Kumpulan Kata Mutiara Kitab Al Hikam Ibnu Athailah Bagian 24: Hidup Selalu Punya Masalah

Kumpulan Kata Mutiara Kitab Al Hikam Ibnu Athailah Bagian 24: Hidup Selalu Punya Masalah

 Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian 24, tertulis 'Janganlah heran jika terjadi kesukaran hidup selama berada di dunia. Sesungguhnya, kesukaran itu terjadi karena demikianlah yang patut terjadi dan begitulah sifat dunia yang sesungguhnya.'. Kata mutiara ini mengisyaratkan bahwa siapapun yang ada di dunia ini, entah punya ikatan apapun pada kuasa atau hal-hal duniawi apapun, akan tetap mendapatkan masalah atau kesulitan hidup; sesuai esensi hidup duniawi itu sendiri.

HIDUP SELALU PENUH MASALAH
Janganlah heran jika terjadi kesukaran hidup selama berada di dunia. Sesungguhnya, kesukaran itu terjadi karena demikianlah yang patut terjadi dan begitulah sifat dunia yang sesungguhnya.

Ujian datang silih berganti. Belum juga kita menarik napas lega karena sebuah permasalahan hidup, datang lagi cobaan yang lebih rumit. Andai bisa memilih, betapa indahnya dunia tanpa masalah. Yang ada hanyalah tawa bahagia semata. Kadang, pikiran seperti ini hinggap dalam benak. Apalagi ketika kita mulai membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Si A terlihat nyaman-nyaman saja, sementara kita setengah mati menjalani hidup yang sebentar. Si B terlihat tak pernah mengeluh, sedangkan jalan di depan kita seolah demikian gelap. Lalu, dalam kesesakan, kita bergumam, betapa tidak adilnya Allah. Mengapa hanya kita yang diuji?

Seringkali kita lupa tentang tujuan hidup. Apa yang kita kejar? Kebahagiaan atau kebenaran? Kebanyakan orang memilih kebahagiaan karena lebih cepat diraih. Padahal, tujuan manusia diturunkan ke dunia adalah demi mencari kebenaran; mencari kesejatian pengetahuan tentang Allah. Dunia ini adalah pengalih tujuan yang paling sempurna bagi kita. Di tempat ini, kita terbiasa melatih diri bahagia ketika mendapati hal-hal yang menyenangkan hati, dan menderita kala perasaan sedikit saja tergores.

Hal ini terus saja terjadi. Alhasil, kita pun terkonstruksikan untuk berpikir bahwa bahagia itu benar, sedangkan penderitaan adalah kesalahan. Tentu pola berpikir semacam ini sangat salah. Tidak ada jaminan bahwa kebahagiaan saat ini adalah kebahagiaan pada detik berikutnya. Belum tentu harta melimpah yang didapat pada hari ini, pertanda harta melimpah 2 bulan lagi. Belum tentu pula air mata yang mengalir di malam hari ketika seseorang di-PHK hari ini berarti kegagalan sepanjang hidup. Belum tentu perceraian dengan istri yang hidup sekian lama, berarti kita tengah mengalami kesialan besar.

Dunia ini cenderung membuat kita memilih kesenangan, bukan penderitaan. Padahal, satu-satunya jalan menuju Allah hanyalah melalui derita, derita, dan derita. Jika tujuan akhir adalah bertemu dengan Al-Haq, bagaimana mungkin kita justru berpihak pada dunia? Bagaimana mungkin kita memilih menjauh dari Allah, menghindari penderitaan?

 Ingatlah sabda Rasulullah, “Dunia itu adalah penjara dan wabah lapar bagi seorang Muslim; ketika ia meninggalkan dunia (meninggal), kau boleh berkata bahwa mereka meninggalkan penjara dan penderitaan laparnya.” Alangkah aneh jika kita justru merasa nyaman ketika berada di penjara, betah berlama-lama di dalamnya, dan mengumpulkan barang demi barang di bui. Padahal, ketika hari kebebasan tiba, barang-barang itu tidak akan dibawa serta. Alangkah janggal pula ketika kita justru begitu ketakutan meninggalkan penjara ini, tidak mau menjadi orang yang merdeka sepenuhnya; orang yang di hatinya hanya ada Allah semata.

Maka, wajar-wajar saja jika kita menemui kesukaran demi kesukaran hidup. Sah-sah saja jika keinginan kadang berbenturan dengan kenyataan dunia. Bahkan, semakin sering kita menemui kesukaran hidup, tandanya kita diberi ujian demi kelayakan naik tingkat di mata Allah. Sebaliknya, mereka yang hobi menghindari masalah hidup, hanya ingin bersenang, bukan tidak mungkin tidak dipedulikan lagi oleh Allah.
Jika Akhirat adalah tempat berpulang yang sebenarnya, sementara kita dibiarkan berkeliaran seenaknya di dunia, bukankah hal ini menandakan tempat berpulang tersebut sudah menandakan “ketidaksukaannya” dengan kita? Untuk apa menerima sesuatu yang sudah kotor, berkhianat dari janji setia, dan melupakan tujuan akhirnya?
Previous
Next Post »