Sifat-Sifat Yang Dihapus Dengan Istighfar: Bagian 1 Marah


Sifat-Sifat Yang Dihapus Dengan Istighfar: Bagian 1 Marah

Dalam bagian sifat-sifat yang dihapus dengan istighfar ini, kita akan membahas satu sifat terlebih dahulu, yaitu mudah marah. Sebelumnya, dalam bagian kata mtiara tentang istighfar, kita sudah melihat bahwa seseorang sejatinya 'wajar' melakukan kesalahan. Ia bukan aib yang mesti disembunyikan. Sebaliknya, kala kesalahan terjadi, yang dibutuhkan adalah ucapan istighfar dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Istighfar ini seharusnya dilakukan setelah seseorang memahami bahwa (1) kesalahan memang manusiawi, (2) lebih mulia untuk malu karena berbuat salah, daripada malu karena ketahuan salah, serta (3) bersikap kesatria ketika kesalahan tersebut terjadi, bukan malah melarikan diri.

Masalahnya, kesalahan seperti apa yang harus digerus dengan istighfar? Apakah hanya seseorang yang memiliki masa lalu yang demikian kelam, yang harus beristighfar? Apakah seseorang dengan dosa menggunung --yang seakan-akan tak tertebus--- menjadi satu-satunya pihak yang mesti meminta ampunan dari Allah? Ataukah, ada sifat-sifat dasar manusia yang harus digerus dengan istighfar? Sebanyak apa pun seseorang beristighfar, jika sifat-sifat ini masih melekat padanya, bisa dikatakan istighfarnya terbuang percuma. Seserius apa pun niat pertaubatan yang digaungkannya, kesalahan masa lalu masih akan terulang jika sifat-sifat ini belum hilang dari jiwa. Yaitu, (1) mudah marah, (2) mudah putus asa, (3) mudah bereuforia, dan (4) mudah berpikir untung dan rugi.

Marah Menambah Kesialan
Ada seorang murid yang melihat karamah guru sufinya secara tidak sengaja. Sang guru mampu menjatuhkan lima orang kuat sekaligus yang hendak berbuat jahat kepadanya. Murid tersebut, takjub, lantas memohon kepada gurunya untuk mengajarkan kemampuan tadi kepadanya. Sesungguhnya, sang guru enggan karena mengetahui muridnya belum siap. Maka, guru tersebut berkata, “Bacalah kalimat astaghfirullahaladzimi hingga 10000 kali.”

Demi karamah tadi, si murid ngotot menjalankan perintah gurunya. Ia merenung seharian di tempat sepi, sambil mengucap kalimat istighfar dengan khusyuk. Sayangnya, ketika itu, temannya yang tak tahu apa-apa, menggoda murid tadi, “Apa yang kau lakukan di tempat ini? Ayolah bantu aku. Antarkan aku ke kampung A untuk berdakwah.”

Si murid, merasa diganggu, membentak temannya. Marah-marah. Ia berkata, semestinya sebagai sesama murid, sang teman mendukung langkah si murid yang hendak meningkatkan kemampuan. Si teman, tak puas dengan sikap murid tersebut, mengadu kepada guru. Singkat cerita, guru sufi pun menghukum murid tadi. “Semua bacaanmu tadi, gugur. Engkau harus memulai lagi dari awal; dan menambah ucapan hingga dua kali lipat.”

Di depan sang guru, murid ini tampak menerima saja diperlakukan begitu. Padahal, di balik punggung guru tersebut, murid ini kembali marah-marah kepada temannya. Ia berulang kali menyalahkan sang teman, karena tidak hanya mengganggu. Tetapi juga membuatnya harus menjalani tugas dua kali lebih banyak. Masalah yang dihadapi si murid yang haus karamah ini semakin banyak.

Pertama, ia tak bisa menghentikan keinginan menguasai karamah; padahal kemampuan ini sejatinya akan datang sendiri ketika seseorang sudah benar-benar mencintai Allah. Artinya, sampai kapan pun jika ia tak mengubah niat, karamah itu tak akan didapatkan.

Kedua, tujuan guru sufi memberikan tugas mengucapkan lafal istighfar adalah, agar sang murid benar-benar memohon ampunan kepada Allah secara lahir dan batin. Kehadiran sang teman yang 'mengganggu' adalah batu ujian, seberapa besar kesadaran sang murid untuk mengoreksi semua kesalahannya. Ternyata, murid ini gagal. Ia hanya mengetahui sisi luar tugas, tanpa memahami mengapa harus mengerjakan tugas tersebut. Bahkan, kemarahannya kepada sang teman, menghancurkan segalanya. Karamah tidak didapatkan, tugas dikerjakan sia-sia, dan orang ini seperti kebanyakan umat beragama: hanya melafalkan ucapan tanpa mempraktikkannya.

Kisah murid sufi ini, adalah gambaran sederhana tentang betapa berbahayanya memelihara sifat mudah marah ketika seseorang berniat memohon ampunan Allah. Orang yang gampang terpantik emosinya oleh sesuatu yang buruk, cenderung orang yang lalai bertanggungjawab. Ia lebih mudah bereaksi daripada memikirkan mengapa sesuatu terjadi. Andai sang murid menyadari, bahwa gurunya hanya ingin dirinya lebih banyak mengoreksi kesalahan, maka ceritanya akan sama sekali lain. Andai sang murid mampu mengontrol kemarahan, ia tak akan terlecut hanya karena hal sepele. Mudah saja kita menemukan contoh-contoh semacam ini dalam kehidupan sehari-hari.

Seseorang yang bersalah, jika amarahnya yang dikedepankan, tak akan pernah merasa salah. Ia mungkin dihukum Tuhan dengan dijatuhkan. Tapi, menghadapi hukuman tersebut, ia sudah memiliki tempat untuk ditimpai kesalahan. Berapa banyak orang yang diberi Allah kesempatan beristighfar? Ketika mereka mengejar harta duniawi, mereka mendapati diri gagal menggapai hal-hal tersebut. Bukannya meminta maaf kepada Allah, orang-orang ini malah menjadi buta; menuding sekian hal yang mungkin disalahkan; dan tetap berburu kenikmatan duniawi. Ya, seseorang yang mudah marah, tak akan pernah sadar, bahwa ada demikian banyak kesempatan untuk mendekatkan diri kepada-Nya; menyucikan diri kembali, bukan hanya sekadar mengucapkan istighfar tanpa pemaknaan sekalipun.

Berikutnya kita akan membahas sifat kedua yang dihapus oleh istighfar, yaitu putus asa.
Previous
Next Post »