Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian empat belas, tertulis 'Alam semesta diliputi kegelapan; yang mencahayainya adalah penglihatan terhadap terang benderangnya tanda-tanda kehadiran Allah'. Kata mutiara ini mengisyaratkan betapa adanya batas yang jelas antara takdir dan usaha manusia. Sekeras apapun manusia berusaha, tidak ada gunanya jika takdir sudah berbicara. Sebaliknya, selemah apapun orang tersebut, jika sudah takdirnya, maka jalan untukny aakan terbuka.
RAHASIA CAHAYA ILAHI
Alam semesta (Al-Kaun) diliputi kegelapan; yang mencahayainya adalah penglihatan terhadap terang benderangnya tanda-tanda kehadiran Allah. Barangsiapa melihat alam semesta, tetapi tidak melihat (tanda-tanda) Allah di dalamnya atau di sekitarnya, sebelum atau sesudahnya, maka orang ini benar-benar membutuhkan perwujudan tanda-tanda tadi; karena cahaya ma’rifat Allah kepadanya telah tertutup oleh pekatnya mendung benda-benda di alam ini.
Alam semesta (Al-Kaun) diliputi kegelapan; yang mencahayainya adalah penglihatan terhadap terang benderangnya tanda-tanda kehadiran Allah. Barangsiapa melihat alam semesta, tetapi tidak melihat (tanda-tanda) Allah di dalamnya atau di sekitarnya, sebelum atau sesudahnya, maka orang ini benar-benar membutuhkan perwujudan tanda-tanda tadi; karena cahaya ma’rifat Allah kepadanya telah tertutup oleh pekatnya mendung benda-benda di alam ini.
Kebanyakan orang mengira, Tuhan begitu jauh, padahal Allah lebih dekat daripada apa pun. Kita menduga Allahlah yang menutup diri dari hamba-Nya, padahal kitalah yang membuat jarak yang sedemikian jauh dengan-Nya. Sebelum berada di dunia, semua ruh manusia sudah membuat perjanjian Alastu dengan Allah. Kala itu Allah bertanya, “Bukankah aku Tuhanmu?” dan ruh kita menjawab “ya”.
Setelah tinggal di dunia, ingatan tentang janji tersebut lenyap. Kita bagaikan orang yang semula tinggal di dunia yang hanya mengenal matahari, kemudian hidup di bumi yang cuma memiliki malam hari. Awalnya, mungkin kita masih mengingat matahari memang ada. Lambat laun, setelah kita memiliki anak dan cucu, tidak akan ada yang percaya bahwa matahari itu nyata karena mereka tidak pernah melihat sendiri matahari tersebut.
Sejak kita terlahir ke dunia, begitu banyak intrik hidup yang muncul. Kita terbiasa menyadari, jika ingin bertahan hidup seseorang harus mencari uang. Kita terbiasa memahami, jika ingin tetap berbahagia, kita mesti menyakiti orang lain yang hendak merampas kebahagiaan tersebut. Kita terbiasa mengetahui pula, orang yang berusaha dekat dengan agama, justru dijauhi masyarakat. Pengetahuan-pengetahuan palsu inilah yang menggelapkan langit hati kita. Semua orang sebenarnya mengetahui, tindakan-tindakan jahat di atas salah adanya. Namun, kita tetap saja melakukannya.
Orang yang salah, membutuhkan teguran dari orang lain agar ia meyakini bahwa perbuatannya salah. Ketika teguran itu tidak ada, bahkan teguran berubah menjadi pujian, kita justru akan mencandui kesalahan ini. Demikianlah gambaran kehidupan dunia. Sedikit demi sedikit, keyakinan kita semakin terkikis. Pada akhirnya, mungkin kita masih salat, berpuasa, atau bahkan berhaji. Namun, yang menjalankan ibadah kepada Allah itu hanyalah tubuh; bukan jiwa atau ruh kita.
Tengoklah kenyataan: pernahkah kita bisa mengetahui dengan tepat apa yang terjadi satu detik saja tentang masa depan? Pernahkah kita bisa lari ketika ada guncangan ujian? Pernahkah kita bisa menentukan kematian seseorang? Bukti-bukti ini menunjukkan ketergantungan kita kepada Allah; Dzat yang Mengatur Segalanya. Ketika seseorang sudah mendapatkan bukti yang cukup, yang harus dilakukannya hanyalah diam dan tidak membantah bukti tersebut, kecuali jika ia ingin tergelincir dari kebenaran.
Demikian pula kita. Kalau tak ingin kehilangan cahaya Allah, bukalah penglihatan hati selebar-lebarnya. Perhatikan kerapuhan yang ada dalam diri, dan perhatikan pula bagaimana sebuah keajaiban membuat kerapuhan itu menjadi nyata, atau malah menghilang. Jangan sampai kita merasa berhak mengklaim bahwa keajaiban itu berasal dari kita.
Hanya karena seorang anak membawa bekal makan siang sementara teman yang lain tidak, bukan berarti ia boleh menyebut bekal itu buatannya sendiri. Sang ibu, yang sudah mengetahui bahwa anaknya akan lapar pada jam-jam tertentu, menyediakan bekal itu tanpa pamrih dan tanpa perlu berbicara. Sedemikian banyaknya cinta Allah kepada kita, seharusnya sedemikian banyak pula seharusnya rasa malu atas ketergantungan terhadap-Nya; semestinya sedemikian banyak pula cara bagi kita untuk mengenali bahasa rahasia-Nya.
ConversionConversion EmoticonEmoticon