Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian 25, tertulis 'Sebuah permintaan tidak akan sia-sia jika disandarkan kepada Allah. Sebaliknya, sebuah permintaan tidak akan pernah tercapai jika disandarkan pada diri sendiri..'. Kata mutiara ini mengisyaratkan bahwa seseorang hendaknya hanya bersandar pada Allah semata. Bahkan kemampuan diri sendiri yang terlihat luar biasa sekalipun akan tak bermakna di depan kuasa-Nya.
LEMAHNYA KEMAMPUAN DIRI SENDIRI
Sebuah permintaan tidak akan sia-sia jika disandarkan kepada Allah. Sebaliknya, sebuah permintaan tidak akan pernah tercapai jika disandarkan pada diri sendiri.
Semua orang senantiasa berkata, Allah Maha Segalanya. Manusia tidak bisa berbuat apa pun kecuali dengan kehendak-Nya. Namun, pada praktiknya, hal ini hanya ada dalam bibir semata. Banyak orang yang masih menuhankan diri sendiri. Ia berusaha keras demi kelayakan hidup; baik kehidupan duniawi maupun akhirat, dengan cara-cara yang kadang tak terpuji. Berapa banyak orang yang peduli apakah uang gajinya didapatkan dengan cara benar atau salah? Yang penting, anak dan istri tersenyum. Berapa banyak pula orang yang mengerjakan salat asal lima waktu saja, tanpa berupaya memahami rahasia di balik salat-salat tersebut?
Baginya, yang penting kewajiban sudah selesai. Ia mengira, ketika sudah bekerja sedemikian rupa untuk keselamatan dunia dan Akhirat, ia akan mencapai semuanya. Namun, hal ini keliru besar. Banyak orang yang menyandarkan diri pada pepatah yang oleh sebagian besar kalangan dianggap sabda Nabi (padahal bukan), “Bekerjalah seolah engkau hidup selamanya, dan beribadahlah seakan engkau meninggal esok hari”.
Sandaran ini keliru, karena kita menekankan diri pada usaha, usaha, dan usaha yang bersumber pada diri sendiri. Di manakah letak Allah di hati ketika kita demikian membabi buta berusaha? Di manakah letak Allah di dalam hati ketika kita memutuskan, semua masa depan digantungkan pada keinginan diri sendiri semata?
Percayalah, mengandalkan diri sendiri tidak akan pernah mampu menghasilkan apa pun; apalagi dalam upaya mengenal Allah. Bagaimana mungkin kita bisa mempertaruhkan hidup pada diri sendiri yang bahkan tidak tahu kapan hendak meninggal atau tidak mengerti apa yang terjadi hanya sedetik berikutnya? Bagaimana mungkin kita berserah diri pada diri sendiri yang bahkan tidak pernah bisa adil? Yang mesti dilakukan adalah menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Yang Lebih Terpercaya, Yang Lebih Adil Membagi, meskipun bahasa-Nya kadang sulit dipahami manusia.
Semua permintaan yang diserahkan sepenuhnya kepada Allah; senantiasa akan memperoleh jawaban yang serba ajaib. Mungkin saja permintaan kita tidak akan dipenuhi Allah dalam waktu dekat. Mungkin pula, kita meminta A, yang muncul justru B. Namun, pada akhirnya, siapa pun akan mengakui bahwa semua doa terkabulkan dengan cara tersendiri.
Kita berharap dapat berhaji tahun ini, namun ternyata permintaan itu ditolak Allah. Seorang anggota keluarga kecelakaan dan uang kita habis untuk membiayai perawatannya. Bertahun-tahun keinginan itu terus menggumpal, bertahun-tahun pula Allah tidak memperkenankan kita berkunjung ke Baitullah. Ada saja halangan ke sana.
Lalu, kala keinginan berhaji sudah sirna, keajaiban datang. Kita bisa berangkat dengan hati yang begitu suci tanpa pengharapan. Betapa beruntungnya kita yang berhaji dengan hati demikian karena sekian banyak orang datang ke Kabah tanpa pernah mau memperbaiki niat dan hatinya sendiri.
ConversionConversion EmoticonEmoticon