversion EmoticonEmoticon