Kumpulan Kata Mutiara Kitab Al Hikam Ibnu Athailah Bagian 2: Bahaya Angan-Angan

 Kumpulan Kata Mutiara Kitab Al Hikam Ibnu Athailah Bagian 2: Bahaya Angan-Angan

Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian kedua, tertulis 'Keinginanmu untuk bertajrid, padahal Allah masih menempatkanmu dalam golongan Asbab adalah nafsu yang tersembunyi. Sebaliknya, keinginanmu untuk mencari penghidupan duniawi padahal Allah sudah menempatkannmu dalam keadaan bertajrid, adalah tanda kemunduranmu dari cita-cita yang tinggi.'. Kata mutiara ini mengisyaratkan betapa bahayanya angan-angan yang terlalu muluk. Ketika Allah sudah memilihkan jalan kepada seseorang, seberapapun besarnya penderitaan, maka ia harus berpuas di sana, dan tidak meminta banyak hal lagi.


BAHAYA ANGAN YANG TERLALU MULUK 

Keinginanmu untuk bertajrid, padahal Allah masih menempatkanmu dalam golongan Asbab adalah nafsu yang tersembunyi. Sebaliknya, keinginanmu untuk mencari penghidupan duniawi padahal Allah sudah menempatkannmu dalam keadaan bertajrid, adalah tanda kemunduranmu dari cita-cita yang tinggi.

Tajrid adalah upaya mengasingkan diri dari masyarakat demi mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang bertajrid disebut mutajarrid. Sebaliknya, mutassabib, atau orang-orang yang terikat asbab, adalah mereka yang masih terikat pada tindakan-tindakan di dunia ini.

Dunia dinamai alam asbab. Di tempat yang fana ini, akal kita terjebak pada keadaan yang sering berkesesuaian satu sama lain. Jika ada benda yang jatuh dari tempat yang tinggi, kita akan mencari hal yang mendorongnya.

Tajrid adalah upaya mengasingkan diri dari masyarakat demi mendekatkan diri kepada Allah.  Orang yang bertajrid disebut mutajarrid. Sebaliknya, mutassabib, atau orang-orang yang terikat asbab, adalah mereka yang masih terikat pada tindakan-tindakan di dunia ini.

Dunia dinamai alam asbab. Di tempat yang fana ini, akal kita terjebak pada keadaan yang sering berkesesuaian satu sama lain. Jika ada benda yang jatuh dari tempat yang tinggi, kita akan mencari hal yang mendorongnya. Jika ada orang yang jatuh miskin, kita akan mengira hal ini disebabkan oleh ketidakbecusannya dalam mencari uang. Padahal, sebab-akibat tersebut sebenarnya tidak terjadi demikian.

Ada Allah yang mengatur sebab-akibat tersebut sehingga terlihat berhubungan. Orang-orang yang ahli asbab adalah mereka yabf masih melihat dunia dengan membandingkan sebab-akibat tanpa melihat Allah.

Bagaimana kita mengetahui bahwa kita masih menjadi seorang mutassabib? Perhatikanlah cara kita menyikapi kehidupan sehari-hari. Tengoklah reaksi kita jika ditimpa musibah atau melihat seseorang yang begitu menderita terus-menerus. Kalau kita mengira, musibah yang menimpa seseorang secara beruntun adalah tanda kesialannya atau tanda kebencian Allah kepadanya, bisa jadi kita adalah mutassabib. Seorang hamba di dunia ini mesti menyadari, bahwa kebahagiaan atau kesedihan seseorang murni ditakdirkan Allah.

Belum tentu orang yang malang berarti orang yang dilaknat Allah. Sebaliknya, belum tentu pula orang yang segala kebutuhan hidupnya terpenuhi dicintai Allah. Ingatlah firman Allah dalam Q.S. Al-Fajr:15—16 berikut, “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku.’.” “Jika Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku.’.”

Menjadi seorang mutajarrid sangat penting bagi kita. Dengan mengasingkan diri dari gaduhnya dunia, mata hati kita akan dibukakan lebar-lebar oleh Allah. Kita akan dilatih membersihkan dir dari keinginan-keinginan duniawi. Kesuksesan seseorang dalam bertajrid bisa dilihat dari ketidakpeduliannya pada harta, kedudukan, atau hal-hal lain yang cuma berupa kebanggaan palsu semata.

Ada dua tahap dalam bertajrid. Tahap pertama, adalah sepenuhnya menepikan diri dan hati dari hal-hal yang bersifat duniawi. Jika mampu melewati tahap ini, tahap berikutnya adalah mengasingkan hati dari kepentingan duniawi. Kita akan terjun kembali dalam hiruk-pikuk dunia. Kita terlihat seperti kebanyakan orang lain, bekerja keras mencukupi kebutuhan hidup, bahkan kadang memiliki materi di atas rata-rata. Namun, hati seorang mutajarrid berbeda dengan hati masyarakat pada umumnya. Pergelutannya dalam kehidupan duniawi, sama sekali tidak menambah cintanya kepada hal-hal yang bersifat fana. Dikisahkan, seorang guru besar sufi, Ruwaym al-Baghdadi pernah dikritik karena kebiasaannya berlaku sombong dan berpakaian serba mewah. Ruwaym al-Baghdadi berkata, “Jika ada orang yang mengalungkan perhiasan besar di kepalaku, lalu aku masuk pasar, aku pun tidak akan peduli.” Sekilas, seorang mutassabib terlihat begitu haus pada harta seperti orang pada umumnya. Namun, keadaan luar ini hanyalah tipuan Allah bagi para pencinta kehidupan dunia. Mereka akan memperolok tingkah laku seorang mutajarrid, padahal mereka memperolok diri sendiri.
Dengan penjelasan ini, jelaslah yang harus kita lakukan untuk menerapkan kata mutiara di atas. Seseorang yang masih menjadi mutassabib, harus berhati-hati ketika ia ingin bertajrid. Ia diletakkan Allah pada tahap yang lebih rendah, namun sudah berkeinginan pada keadaan yang belum layak untuknya. Bisa jadi keinginannya bertajrid bukanlah keinginan murni karena ingin mendekatkan diri kepada Allah, melainkan tuntutan nafsu syahwatnya yang tersembunyi. Syahwat tidak hanya berarti nafsu seksual semata. Syahwat adalah kecenderungan jiwa pada sesuatu yang diinginkan. Dalam hal ini, termasuk keserakahan mencapai keadaan spiritual yang lebih tinggi yang tidak diimbangi dengan perbuatan baik.
Manusia selalu ingin memperoleh pencapaian yang lebih tinggi dari keadaannya sekarang. Orang yang sudah memiliki tanah, ingin membangun rumah. Orang yang sudah tinggal di rumah elite, menginginkan mobil keluaran terbaru. Jangan sampai keinginan ini juga timbul dalam upaya beribadah kepada Allah. Kalau yang terjadi seperti ini, apa bedanya kehidupan duniawi dan kehidupan Akhirat? Biarkanlah urusan ditinggikan derajat atau dihempaskan ke bawah hanya milik Allah semata. Kita menjalani hidup layaknya mayat yang dimandikan. Hendak diarahkan kemana pun, bersikaplah tanpa pengharapan dan tanpa keinginan.
Kita sudah menjelaskan ancaman ingin bertajrid ketika masih berada dalam keaadan asbab. Ancaman yang lebih besar datang ketika kita sudah bertajrid, tapi masih menginginkan kehidupan duniawi. Allah sudah meletakkan kita dalam posisi yang mulia. Namun, melihat gemerlap dunia yang menggairahkan, keinginan merengkuh harta atau kedudukan tak terbendung lagi. Jika hal ini yang terjadi, kita mesti menyadari bahwa spiritualitas kita tengah berjalan mundur. Dunia dan segala isinya ini hanyalah tempat sementara. Kita pun sudah dijauhkan Allah dari keinginan memiliki hal-hal sementara tersebut. Kala seseorang sudah berada dalam posisi mengasingkan diri dari kehidupan duniawi, namun hatinya masih terikat pada dunia, ia diibaratkan sebagai orang yang datang demi salat Jumat, tapi ketika khutbah tidak mendengarkan dan sibuk dalam pikirannya sendiri. Seseorang yang sudah bertajrid, namun memilih kembali menjadi mutassabib, juga berarti kurang memiliki tanggung jawab atas anugerah Allah, sekaligus tidak bisa membedakan mana yang penting baginya dan mana yang tidak.
Previous
Next Post »