Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian ketiga belas, tertulis 'Bagaimana mungkin hati akan tercerahkan sementara gambaran dunia yang fana masih melekat di cerminnya? Bagaimana mungkin seseorang mendekati Allah sedangkan ia masih terbelenggu oleh syahwat? Bagaimana mungkin ia berhak masuk ke hadirat Allah sementara ia masih belum suci dari junub kelalaiannya? Bagaimana mungkin ia berharap memahami rahasia gaib sementara ia belum bertaubat dari segala dosanya?'. Kata mutiara ini mengisyaratkan, sebelum seseorang hendak mengenal Allah, hendaknya dia lebih dahulu menyucikan diri dari dunia.
PENTINGNYA MENYUCIKAN DIRI DARI DUNIA
Bagaimana mungkin hati akan tercerahkan sementara gambaran dunia yang fana masih melekat di cerminnya? Bagaimana mungkin seseorang mendekati Allah sedangkan ia masih terbelenggu oleh syahwat? Bagaimana mungkin ia berhak masuk ke hadirat Allah sementara ia masih belum suci dari junub kelalaiannya? Bagaimana mungkin ia berharap memahami rahasia gaib sementara ia belum bertaubat dari segala dosanya?
Bagaimana mungkin hati akan tercerahkan sementara gambaran dunia yang fana masih melekat di cerminnya? Bagaimana mungkin seseorang mendekati Allah sedangkan ia masih terbelenggu oleh syahwat? Bagaimana mungkin ia berhak masuk ke hadirat Allah sementara ia masih belum suci dari junub kelalaiannya? Bagaimana mungkin ia berharap memahami rahasia gaib sementara ia belum bertaubat dari segala dosanya?
Lihatlah seorang lelaki hidung belang yang hendak menikahi seorang perempuan baik-baik. Ia harus membuang semua kebiasaan buruk. Mulai dari mudahnya melirik lawan jenis, mudahnya mengobral janji, atau mudah bosan dengan kekasih. Bandingkan lelaki hidung belang ini dengan keadaan kita sebagai hamba Allah. Kita mudah sekali melirik hal-hal selain Allah, bergantung kepada selain-Nya, seperti halnya lelaki tadi “mencuci mata” pada sembarang gadis.
Ketika ada godaan sumber pemasukan yang korup dan tidak halal, kita tetap saja mengais rezeki dari sumber tersebut meski Allah sudah mengharamkannya. Ketika utang sudah menggunung, dan seorang teman mengajak kita untuk berbisnis di lahan “basah”, kita mau-mau saja demi mencukup kebutuhan rumah tangga.
Ketika seorang remaja sudah terdesak dan khawatir tidak lulus, ada saja caranya untuk mencontek demi meraih nilai tinggi di raport. Tindakan-tindakan ini sudah diketahui salah, namun dianggap remeh karena seolah tak berarti. Padahal, tindakan seperti ini sama saja dengan tindakan munafik. Kita mengaku berserah diri kepada-Nya, tapi mencari alternatif lain agar selamat dalam hidup yang fana ini.
Kita mudah pula mengobral kata-kata manis kepada Allah. Kita berkata, tiada Tuhan selain Allah. Nyatanya, ketika harus memilih mana yang lebih dahulu, bekerja mencari uang atau salat zuhur, kita lebih banyak memilih yang pertama. Kita mengaku mencintai-Nya, tetapi takut ketika harus menghadapi ujian. Seolah-olah hati kita mati untuk mengenali janji yang diucapkan bibir kita sendiri.
Kita mudah pula bosan dengan ujian Allah. Seperti halnya si lelaki hidung belang yang tak tahan harus membersihkan diri demi kelayakannya melamar gadis baik hati pujaan hati, ada saja keluhan kalau cobaan datang. Kehilangan uang Rp 100.000,00 saja mengeluh. Dimintai sedekah saja begitu berat. Ditinggal pergi kekasih hati saja seolah ingin mati. Ditertawai tetangga seakan-akan dunia runtuh. Dicemooh majikan atau bos, sepertinya kita bingung hendak menaruh muka di mana.
Namun, ketika Allah meminta kita mendekat kepada-Nya sedikit saja, kita berpaling. Jika mentalitas kita seperti ini, bagaimana mungkin kita layak mendapatkan cinta-Nya? Seorang hamba harus menghancurkan dirinya sendiri, menepikan semua kepentingan pribadi, agar cinta Allah benar-benar dapat merasuk ke dalam diri kita. Ketika cinta Allah itu merasuk, maka pengetahuan rahasia yang dapat membantu kita untuk lebih mengenali-Nya akan datang dengan sendiri; tanpa perlu diminta.
ConversionConversion EmoticonEmoticon