Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian sembilan, tertulis 'Beragamnya amal perbuatan disebabkan oleh beragamnya tingkatan karunia spiritual setiap orang'. Kata mutiara ini mengisyaratkan, setiap orang memiliki tingkatan spiritual yang berbeda dalam mengenal Allah. Sebuah takdir Allah, yang mutlak adanya, bisa dipahami dengan cara berbeda oleh dua orang yang punya karakter jiwa masing-masing.
BERAGAMNYA TINGKAT KEIMANAN
Beragamnya amal perbuatan disebabkan oleh beragamnya tingkatan karunia spiritual setiap orang
Beragamnya amal perbuatan disebabkan oleh beragamnya tingkatan karunia spiritual setiap orang
Ada berbagai tafsir mengenai kata mutiara di atas. Sebagai gambaran umum, lihatlah agama-agama yang bertebaran di muka bumi. Begitu banyak, bukan? Di Indonesia saja ada enam agama yang diakui pemerintah. Pertanyaannya, mengapa Allah menciptakan begitu banyak agama? Tidak sukakah Allah jika umat-Nya hanya memiliki agama tunggal sehingga tidak ada perpecahan antaragama seperti yang sering kita lihat di televisi atau kita baca di koran dan internet?
Allah memiliki rahasia tersendiri tentang munculnya berbagai agama atau berbagai sekte dalam sebuah agama. Kebanyakan orang berpendapat ini adalah langkah Allah agar kita saling mengenal, bertoleransi, dan memahami setiap pemeluk agama yang berbeda. Di sisi lain, Allah tengah mengajarkan kepada manusia tentang prinsip beragama yang berjenjang dari masa ke masa dan diakhiri pada masa Nabi Muhammad saw.
Tengoklah ajaran dalam Injil dan Alquran, dua kitab yang paling dekat hubungannya. Orang awam sekalipun akan menemukan perbedaan dengan mudah. Misalnya, dalam Injil, tidak dikisahkan adanya anak Nabi Nuh yang meninggal dalam banjir bandang.
Namun, dalam Alquran, kisah tersebut dimunculkan. Putra Nuh, Kanaan, tenggelam karena tidak mau mematuhi perintah ayahnya untuk naik ke bahtera. Kanaan mengira, ia akan selamat hanya dengan menaiki puncak bukit tertinggi. Mengapa kisah Kanaan ini ada di dalam Alquran, sedangkan di Injil tidak ada? Alquran berfungsi sebagai penyempurna kitab-kitab terdahulu. Kisah di dalamnya pun digunakan sebagai tamsilan yang lebih lengkap daripada kitab sebelumnya.
Kisah banjir bandang yang menimpa kaum Nabi Nuh adalah gambaran datangnya kiamat yang menimpa manusia, baik itu kiamat kubro maupun kiamat sughro (kematian). Ketika seseorang meninggal, dalam ajaran terdahulu, seluruh jiwa dan ruhnya akan terbawa serta ke kehidupan berikutnya. Namun, Alquran merevisi hal ini.
Pada kenyataannya, ada bagian jiwa yang tidak akan terbawa serta ke kehidupan Akhirat; yaitu bagian jiwa yang begitu mencintai kehidupan duniawi. Inilah yang dilambangkan dari Kanaan yang keras kepala. Bagian jiwa ini harus hanyut dan tenggelam agar jiwa dan ruh kita mendapatkan kebahagiaan Akhirat atau dalam kisah Nuh, mendarat kembali ke dunia yang baru pasca banjir bandang. Jika bagian jiwa ini (Kanaan) dibawa serta, kehidupan Akhirat kita tak akan sempurna.
Bagaimana mungkin akan sempurna jika kita memiliki sesuatu yang tidak pada tempatnya? Bagian jiwa yang menginginkan dunia, akan menghancurkan jiwa dan ruh di Akhirat, atau dalam bahasa sederhana, menjerumuskan kita ke Neraka. Jika ditinjau dari hal ini saja, tampaklah bahwa Alquran lebih sempurna dalam memaparkan kejadian di Akhirat; sebagai bukti bahwa kitab ini diturunkan kepada umat manusia melalui sosok Nabi Muhammad saw. yang memiliki tingkat spiritual tertinggi.
Dalam konteks lain, kata mutiara di atas juga bisa digunakan untuk melihat sejauh mana seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dalam mencari pengetahuan tentang Allah, seseorang memiliki pengalaman yang kadang sama; dan kadang pula berbeda dengan orang lain. Sebenarnya, hal yang dihadapinya sama, yaitu dinding diri sendiri demi mencapai Allah. Namun, seperti halnya jenjang yang berbeda antara Alquran dan Injil, setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda dalam mendekati Allah.
Kemampuan yang tidak sama ini membuat cara mereka menghadapi dinding keegoisan diri juga berbeda. Ada orang yang terlena pada keegoisan dirinya sehingga gagal mengenali Allah. Ada orang yang mampu mengatasi dirinya sendiri sehingga pengetahuan tentang-Nya mencerahkan jalan orang ini. Ada pula orang yang selamanya bertarung dengan dirinya sendiri hingga akhir hayat, tetapi tidak mampu menjangkau rahasia Allah.
Ada orang yang tertipu dengan kebahagiaan dalam mendekati Allah. Ia kemudian berhenti mencari Allah demi menjaga agar kebahagiaan itu tidak hilang. Misalnya, orang yang merasakan nikmatnya berzikir. Ia kadang lupa bahwa ketika ia merasa nikmat, bukan tidak mungkin saat itu ia sudah menomorduakan Allah dengan kenikmatan zikirnya.
Dikisahkan, seorang guru sufi ternama Hamdun al-Qassar, pernah menegur sebuah jamaah yang terbiasa berzikir dengan lantang. Jamaah tersebut membantah, dengan berkata bahwa zikir ini adalah bentuk kecintaan Allah kepada mereka. Hamdun al-Qassar kemudian menjawab, “Tidak bisakah kalian lebih berhati-hati ketika mengklaim Allah mencintai tindakan kalian? Bukankah kalian mungkin saja lalai ketika berzikir seperti itu? Bukankah setan menjerumuskan kita pada perbuatan yang seolah-olah benar dan menyenangkan hati?”
Ada pula orang yang terlepas dari kebahagiaan ketika mendekati Allah. Orang lain di sekelilingnya, mengira ia tengah ditimpa kemalangan bertubi-tubi. Misalnya, ia kehilangan pekerjaan, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan rumah, dalam waktu yang berdekatan. Semua orang menduga Allah tengah menghukumnya karena pernah berbuat salah. Padahal, tidak ada jaminan bahwa kesialan atau takdir buruk berarti hukuman Allah. Bahkan, bukan tidak mungkin inilah ujian untuk membersihkan orang tadi dari kepentingan duniawi. Jika ia tetap bertahan dengan penderitaannya, tetap bersetia kepada Allah, ia akan mendapatkan kebenaran.
Namun, jika ia mudah putus asa, ia akan memilih untuk menghindari takdir yang menyayat hati ini demi mendapatkan kebahagiaan duniawi. Semakin tinggi karunia spiritual seseorang, semakin sadar pula ia bahwa kebahagiaan bukanlah sumber segala sesuatu; melainkan kebenaran. Maka, jika kebenaran hanya ditempuh dengan jalan berliku, ia pun mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk melangkah di jalan tersebut. Sebaliknya, semakin rendah karunia spiritual seseorang, ia akan menjauh dan terus menjauh dari jalan perih tersebut. Ia terlanjur berpikir ingin mengecap kebahagiaan yang ternyata tidak hakiki.
Orang yang benar-benar mencintai Allah, pasti memiliki ilmu ikhlas yang tinggi dalam praktik hidupnya sehari-hari. Ia tidak akan banyak bicara tentang ayat-ayat Alquran, tapi menerapkannya dalam setiap napas. Sementara itu, orang yang baru mengenal Allah, merasa sudah mengetahui segalanya. Ia akan banyak menghamburkan tafsir ayat-ayat Alquran sesuai kepentingannya sendiri, tanpa pernah mewujudkannya dalam sikap konkret. Sang pencinta Allah yang sejati tidak memerlukan pembuktian rasional apa pun tentang takdirnya. Yang menjadi bukti hanyalah Allah, Allah, dan Allah.
ConversionConversion EmoticonEmoticon