Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian 28, tertulis 'Apa yang tersimpan dalam kegaiban rahasia hati akan terpancar pada perbuatan zahir'. Kata mutiara ini mengisyaratkan bahwa seorang pencari Allah akan senantiasa tersambung kepada-Nya, sehingga jika ia mencintai Allah, perbuatan zahirnya pun akan menampakkan hal itu.
SELARASNYA HATI DAN PERBUATAN
Apa yang tersimpan dalam kegaiban rahasia hati akan terpancar pada perbuatan zahir
Hati seorang manusia ibarat sebuah cermin mengilap yang berfungsi memantulkan cahaya Allah. Ketika ia begitu sering terjerembab pada hal-hal duniawi, diibaratkan cermin itu mulai tertutup debu. Semakin banyak ia terpesona pada alam fana, semakin banyak pula debu yang menempel pada cermin. Pada akhirnya, cermin hati bisa saja sama sekali terpenuhi debu tebal sehingga tak lagi memantulkan cahaya Allah. Berdebunya cermin; atau matinya hati, ditandai dari perbuatan zahir kita.
Mungkin kita sudah termasuk ahli ibadah. Amalan wajib dan sunah sudah dikerjakan sebaik mungkin. Membaca Alquran setiap hari, bahkan bisa hingga 1 atau 2 juzz. Namun, selama kita belum memraktikkan ibadah-ibadah tadi dalam perilaku sehari-hari, kita belum memiliki hati yang bersih.
Bagaimana mungkin kita disebut sebagai pemilik hati yang mulia, ketika masih menghalalkan segala cara demi kehidupan duniawi? Padahal, setiap hari kita tujuh belas kali membaca ayat “Tunjukkanlah jalan yang lurus kepada kami” (Q.S. Al-Fatihah:6)?
Bagaimana mungkin kita disebut sebagai calon penghuni surga jika masih menghamba pada jabatan, uang, kedudukan, atau diri sendiri? Padahal, setiap hari kita membaca ayat pertama surah Al-Ikhlas, “Katakanlah: Dialah Allah Yang Esa”. Selama kita tidak mau menggali ayat demi ayat Alquran, memahami bacaan salat, selama itu pula ibadah kita hanya bagus pada taraf luarnya saja. Ibarat sebuah masakan, kita menciptakan menu yang menarik, tapi ketika dicicipi, perut rasanya ingin muntah.
Sesungguhnya, orang yang berhati mulia, yang hatinya merupakan cermin yang memantulkan rahasia Allah, bisa dilihat dari cara berperilakunya; bukan cara beribadahnya saja. Apakah orang tersebut mampu mengendalikan amarah sesuai dengan latihannya ketika berpuasa? Apakah orang tersebut akan sibuk mengurusi aibnya sendiri daripada aib tetangga? Apakah orang tersebut hanya pandai menebarkan kata-kata mutiara semata tanpa amalan?
Ketika seseorang sudah mencintai Allah, Allah pun akan sedemikian cintanya kepada orang ini. Allah akan menjaga semua perbuatannya dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum-Nya. Orang ini akan begitu ketat dalam bersetia kepada Allah. Kalau ada amalan bid’ah yang menjamur di masyarakat; ia bergeming. Kalau diminta untuk mendakwahkan hadits palsu, ia menolak.
Kala diminta untuk mendukung tokoh masyarakat yang salah, meski diiming-imingi uang sekarung sekalipun, ia tak akan menggubris. Cahaya cinta Allahlah yang menyebabkan semua ini. Hendak diapakan oleh dunia, orang-orang ini akan tetap bertahan. Sudahkah kita memiliki salah satu dari ciri-ciri mereka yang menjadi cermin Allah? Ataukah, kita mengaku beriman, padahal hati sudah begitu hitam legam kehilangan cahaya-Nya?
ConversionConversion EmoticonEmoticon