Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian delapan belas, tertulis 'Menunda amal kebaikan karena menunggu kesempatan yang lebih baik adalah tanda kebodohan'. Kata mutiara ini mengisyaratkan, kemalasan tidak boleh muncul pada diri seseorang yang beriman. Jika ia memang mencintai Allah, maka yang harus dilakukan adalah menyegerakan perbuatan baik, apapun yang terjadi, dan seberapa pun sakitnya.
JANGAN MENUNDA KEBAIKAN
Menunda amal kebaikan karena menunggu kesempatan yang lebih baik adalah tanda kebodohan
Menunda amal kebaikan karena menunggu kesempatan yang lebih baik adalah tanda kebodohan
Kelemahan dasar kita adalah sifat malas. Ketika sifat ini sudah hinggap, banyak hal yang terbengkalani. Kerja menjadi asal-asalan dan semua hal seolah bisa ditunda esok hari. Orang malas pun terbiasa berapologi. Kalau kita terlambat memperoleh sesuatu karena malas, hati berkata, ini pasti bukan rezeki kita. Kalau hasil kerja kita buruk karena malas, kita pun lebih suka mempersalahkan keadaan. Kita terbiasa membuat alasan-alasan palsu dan menolak bertanggungjawab ketika malas sudah menjadi raja.
Apa yang terjadi ketika sifat malas merambat pada ibadah? Bagi orang awam, malas beribadah hanya akan membuat kita kehilangan pahala atau sulit mendapatkan surga. Misalnya, ketika ada anak jalanan yang kelaparan dan kita malas mengeluarkan uang, hilanglah peluang pahala sedekah. Ketika malam semakin menggelayut dan tubuh tak mau berkompromi dengan dingin, hilanglah pahala salat tahajjud yang istimewa.
Lebih daripada sekadar masalah kehilangan pahala, sifat malas yang masuk ke dalam ibadah juga membuat kita tak layak menyandang status sebagai seorang muslim.
Kita pasti sering mendengar doa, “Robbana dholamna anfusana wa illam taghfirlana wa tarhamna la nakunanna minal khosirin”; bahkan mungkin begitu hafal dengan doa ini. Ketika Nabi Adam dan Siti Hawa memanjatkan doa ini, beliau berdua tengah ditimpa ujian besar. Iblis berhasil memperdaya Adam dan Hawa untuk memakan buah khuldi yang terlarang. Allah pun menurunkan keduanya dari surga karena Adam dan Hawa telah melanggar satu-satunya larangan-Nya.
Sementara itu, iblis dihukum Allah hingga Hari Pembalasan. Apa yang dilakukan Iblis? Ia tidak mau mengakui kesalahan. Ia bahkan mengancam akan menyesatkan semua keturunan Adam dan Hawa yang tidak beriman. Lalu, apa yang dilakukan Adam dan Hawa? Mereka tidak melimpahkan kesalahan kepada iblis.
Padahal, bisa saja Adam beralasan, tindakannya memakan buah khuldi semata-mata karena bujukan Iblis. Adam mengakui kesalahan, menerima hukuman Allah tanpa banyak bicara, dan hanya ingin menjalani takdirnya semata. Doa di atas, yang terdapat dalam Q.S. Al-A’raf:23 berarti, “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri; jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” Adam memilih untuk menjadi pribadi yang bertanggungjawab, bukan pribadi pengecut yang lari dari kenyataan.
Menjadi orang yang malas, justru menjauhkan kita dari perilaku yang dicontohkan Adam. Kita akan terus beralasan ketika ibadah tak cukup; ketika ada peluang beramal saleh yang disia-siakan. Kita terbiasa menipu diri sendiri; dan dalam tataran tertentu bagaikan berusaha menipu Allah. Sikap tidak bertanggungjawab yang lahir dari sifat malas juga menandakan kebodohan kita sendiri. Pada hari Akhir nanti, tidak ada kesempatan untuk mereka yang lari dari kenyataan. Tidak ada hak untuk mengasihan diri sendiri.
Kesalahan adalah kesalahan; dan tidak ada yang bisa mengalihkan kesalahan itu kepada orang lain. Kebaikan adalah kebaikan; dan tidak ada yang bisa mengklaim kebaikan orang lain untuk dilekatkan pada diri sendiri. Mereka yang malas di dunia, melatih sikap tak bertanggungjawab, tak akan mampu menghadapi pengadilan Akhirat, ketika hanya ada kebahagiaan bagi orang-orang yang terbiasa mengakui kesalahan sendiri, berani menghadapi kenyataan hidup, dan menjalani hidup layaknya seorang kesatria; seperti halnya Adam dan Hawa.
ConversionConversion EmoticonEmoticon