Dalam kisah para nabi kali ini, kita akan membahas kisah turunnya Nabi Adam dan Siti Hawa ke dunia. Dalam hal ini, akan diterangkan lebih dahulu, kisah Nabi Adam dan Siti Hawa dalam Perjanjian Lama, kemudian diikuti dengan kisah Adam dan Hawa dalam Alquran. Tujuan pemisahan kisah ini untuk menjelaskan, detail-detail apa saja yang ditambahkan dalam Alquran, dan apa maknanya dalam pengembangan tingkat spiritual umat beragama.
Hal yang paling sering dikutip dari kisah Nabi Adam a.s. adalah turunnya Adam (dan Hawa) ke dunia. Adam dan Hawa turun setelah mereka memakan buah khuldi (dalam tradisi Yahudi dan Nasrani disebut buah pengetahuan baik dan buruk) yang terletak di tengah surga dan telah dilarang Allah swt. untuk dimakan. Kadang, sebagai umat Islam, kita terjebak dalam perspektif yang ditawarkan oleh umat-umat terdahulu bahwa turunnya Adam dan Hawa adalah sebuah kesalahan.
Kita mungkin berpikir, seandainya Adam dan Hawa tidak memakan buah khuldi, kita tidak akan pernah berada di dunia. Kita, anak cucu Adam, akan berada di surga, meminum anggur yang tidak memabukkan, menyaksikan sungai yang di dalamnya mengalir susu, dan menyantap makanan yang melimpah ruah. Pendapat bahwa turunnya Adam dan Hawa adalah sebuah kesalahan ternyata tidak sepenuhnya benar. Tanpa bermaksud untuk menyalahkan penafsiran ulama-ulama sebelumnya, dapat kita katakan bahwa turunnya Adam adalah sebuah keharusan bagi Adam (dan Hawa) untuk membuktikan kualitas mereka yang berada di atas makhluk ciptaan Allah lainnya. Akan tetapi, sebelum lebih jauh, ada baiknya kita mempelajari konsep Adam dan Hawa dari agama terdahulu kemudian menunjukkan perbedaannya dengan konsep Adam dan Hawa dalam Islam. Dari sinilah kita dapat melihat kekhususan Adam dan Hawa, terlebih kekhususan istighfar Adam yang menjadi topik utama dalam bab ini.
Adam dan Hawa dalam Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama, Adam dan Hawa dibentuk secara superior dan inferior. Dalam hal ini, Hawalah yang menjadi sosok inferior. Hawa menjadi sosok bersalah dalam kasus jatuhnya Adam.
Dalam Perjanjian Lama, manusia tercipta dalam urutan paling akhir dalam penciptaan alam semesta yang memakan waktu enam hari. Pada hari pertama, Allah menciptakan langit dan bumi. Saat itu, bumi belum berbentuk dan kosong. Gelap gulita memenuhi sekalian alam. Saat itulah Allah menciptakan cahaya yang membedakan yang terang dan yang gelap. Yang perlu dicatat, dalam hari pertama ini, dunia digambarkan sebagai segala sesuatu yang berupa air. Sama sekali belum ada daratan.
Pada hari kedua, Allah menciptakan cakrawala untuk memisahkan air. Selanjutnya, cakrawala tersebut diubah namanya menjadi langit. Sejak saat itulah dibedakan antara waktu pagi dan petang. Dalam konsep ini terlihat bahwa dalam Perjanjian Lama, konsep waktu (pagi dan petang) baru terbentuk setelah bumi terpisah dari langit.
Selanjutnya, bumi yang basah seluruhnya itu oleh Allah disatukan dalam sebuah tempat sehingga muncul daratan, bagian yang tidak memiliki air. Di daratan, Allah memerintahkan tanah untukmenumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada tumbuh-tumbuhan di bumi. Inilah hari ketiga, hari ketika tumbuhan menguasai bumi.
Pada hari keempat, Tuhan baru menciptakan matahari dan bulan. Matahari, benda penerang yang lebih besar, diperintahkan untuk menguasai siang. Sementara itu, bulan, benda penerang yang lebih kecil, menguasai malam. Allah juga menjadikan bintang-bintang.
Pada hari kelima, muncullah binatang dan burung. Yang menarik, dalam Kejadian, 1:21, digagas bahwa Allah menciptakan binatang laut yang besar, kemudian reptil (binatang yang berkeriapan di air) dan semua burung.
Setelah semua benda bumi lengkap, barulah Allah memunculkan manusia yang menurut rupa dan gambar Allah (Kejadian, 1:26). Tujuannya, mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, atas ternak dan atas seluruh bumi, dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.
Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Posisinya juga berada di bawah Adam (Kejadian 2:22). Bahkan, dalam penamaan perempuan (Hawa), Adam (laki-laki) melakukan intervensi dengan berkata, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki” (Kejadian 2:23).
Adam dan Hawa ditempatkan di sebuah tempat khusus yang sangat subur bernama Taman Eden. Taman ini dialiri empat sungai berbeda. Ketika Adam dan Hawa tinggal di Taman Eden, muncullah Ular binatang yang paling cerdik. Ular itu menemui Hawa dan memancing pertanyaan, bahwa semua buah di Taman Eden bisakah dimakan oleh Hawa? Hawa menjawab bahwa Allah melarangnya dan Adam memakan sebuah buah yang ada di tengah taman, agar mereka berdua tidak mati. Akan tetapi, Ular berkata bahwa Allah sengaja melarang Hawa memakan buah itu agar Adam dan Hawa tidak seperti Allah, mengetahui yang baik dan yang jahat (Kejadian, 3:5).
Adam dan Hawa memakan buah pengetahuan baik dan buruk. Oleh karena itu, mereka sadar bahwa mereka telanjang. Mereka segera menutupi aurat dengan daun pohon ara. Saat itulah Tuhan datang. Adam dan Hawa bersembunyi. Tuhan mempertanyakan di mana posisi Adam. Adam menjawab bahwa ia malu dilihat Tuhan dalam keadaan telanjang. Tuhan mngetahui bahwa Adam dan Hawa telah melanggar perintahnya untuk tidak memakan buah pengetahuan baik dan buruk. Adam berkilah bahwa yang menyebabkan tindakannya adalah Hawa dengan berkata, “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.” (Kejadian, 3:12).
Allah berang dan mengutuk ular sehingga ular harus berjalan dengan perutnya seumur hidupnya (Kejadian, 3:14). Allah menghukum Hawa dengan memberikannya kemampuan mengandung. Firman-Nya kepada Hawa, “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.”. Untuk Adam, Allah berfirman, “dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.”
Allah kemudian berkata, “Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat; maka sekarang jangan sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula dari buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya.” (Kejadian, 3:23). Di sini terlihat bahwa buah pengetahuan baik dan buruk juga bisa menyebabkan keabadian. Allah tidak mau manusia hidup abadi. Oleh karena itu Allah mengusir Adam dan Hawa.
Dalam agama terdahulu, Adam dan Hawa adalah sosok bersalah yang melanggar ketentuan Allah. Bahkan, dosa Adam dan Hawa disebut dosa asal yang dipikul manusia sepanjang hidupnya. Selain itu, dalam kisah di atas, tampak bahwa Hawa adalah biang keladi penyebab jatuhnya Adam. Adam juga tidak bersikap ksatria dengan berdalih bahwa Hawalah penyebab malapetaka, walaupun seharusnya sebagai laki-laki ia bisa saja menolak keinginan perempuan, Hawa, yang sepanjang naskah Perjanjian Lama dianggap inferior dari dirinya.
Lalu, bagaimana dengan Islam? Apakah Adam lebih superior atas Hawa? Meskipun dalam Islam laki-laki juga menjadi pemimpin perempuan, dalam konsep Adam dan Hawa, tidak ada istilah siapa yang terjebak dan siapa yang menjebak. Bahkan Adam dan Hawa disatukan dalam satu konsep manusia yang harus menjalani takdir turun ke bumi. Jika dalam Perjanjian Lama Adam dan Hawa dijatuhkan, dalam Alquran Adam dan Hawa diturunkan sebagai rahmat bagi bumi. Untuk lebih jelasnya, kita akan melihat rinciannya sebagai berikut.
Adam dan Hawa dalam Alquran
Kisah Adam dan Hawa dalam Alquran tersebar dalam enam surat, Q.S. Al-Baqarah (2):30—38, Q.S. Al-A’raaf (7):11—25, Q.S. Al-Hijr (15):28-44, Q.S. Al-Israa’ (17):61—65, Q.S. Thaahaa (20):115—123, dan Q.S. Shaad (38):71—85. Tujuan penyebaran kisah Adam dan Hawa ini adalah ajakan bagi muslim untuk membaca kisah-kisah tersebut secara lebih terperinci dan menyeluruh. Misalnya, kisah peniupan Ruh Allah ke dalam Adam pada Q.S. 15:29 adalah penjelasan penting tentang alasan sesungguhnya mengapa malaikat diminta Allah untuk bersujud pada Adam dalam Q.S. 2:34 dan Q.S. 7:11.
Secara umum, kisah Adam dan Hawa dimulai oleh penciptaan Adam oleh Allah. Penciptaan ini dikritik oleh malaikat dengan berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” (Q.S. 2:30).
Oleh beberapa kalangan penggemar teori evolusi, ucapan malaikat ini digunakan sebagai pembuktian bahwa sebelum Adam, telah terlahir manusia-manusia purba. Mana mungkin malaikat mengetahui bahwa Adam akan berbuat kerusakan jika sebelumnya tidak ada makhluk serupa (manusia dalam tingkat lebih rendah) yang diciptakan Allah dan makhluk tersebut merusak bumi?
Akan tetapi, mungkin penggemar teori evolusi terlalu berlebihan karena malaikat di sini kemungkinan bertanya-tanya tentang pemberian kemampuan Adam untuk menginginkan sesuatu, berkehendak, atau keadaan Adam yang tidak stabil seperti malaikat. Jika Adam berkehendak, kemungkinan Adam akan memiliki kehendak yang bertentangan dengan Allah sehingga Adam bisa jadi justru menciptakan kerusakan di bumi. Kehendak inilah yang menyebabkan adanya hukum pahala dan dosa, kebaikan dan keburukan. Manusia yang berkehendak baik akan mendekatkan dirinya kepada Allah. Sebaliknya, manusia yang berkehendak buruk akan tergelincir, atau pada akhirnya masuk ke neraka.
Yang menarik, kita bisa melihat bahwa sejak awal, Adam sudah diciptakan sebagai sosok ambigu. Bahkan, malaikat yang tercipta dari cahaya meragukan kedudukan Adam. Bagaimana mungkin Adam yang tercitra hanya tercipta dari tanah, bisa mengalahkan mereka? Malaikat dan Iblis saat itu lupa bahwa Allah telah meniupkan ruh-Nya kepada Adam, seperti yang difirmankan Allah dalam Q.S. 15:29, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”.
Untuk menyadarkan malaikat tentang kedudukan khusus Adam, Allah meminta malaikat menyebut nama-nama benda dengan perintah tegas, “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar mahkluk (entitas) yang benar!” (Q.S. 2:31). Malaikat tentu saja tidak mengetahui nama-nama benda tersebut. Mereka berkata, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. 2:32).
Setelah Allah menunjukkan ketidakmampuan malaikat, giliran Adam tampil. Tanpa perlu berkata melecehkan seperti yang dilakukan malaikat kepadanya (meragukan Adam menjadi khalifah bumi), Adam menyebutkan nama-nama benda yang tidak diketahui malaikat. Di sinilah para malaikat tertunduk malu mengakui kesalahan mereka meremehkan Adam. Melihat hal tersebut, Allah berfirman, “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (Q.S. 2:33).
Mengetahui bahwa Adam memang memiliki kualitas yang lebih tinggi, malaikat tidak bisa berbuat apa-apa. Oleh karena itu, ketika datang perintah Allah agar mereka bersujud kepada Adam (asjudu li adam), hampir semua malaikat bersujud, kecuali iblis seperti yang dicantumkan dalam Q.S. 2:34, “maka sujudlah mereka kecuali Iblis. ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan kafir.”. Beberapa tafsir menyebutkan bahwa iblis adalah malaikat yang bernama Azazil. Ketakaburan Azazil yang tidak mau bersujud kepada Adam inilah yang membuatnya terlempar dari kualitas para malaikat yang selalu patuh kepada Allah. Dengan pembangkangan ini, Azazil diganti namanya sebagai Iblis, makhluk yang merasa bisa berdiri sendiri terlepas dari kepatuhan terhadap perintah Allah.
Lalu, apa alasan bahwa Iblis tidak mau bersujud kepada Adam? Tak lain tak bukan dari struktur luar penciptaan Adam, saripati tanah, seperti yang difirmankan Allah dalam Q.S. 23:12, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.”. Oleh karena itu, Iblis memrotes kepada Tuhan, “saya lebih baik daripada Adam! Saya tercipta dari api, yang kedudukannya lebih tinggi daripada tanah!”. Iblis sangat tidak mau dibandingkan dengan Adam. Bahkan Iblis berani berkata kepada Allah, “Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? ….” (Q.S. 17:62). Kita perlu memperhatikan konteks ucapan Iblis ini.
Pertama, Iblis tidak mau bersujud kepada Adam padahal Allah sudah menunjukkan kemampuan Adam untuk menyebut nama-nama yang tidak dikenal siapa pun makhluk Allah selain manusia. Artinya, Iblis tidak mau mengakui kehebatan Adam yang sudah jelas-jelas nyata. Bagaimana pun, ketika keakuan seseorang meningkat, ia akan memroteksi diri dari segala kelebihan orang lain. Sebagus apa pun Adam, di mata Iblis, Adam tetap saja cela. Di sini kita bisa memetik pelajaran agar terlepas dari perangkap berpikir seperti Iblis. Pemahaman kita tentang Iblis tidak hanya tentang makhluk yang membangkang, tetapi semua perilaku yang meninggikan keakuan dan menihilkan kepekaan terhadap orang lain.
Kedua, sementara orang menafsirkan bahwa ketidakmauan Iblis bersujud kepada Adam adalah karena keinginan Iblis untuk menyucikan Allah. Menurut Iblis, Allah tidak bisa dipersekutukan. Bagi Iblis yang terlalu cinta kepada Allah, sujud kepada Adam adalah upaya menyekutukan Allah. Tafsir semacam ini dipelopori oleh seorang sufi bernama Husayn bin Mansur, atau lebih kita kenal sebagai Al-Hallaj dalam kitab Tawasin.
Akan tetapi, tafsir semacam ini perlu dikoreksi. Pertama, sebagai orang awam, dan bukan sufi, jika kita menerima ucapan sufi secara harafiah, kemungkinan besar kita akan tersesat. Bukan karena sufi adalah orang-orang sesat, melainkan karena seorang sufi biasanya menggunakan sebuah kalimat untuk menjelaskan dua, tiga, atau ratusan hal sekaligus. Jadi, orang yang menyangka bahwa Al-Hallaj menyatakan tindakan Iblis benar, orang tersebut terkategorikan sesat.
Bagaimana pun, konteks tempat pembangkangan Iblis terhadap perintah sujud kepada Adam adalah di alam ruh. Sementara itu, kita mengetahui bahwa perintah Allah di alam ruh mutlak adanya. Kita harus melihat Q.S. 7:54, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Tuhan.”. Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa Tuhan memiliki dua hak yang berkaitan dengan dunia ruhani dan dunia jasmani. Di dunia ruhani yang tidak mengenal batasan apa pun, Tuhan memerintah. Di dunia jasmani yang terbatasi ruang dan waktu, Tuhan menciptakan. Jadi, siapa pun yang menolak perintah Tuhan dalam alam ruh dapat dikategorikan melakukan makar, melanggar ketentuan. Sementara itu, siapa pun yang menolak hakikatnya sebagai ciptaan Tuhan di alam jasmani, alam kita saat ini, juga melakukan tindakan makar karena sama-sama melanggar ketetapan Allah.
Sekarang, kita memperhatikan tindakan apa yang dilakukan oleh Allah terhadap Iblis yang membangkang. Allah langsung memerintahkan Iblis untuk turun dari surga. Tidak hanya itu, Allah juga mengelompokkan Iblis sebagai makhluk (atau entitas) yang hina (ash-shooghirin). Hal ini termaktub dalam Q.S. 7:13, “Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.”.” Ucapan Allah tentang Iblis sebagai makhluk hina ini kelak berbeda dengan ucapan Allah kepada manusia walaupun baik Iblis maupun Adam sama-sama diperintahkan turun dengan kata “uhbitu”.
Iblis, yang rasa keakuannya sangat tinggi, tidak terima disebut sebagai makhluk hina. Bagi Iblis, hinaan Allah tersebut tidak terlepas dari adanya Adam. Seandainya tidak ada Adam, makhluk kesayangan Allah, yang mendapat anugerah ditiupi ruh-Nya, Iblis tidak akan membangkang. Oleh karena itu, Iblis meminta agar Allah memberikan waktu baginya untuk menggoda anak Adam. Bahkan, karena Allah menghukum Iblis agar tersesat, Iblis tidak mau melepaskan Adam begitu saja. Adam yang tidak tahu apa-apa, justru diancam Iblis agar disesatkan dari jalan lurus mengenal Tuhan. Hal ini tercantum dalam Q.S. 7:16--17, ““Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.” (16) “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (17).
Di sinilah kita bisa melihat bahwa Adam secara tidak sengaja telah menciptakan prahara besar bagi dirinya sendiri dan anak-cucunya, bahkan sebelum Adam melakukan kesalahan. Hanya karena bentuk luarnya yang terlihat rapuh (berada di bawah kelas makhluk-makhluk yang disuruh bersujud kepadanya), ia sudah menyebabkan malaikat (dan Azazil) salah sangka. Hanya karena kelebihan Adam, memiliki sedikit saja kekuatan Allah, mengetahui nama-nama benda di alam semesta, ia sudah menyebabkan Iblis mengancam akan menghancurkan anak-cucunya. Akan tetapi, risiko inilah yang harus diambil oleh Adam sebagai makhluk (sekaligus entitas) paling mulia. Kita boleh saja mengambil pepatah lama, “semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin yang meniupinya”. Yang patut kita beri garis bawah, Adam sama sekali tidak melakukan kesalahan. Ia hanya dipandang secara salah oleh makhluk-makhluk lain.
Yang lebih penting, kita bisa melihat bahwa Iblis sudah mengetahui bahwa Adam akan diturunkan ke bumi. Misalnya, dalam Q.S. 17:62 Iblis berkata, “ … Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan kusesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil.”.
Hari Kiamat (al-qiyamah) hanya mungkin terjadi ketika Adam dan keturunannya diturunkan ke bumi. Iblis bahkan mengetahui bahwa kelak Adam akan tergelincir olehnya dari surga. Tentu saja hal ini bukan berarti Iblis adalah makhluk istimewa. Iblis, seperti halnya malaikat, tidak tahu apa-apa tentang masa depan kecuali sudah diberitahu oleh Allah. Kalau pun Iblis dan malaikat mengetahui tentang hal gaib sekalipun (sesuai dengan keadaan mereka yang ada di dalam alam ruh), pengetahuan mereka tentang hal gaib tersebut sangat terbatas.
Kita bisa membandingkan keadaan Iblis dan malaikat ini dalam Q.S. 6:59, “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”.
Hari Kiamat sendiri adalah tanda pembukaan bumi ke dalam fase yang lebih baru, fase akhirat, seperti yang disebutkan dalam Q.S. 14:48, “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, ….”.
Bahkan, lebih jauh lagi, pengetahuan tentang datangnya hari kiamat juga berasal dari Allah, seperti dalam Q.S. 7:184, “ … Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tiada siapa pun (suatu entitas pun) yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia”. Dengan demikian, Iblis hanya mengetahui bahwa Adam akan tergelincir dari surga, dan sebagai gantinya, akan tinggal di bumi sebagai khalifah. Pengetahuan Iblis tentang hal itu juga tak terlepas bahwa Allah sudah memberi “bocoran” kepadanya terlebih dahulu. Kita perlu memperhatikan bahwa sebelum Allah memerintahkan malaikat (dan Azazil) bersujud kepada Adam, Allah sudah memberitahukan kepada mereka terlebih dahulu bahwa Adam akan menjadi khalifah di bumi, seperti dalam Q.S. 2:30, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” ….”.
Dengan demikian, peristiwa turunnya Adam ke dunia bukanlah sebuah kesalahan seperti yang tercantum dalam kitab terdahulu. Turunnya Adam adalah sebuah keharusan mutlak karena Adam adalah penjaga dan pemelihara bumi. Di sinilah kita melihat kesiapan Adam dalam menghadapi terpaan badai cobaan. Kita sudah melihat bahwa Adam sudah dituduh bertubi-tubi secara berurutan oleh malaikat dan Iblis. Akan tetapi, bagi Allah, hal tersebut belum cukup membuktikan kualitas Adam. Adam, makhluk paling sempurna, makhluk yang paling dekat dengan Tuhan, harus diuji lebih hebat lagi untuk membuktikan kelayakannya sebagai entitas (makhluk) yang ditiupi Ruh-Nya. Ujian tersebut adalah turunnya Adam dari surga, berpisahnya Adam dari Allah, satu-satunya (entitas) yang lebih tinggi daripada Adam.
Selama berada di surga, Adam dan Hawa boleh memakan apa saja dan makan di mana pun. Akan tetapi, Adam dan Hawa dilarang mendekati sebuah pohon (asy-syajarotun) karena pohon tersebut dapat membuat Adam dan Hawa tergelincir menjadi orang-orang zalim. Hal ini dijelaskan dalam Q.S. 2:35, “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim”. Dalam Q.S. 7:19, diterangkan pula pohon yang sama tanpa Allah menyebutkan jenis pohon tersebut (hanya disebutkan asy-syajarotun), “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim.”
Penamaan buah yang dimakan Adam adalah buah khuldi, adalah penamaan yang dilakukan oleh Iblis. Dalam Q.S. 20:120, setan berbisik kepada Adam bahwa ia akan ditunjukkan pada sebuah pohon yang disebut syetan syajarotul-khuldi atau secara harafiah disebut pohon kekekalan. Saat itu Iblis berkata, “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?”. Jadi, dalam hal ini, kita perlu memahami bahwa Allah tidak pernah menyebut pohon atau buah khuldi. Setanlah yang menyebutkan demikian. Lalu, apa tujuan setan menyebutkan buah khuldi? Jawabannya adalah demi merayu Adam.
Menurut Iblis, Adam adalah sosok yang berpengetahuan tinggi (pengetahuan malaikat dan Iblis kalah dari Adam sehingga mereka diminta bersujud kepada Adam sebagai bukti penghormatan terhadap makhluk yang pengetahuannya lebih tinggi). Oleh karena itu, jika rayuan Iblis hanyalah biasa-biasa saja, Adam tidak akan tergoda. Satu-satunya peluang Iblis menggoda adalah dengan menunjukkan kemampuan Adam menyaingi “hal” yang lebih tinggi daripada Adam. Dalam tataran ini, tidak ada yang lebih tinggi daripada Adam selain Allah. Wajarlah jika Iblis membidik hal yang tidak dimiliki Adam, tetapi dimiliki Allah, keabadian atau kekekalan.
Iblis mengetahui bahwa Adam sudah dilarang oleh Allah untuk mendekati salah satu pohon di tengah taman surga. Akan tetapi, Allah tidak memberi petunjuk atau alasan kepada Adam, selain peringatan, jika Adam memakan buah dari pohon tersebut, Adam akan tergelincir menjadi orang zalim. Iblis mengetahui adanya rasa penasaran dalam hati Adam. Oleh karena itu, Iblis membisikkan informasi tentang buah khuldi yang merupakan “buah keabadian” versi Iblis tersebut. Bahkan, Iblis mengatakan bahwa Tuhan sengaja berbohong kepada Adam dan Hawa untuk tidak menjelaskan tujuan sebenarnya Allah melarang mereka memakan buah khuldi. Dalam Q.S. 7:20, Iblis berkata, “Tidaklah Tuhanmu melarangmu mendekati pohon ini melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga).”
Adam dan Hawa terpancing atas informasi tadi. Bagi mereka, yang derajatnya pengetahuannya paling tinggi di antara makhluk, jika ada yang lebih tinggi lagi daripada mereka, pasti Adam dan Hawa berusaha mencapainya. Bukankah keinginan ini yang menjadi fitrah sekaligus fitnah bagi manusia? Malaikat yang tercipta dari cahaya, tidak memiliki keinginan untuk bergerak menuju keadaan yang lebih tinggi. Cahaya merepresentasikan kestabilan bentuk. Akan tetapi, Adam yang tercipta dari saripati tanah dan ruh Allah, memiliki kedudukan yang tidak stabil. Ia terus saja bergerak hingga mencapai kedudukan tertentu. Ia sangat mobile. Fitrah sekaligus fitnah inilah yang membuat keturunan Adam memiliki dua tempat berpulang yang berbeda.
Seperti yang kita ketahui, malaikat memiliki kedudukan yang sudah ditetapkan Allah. Apa pun tindakan malaikat, ia tidak memiliki kehendak, seperti dalam Q.S. 37:164, “Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu.” Sementara itu, manusia (dan jin) tidak demikian. Kedudukan mereka baru ditemukan pasca-hari kiamat. Kedudukan itu adalah surga dan neraka. Dalam surga, manusia akan bahagia dan dalam neraka manusia akan menderita (celaka) seperti dalam Q.S. 11:105, “Kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.”.
Karena memiliki kehendak inilah Adam dan Hawa mungkin melakukan tindakan yang berada di luar perintah Allah meski hal tersebut berarti melanggar ketentuan alam ruh. Kehendak inilah yang “seharusnya” tidak dimiliki Iblis karena saat itu ia adalah malaikat (Azazil) yang bertransformasi ke dalam bentuk yang negatif (Iblis). Di sinilah kita bisa melihat perbedaan Adam dan Iblis. Adam mungkin saja salah dan ia memang berbuat salah (tanpa bermaksud membela kesalahan tersebut) sedangkan Iblis tidak mungkin salah, tetapi ia berbuat salah, sehingga ia dianggap hina.
Kembali pada upaya Adam dan Hawa memakan buah “khuldi”, tindakan mereka tersebut menyebabkan aurat keduanya tampak. Artinya, bukan berarti Adam dan Hawa mengetahui bahwa diri mereka telanjang, tetapi Adam dan Hawa memahami hakikat keabadian dan kesementaraan. Dengan menyadari bahwa mereka hanyalah entitas sementara, mereka malu dibandingkan keadaan Tuhan yang abadi. Adam dan Hawa yang sudah memahami hakikat keabadian dan kesementaraan dengan memakan buah tersebut segera menutupi aurat-aurat tersebut (kesadaran akan kesementaraan) dengan daun-daun surga (hal-hal yang lekat dengan keabadian). Saat itulah, seperti yang dijelaskan dalam Q.S. 7:22, Allah menyeru mereka, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Kukatakan kepadamu, sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”
Apa yang bisa kita petik dari seruan Allah di atas? Sebelum peristiwa Adam mengunyah buah “khuldi”, Allah sudah memberi peringatan tentang kemungkinan Iblis menggelincirkan Adam. Bahkan, dalam Q.S. 20:117, ketika Adam ditempatkan oleh Allah di surga, Allah sudah berpesan bahwa Iblis adalah musuh bagi Adam. Allah yang menerima sumpah Iblis untuk menyesatkan Adam, menginformasikan pula tentang takdir yang akan datang secara implisit. Allah berkata pada Adam, “jangan sekali-sekali Iblis mengeluarkan kau (dan Hawa) dari surga”. Lihatlah Q.S. 20:117, “Maka Kami berkata, “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.”.
Kita bisa menyimpulkan, meskipun Allah sudah secara implisit menyatakan bahwa Iblis akan mengeluarkan Adam dari surga, Adam tidak mengetahui rencana Iblis dengan buah “khuldi”. Demikianlah pengetahuan manusia (dan makhluk lain) di depan Allah. Meskipun Allah secara implisit sudah menyatakan A, kadang kita tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu) tentang A. Di sini, kita bisa melihat bahwa ketidaktahuan Adam terhadap rencana Iblis meski sudah diberitahu Allah ini sebagai “kesalahan” atau “kelalaian” pertama Adam. Kemudian, tindakan Adam memakan buah “khuldi” adalah kesalahan kedua.
Karena kesalahan-kesalahan inilah Allah menurunkan Adam (dan Hawa) ke dunia. Bahkan, kelak, anak cucu Adam akan bertikai satu sama lain. Bukan karena apa-apa, karena anak cucu Adam tersebut melalaikan asal mereka, surga. Anak cucu Adam akan terbuai dengan dunia yang menjadi tempat kesenangan mereka, seperti yang dijelaskan Q.S. 7:24, “Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan.”
Perlu kita ketahui, bahwa Adam, seperti halnya malaikat (dan Azazil) sangat sadar bahwa ia ditakdirkan menjadi khalifah di bumi. Akan tetapi, saat itu, ia berada di surga hingga melakukan kelalaian memakan buah “khuldi”. Oleh karena itu, ketika Adam selesai memakan buah khuldi, lalu tersingkaplah olehnya prinsip keabadian dan kesementaraan, Adam segera menyadari peringatan Allah sebelumnya tentang kemungkinan Iblis menggoda Adam (dan Hawa). Saat inilah Adam menyadari adanya jalan panjang yang harus ditempuhnya. Ia diciptakan dalam keadaan diremehkan dan dibenci makhluk lain. Kini, kesalahan telah membuatnya tergelincir bebas, turun ke dunia, yang tidak akan dirasakan kebanyakan malaikat. Saat inilah sebenarnya para makhluk lain, jika mereka punya kehendak seperti Iblis, bertepuk tangan gembira. Bagaimana tidak? Makhluk kesayangan Allah, yang membuat makhluk lain seperti dianaktirikan, kini menggenggam buah kesalahan. Malaikat bisa saja berpuas karena peringatan mereka terhadap Allah, bahwa manusia akan mencipta kerusakan, benar adanya. Iblis berpuas diri karena makhluk (entitas) yang dibanggakan Allah di depannya, ternyata takluk oleh tipu dayanya. Adam sendiri berada dalam keadaan serbasulit. Ia harus turun ke dunia untuk menjalani “hukuman” sekaligus suratan takdir yang harus diterimanya. Akan tetapi, jangan salah, turunnya Adam ke dunia menunjukkan kualitas Adam yang bijaksana. Adam sadar bahwa turunnya ia dan Hawa ke dunia kelak akan membuka jalan pembuktian kepada malaikat dan iblis bahwa ia memang layak dibanggakan Allah. Bukankah yang akan masuk surga, jenjang paling dekat menuju Allah, adalah manusia? Bukankah kenikmatan paling tinggi di surga, melihat Allah, hanya bisa dimiliki oleh manusia? Adam memilih risiko turun ke dunia untuk hal ini. Ia bahkan mempertaruhkan dirinya, Hawa, dan anak cucunya, demi pembuktian kebenaran Allah, bahwa Allah memang menciptakan manusia sebagai entitas atau makhluk yang berbeda, makhluk tertinggi di alam semesta. Sudahkah kita menyadari apa yang dilakukan kakek moyang kita, Adam? Ia rela meledakkan diri dalam takdir yang rumit hanya untuk Allah! Ya, betapa mulianya Adam.
Kemuliaan Adam ini akan terlihat lebih spesial lagi jika kita membandingkan ucapan Adam dan ucapan Iblis yang sama-sama dikeluarkan oleh Allah dari surga. Kita mulai dari iblis. Makhluk (entitas ini), tidak hanya dikeluarkan, tetapi juga dikutuk Tuhan sampai hari pembalasan. Akan tetapi, apa yang dilakukan Iblis atas “hukuman” ini? Iblis membalas dendam! Betapa buruknya kelakuan makhluk (entitas) ini. Pertama, Iblis masih sempat berdalih untuk meminta tangguh hukuman hingga tiba hari kiamat. Kedua, yang lebih fatal, Iblis bahkan bersumpah akan menyesatkan keturunan Adam demi kekuasaan Allah, seperti dalam Q.S. 38:82—83, “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya,” “kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka”. Iblis yang menerima kerugian, dimusuhi oleh Allah, memilih untuk merusak makhluk yang disukai Allah, manusia. Iblis, yang disalahkan Allah, malah menyalahkan makhluk lain, manusia.
Coba kita bandingkan kelakuan iblis ini dengan Adam. Ketika diturunkan dari surga, Adam tidak meminta apapun. Adam mencukupkan kesalahan pada dirinya sendiri. Tidak juga ia berbalik menyalahkan Iblis. Kita bisa melihat doa Adam yang begitu tulus, “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. 7:23). Adam yang terjebak oleh Iblis, memilih risiko yang lebih tinggi daripada Iblis, turun ke dunia dan berharap cucu-cucunya kembali ke alam akhirat dengan masuk surga.
Betapa spesialnya Adam! Betapa penuh pengorbanannya Adam. Yang lebih penting, kita juga harus menyadari, betapa spesialnya diri kita ini. Kitalah yang telah dijadikan pertaruhan oleh kakek moyang kita, Adam, untuk pembuktian cinta kepada Allah. Dengan perjuangan berat yang sudah dilakukan Adam di atas, masih adakah hak kita untuk tidak memilih menjadi Adam, yang rela hancur demi kekasihnya, Allah? Masih inginkah kita untuk berprasangka buruk dan rela mengorbankan orang lain demi kepentingan pribadi seperti Iblis yang menyesatkan manusia demi mencari teman di neraka?
ConversionConversion EmoticonEmoticon