Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian tujuh belas, tertulis 'Seseorang yang berkehendak mengubah sesuatu yang sudah ditetapkan Allah pada sebuah masa, berarti tidak pernah berniat meninggalkan kebodohannya sedikit pun.'. Kata mutiara ini mengisyaratkan bahwa, memang sifat manusia tidak pernah puas. Ketika ada sesuatu yang menyakiti hatinya, ia berharap sesuatu itu pergi; padahal itulah yang terbaik dari Allah.
LARANGAN INGIN MENGUBAH TAKDIR
Seseorang yang berkehendak mengubah sesuatu yang sudah ditetapkan Allah pada sebuah masa, berarti tidak pernah berniat meninggalkan kebodohannya sedikit pun.
Ada kalanya orang berkata, takdir sangat kejam. Upayanya meraih kesuksesan, tenggelam begitu saja ketika nasib buruk menimpa. Kala hal ini terjadi, seolah seluruh hidup melayang pergi; seolah Tuhan hanya ingin membuat kita senantiasa bersedih.
Mengapa berkehendak mengubah takdir yang sudah berjalan disebut bodoh? Orang awam akan beralasan, tindakan ini adalah upaya sia-sia. Seseorang tidak berhak menyesali nasib. Yang sudah terjadi, terjadilah. Hendak menangis darah sekalipun, tidak akan ada yang berubah.
Lebih jauh, berkehendak mengubah takdir adalah upaya melawan Allah. Kita seolah merasa berhak menentukan nasib melebihi kekuasaan-Nya. Sebagai seorang muslim yang semestinya berserah diri, tindakan ini adalah bentuk kemusyrikan terselubung. Kita memang tidak menuhankan benda ketika ingin menciptakan takdir baru. Namun, sebenarnya kita menuhankan diri sendiri; membuat ego jiwa begitu berkuasa.
Bagaimana mungkin kita bisa sepenuhnya berpasrah pada Allah jika untuk masalah jalan hidup yang dilalui saja, kita menentang-Nya? Bagaimana mungkin seorang hamba disebut bersetia kepada Tuan-Nya jika ketika Sang Tuan memerintahnya untuk memanggul beban 100 kilogram, ia menolak?
Seorang muslim sejati pasti menyadari bahwa Allah adalah segala-Nya. Yang dibutuhkan dalam Islam bukanlah teori, basa-basi pembicaraan yang manis; melainkan praktik nyata. Jika kita mengerti bahwa Allah adalah satu-satunya penentu takdir, kita akan berdiam diri ketika ujian menghunjam jiwa dan ruh. Kita tak akan mengeluh betapa beratnya derita. Jika sikap kesatria ini tertanam dalam diri, sehebat apa pun masalah yang datang, kita bagaikan baja yang tak bisa ditembus peluru. Jika sikap kesatria ini dipertahankan hingga akhir hayat, kelak kita akan dibangkitkan dalam keadaan yang begitu mulia di Akhirat.
Di dunia, kita terbiasa mendengarkan perintah-Nya, patuh pada takdir-Nya. Kita akan berada dalam kedekatan yang paling nyata dengan Allah. Di Akhirat, kedekatan inilah yang mengantar kita pada kebahagiaan (surga). Kita diibaratkan sebagai seorang lelaki yang cuma mengetahui gambaran kekasihnya dari cerita orang yang lalu lalang. Ia tak pernah melihat secara langsung sang kekasih hingga tiba waktunya bersua. Namun, orang ini merekam betul semua ciri-ciri sang kekasih. Ia juga berperilaku yang sesuai dengan perilaku pujaan hatinya tadi. Maka, ketika bertemu, dengan mudah ia menemukan Sang Tambatan Hati.
Bandingkan dengan orang lain yang juga menerima perkabaran tentang kekasih hati. Orang ini tahu bahwa kekasih itulah yang akan menjadi cinta sejatinya. Namun, selama dalam perjalanan menuju sang kekasih, ia berkeras untuk melirik perempuan lain. Ia juga tak terlalu memperhatikan detail ciri sang pujaan hati karena sudah disibukkan oleh perempuan-perempuan lain. Kala tiba waktu bertemu, semuanya tak berjalan sempurna. Ia gagal mengetahui wajah asli Sang Tambatan Hati; bahkan jatuh pada pelukan wanita lain.
Hancurlah masa depannya karena kebiasaan tak mau jatuh hati pada seseorang saja. Demikianlah gambaran orang-orang yang merasa bisa mengubah takdir, mereka yang mengira masih boleh mengutak-atik keadaan dan menganggapnya bukan tindakan makar kepada Allah. Bagaimana tidak bisa disebut bodoh, jika kita masih sibuk mengurus sakit hati atas takdir yang tidak menyenangkan, padahal sudah mengetahui bahwa satu-satunya penyelamat di hari Akhir hanyalah kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya kepada Allah?
ConversionConversion EmoticonEmoticon