Kumpulan Kata Mutiara Kitab Al Hikam Ibnu Athailah Bagian 4: Nafsu Duniawi

 Kumpulan Kata Mutiara Kitab Al Hikam Ibnu Athailah Bagian 4: Nafsu Duniawi

Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian keempat, tertulis 'Tenangkanlah jiwamu dari tadbir; semua yang sudah diatur oleh Selainmu (Allah) tentang hidupmu tak perlu kaucampurtangani.'. Kata mutiara ini mengisyaratkan betapa adanya batas yang jelas antara takdir dan usaha manusia. Sekeras apapun manusia berusaha, tidak ada gunanya jika takdir sudah berbicara. Sebaliknya, selemah apapun orang tersebut, jika sudah takdirnya, maka jalan untuknya akan terbuka.

BAHAYA NAFSU DUNIAWI
Tenangkanlah jiwamu dari tadbir; semua yang sudah diatur oleh Selainmu (Allah) tentang hidupmu tak perlu kaucampurtangani.


Kita sering menganggap bahwa pada diri manusia cuma ada dua hal, yaitu tubuh dan jiwa. Kita pun sering menyamakan jiwa dengan ruh. Alhasil, pengertian jiwa dan ruh pun tercampuraduk. Padahal jiwa dan ruh sama sekali berbeda. Ruh manusia diciptakan melalui tiupan ruh Allah seperti firman-Nya dalam Q.S. Al-Hijr:29, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh-Ku.”

Karena dekat dengan ruh Allah inilah ruh kita pada hakikatnya sangat patuh terhadap semua perintah-Nya. Sementara itu, jiwa kita diambilkan Allah dari bagian ruh. Karena lebih jauh dari ruh Allah, jiwa kita lebih menyenangi hal-hal yang bersifat duniawi. Jiwa diibaratkan sebagai istri. Meskipun ia mencintai sang suami, istri sering membantah dan bertindak menyalahi aturan suaminya. Demikianlah kebiasaan jiwa. Oleh karenanya, tugas ruh “sang suami” adalah mengatur agar jiwa tidak berkuasa lebih dominan dalam mengatur keseluruhan diri kita.

Coba bandingkan dengan rumah tangga. Istri yang lebih dominan akan membuat hubungan tidak harmonis. Suami yang memiliki ego lebih tinggi akan merasa daerah kekuasaannya terganggu. Akibatnya, sering terjadi pertengkaran. Sebaliknya, jika suami memiliki jiwa kepemimpinan, istri akan menyerahkan hidup sepenuhnya. Analogi ringkas ini bisa menggambarkan keadaan diri kita. Jika ruh lebih berkuasa, kita akan lebih patuh kepada Allah. Jika jiwa yang lebih dominan, manusia akan cenderung lalai dan terjerembab pada kepentingan duniawi.

Lalu, apa kaitan penjelasan ini dengan kata mutiara di atas? Kita mesti mengendalikan jiwa yang suka membantah perintah Allah ini dari tadbir. Yang dimaksud tadbir adalah segala macam urusan duniawi yang diupayakan oleh manusia. Jiwa cenderung akan menghindari sesuatu yang dibencinya dan mendatangi sesuatu yang menyenangkan. Akibatnya, jika jiwa dominan, kita akan terlalu sering merencanakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ironisnya, yang disebut baik adalah hal yang menyenangkan dan buruk adalah yang mengecewakan. Padahal baik dan buruknya sesuatu tidak bisa diukur dari suka atau tidaknya seseorang terhadapnya.

Alih-alih memusingkan diri, membiarkan jiwa berkuasa dengan mengatur ini dan itu, lebih baik kita berserah diri. Biarkanlah diri ini tunduk patuh kepada Allah tanpa pengharapan apa pun. Sekilas hal ini sulit dilakukan. Bagaimana mungkin masa depan didapatkan jika kita tidak mengaturnya? Dalam hal ini, cobalah kita membalikkan pertanyaan. Untuk apa mengatur sesuatu yang sudah pasti hakikatnya? Berencana ini dan itu dengan berlebihan ibarat membuang waktu karena Allah sudah mempersiapkan segalanya untuk kita. Percayalah Allah mencintai seluruh umat-Nya. Bagaimana mungkin orang yang menekan jiwanya, dan mengutamakan ruhnya, yang berarti berusaha mendekatkan diri kepada Allah, akan dicelakakan-Nya?
Previous
Next Post »