Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian kelima, tertulis 'Kesungguhanmu dalam menggapai segala yang sudah dijamin oleh Allah kepadamu; dan kelalaianmu terhadap kewajiban yang sudah diperintahkan Allah menunjukkan butanya mata hatimu.'.
HARAMNYA SERAKAH DALAM BERIBADAH
Kesungguhanmu dalam menggapai segala yang sudah dijamin oleh Allah kepadamu; dan kelalaianmu terhadap kewajiban yang sudah diperintahkan Allah menunjukkan butanya mata hatimu.
Kesungguhanmu dalam menggapai segala yang sudah dijamin oleh Allah kepadamu; dan kelalaianmu terhadap kewajiban yang sudah diperintahkan Allah menunjukkan butanya mata hatimu.
Banyak orang percaya segala sesuatu harus dicapai dengan usaha dan doa. Kita mesti bekerja keras terlebih dahulu sebelum akhirnya pasrah dalam memohon kepada Allah. Jika kita benar-benar hendak mendekatkan diri kepada Allah, hal ini keliru. Cobalah merenungkan kisah berikut.
Ada beberapa murid sufi yang begitu haus mengejar barokah malam Lailatul Qodar. Karena terlalu bersemangat, mereka meremehkan perintah gurunya untuk tidur pada malam ke-24 Ramadhan. Selepas Syawal, sang guru menegur para muridnya. Mereka telah melanggar perintah sepele hanya demi mengejar pahala. Salahkah murid-murid ini?
Semua orang boleh saja berupaya maksimal untuk mendapatkan sesuatu. Namun, kita harus pandai-pandai membedakan keinginan dengan kebutuhan. Keinginan didatangkan dari perasaan tidak puas terhadap keadaan sekarang. Sementara itu, kebutuhan didatangkan dari logika bahwa ada hal yang kurang dalam keadaan hidup kita yang sekarang. Contohnya, memiliki handphone adalah kebutuhan jika pekerjaan, kuliah, atau hubungan keluarga menuntut hal tersebut. Namun, memiliki handphone untuk sekadar bisa mempunyai gadget semata, artinya tunduk pada keinginan.
Kalau urusan duniawi, kita mungkin mudah membedakan mana yang keinginan, mana yang kebutuhan. Namun, bagaimana kalau berkaitan dengan ibadah kepada Allah? Sangat sulit membedakan, apakah ibadah kita benar-benar tulus, atau hanya karena mendapatkan pahala berlimpah. Dalam kisah para murid sufi tadi, mereka mengejar barokah Lailatul Qodar karena keinginan, bukan kebutuhan. Mereka rela melanggar perintah gurunya demi memuaskan ambisi pribadi. Mendapatkan keistimewaan Lailatul Qodar memang membahagiakan. Namun, jika kita menggapainya dengan cara para murid sufi tadi, apa bedanya tindakan ini dengan merampok emas yang memang sudah disediakan? Ketergiuran terhadap Lailatul Qodar membuat amalan yang seharusnya berpahala, berubah menjadi dosa.
Banyak ibadah kita kepada Allah yang seolah-olah benar, tetapi ternyata salah karena tidak mampu membedakan mana yang keinginan jiwa dan mana yang merupakan kebutuhan ruh. Bagaimana cara mengenali apakah ibadah kita memang murni, atau sudah tercampur keinginan? Tengoklah sikap kita.
Apakah dalam menjalankan ibadah tersebut, kita egois dan melulu mementingkan keberhasilan kuantitas? Apakah kita terbiasa memberi target, sehari minimal selesai membaca 10 juzz Alquran, hanya demi memuaskan perasaan? Apakah dalam membaca Alquran kita terbiasa mengebut dan tidak berusaha memahami maknanya karena diburu waktu?
Semestinya kita menyadari, semua imbalan tidak pernah berarti daripada sang pemberi imbalan. Apalah arti mengejar pahala jika cara kita berusaha, dibenci Allah? Apalah arti berusaha keras mencapai keselamatan hidup, kalau kita justru menabrak rambu-rambu agama? Semakin sering berburu pahala dan kebahagiaan hidup, semakin bingung kita membedakan keinginan dan kebutuhan.
Semakin sering kita berpuas atas pencapaian diri, baik tentang hidup duniawi maupun kualitas spiritual, berhati-hatilah karena semakin besar pula peluang hati kita mati.
ConversionConversion EmoticonEmoticon